Jembatan batu di sebelahku diam Pancuran bambu kecil memercikkan air Menghempas di atas batu hitam Merintih menikam sepi pagi
RADARSEMARANG.COM – Potongan lirik lagu Ebiet G. Ade itu tetap menggetarkan ketika dinyanyikan Bupati Pekalongan Asip Kholbihi. Dia menyenandungkan bait lagu itu di atas jembatan yang disebut dalam lagu. Saya yang hanya melihat videonya diberi kesempatan menelusuri. Jembatannya, kalinya, gemericik air, hutan, dan burung-burung yang berkicau.
Ketika lagu itu diciptakan tahun 1976, tak banyak orang yang ngeh. Termasuk pemerintah dan warga setempat. Padahal, syairnya luar biasa. Tentang keindahan alam. Lagu itu pun menjadi sangat terkenal.
Asip merespon ketika dia menjadi bupati. Dipahatlah syair lagu itu di ujung jembatan. Ebiet diundang untuk menandatangani prasasti. Itu tahun 2013. Berarti setelah 37 tahun lagu diciptakan. Alam Lolong diaktualisasi. Terkenal sampai sekarang. Berkat Asip yang responsif. Dia perlu diontoh.
Bupati sangat bangga. Wilayahnya diabadikan dalam lagu berjudul Lolong. Dia pun menyanyikan dan merekamnya. Videonya meniru gaya Ebiet. Memegang gitar juga. Menurut saya yang tak bisa bernyanyi, suaranya lumayan. Kebanggaannya itu dipamerkan kepada tamu-tamu khususnya.
Saya bertamu ke Asip setelah menemui dua kepala daerah lain yang luar biasa di Jateng dalam seminggu kemarin. Mereka adalah Bupati Semarang Mundjirin dan Wali Kota Salatiga Yulianto. Bupati Mundjirin adalah dokter spesialis kandungan. Di sela kesibukannya dia masih menyempatkan diri melayani pasien. Bahkan mengoperasi. Sedangkan Yulianto, wali kota ganteng yang masih muda dan enerjik. Dia sangat terbuka. Getol mengembangkan inovasi. Ketika bertemu Asip, saya tidak bisa menolak ketika ditawari –tepatnya dipaksa- mengunjungi Lolong. ‘’Adldloifu kalmayyit (Tamu itu seperti mayat). Harus manut,’’ katanya di Masjid Al Muhtarom, Alun-Alun Kajen, Pekalongan. Saya menemuinya di masjid itu ketika sama-sama usai salat duhur. Kiai asal PKB itu biasa salat di sana selagi dia berkantor di pendopo. Biasanya lantas diikuti makan nasi kucingan. Sangat merakyat.
Sayang, keinginan saya untuk makan nasi sekepal bersama bupati sirna. Asip mengarahkan saya ke depot makan tak jauh dari pendopo. Atas traktiran bupati. Menunya macam-macam. Semua tradisional. Saya memilih wader goreng yang dijaring dari kali setempat. Ada dua yuyu kecil terselip di antara ikan-ikan kecil itu. ‘’Nanti kita ngobrolnya di Lolong saja sambil makan durian,’’ tambahnya.
Lolong yang dimaksud adalah Desa Lolong, Kecamatan Karanganyar, Kabupaten Pekalongan. Nama desa itulah yang diangkat sebagai judul lagu oleh penyanyi lagu balada era tahun 1970-an. Jaraknya sekitar setengah jam perjalanan mobil dari Kota Kajen, ibu kota Kabupaten Pekalongan. Di sana ada jembatan batu melintas di atas sungai Sengkarang. Itulah yang diangkat Ebiet dalam lagu. Termasuk alam di sekelilingnya. Saya mencoba mengambil posisi di samping jembatan. Nyaris seperti yang digambarkan Ebiet. Di pinggir kali. Airnya yang jernih mengalir deras. Batu-batu besar berserakan sepanjang aliran. Semua masih seperti yang dulu. Yang tidak kelihatan hanyalah pancuran bambu kecil yang dulu dipakai bersuci warga setempat.
Bupati Asip yang masa mudanya dihabiskan di pesantren menunjukkan kecerdasannya. Dia kawinkan Lolong yang ditenarkan oleh Ebiet dengan durian yang tumbuh subur di sana. Jadilah Lolong tempat wisata alam baru yang bernilai tinggi. ‘’Ini yang harus kita jual untuk kepentingan masyarakat,’’ katanya.
Masyarakat kemudian membangun destinasi wisata. Ada bangunan dua lantai yang bagian atasnya tak beratap. Dilengkapi meja kursi kayu. Cukup untuk menampung 50 orang. Bagian bawah bisa untuk lesehan.
Saya bersama seluruh manajer Radar Semarang memanfaatkannya untuk makan durian. Durian Lolong. Bentuknya sih sama dengan durian lain. Yang membedakan adalah rasa. Hebatnya dari delapan buah yang kami beli, tak satu pun harus dibuang. Semuanya enak. Semuanya habis. Ada yang yang kenyil-kenyil.
Manis, legit, kesat, dan daginnya tebal. Orang mengatakan durian ketan. Inilah yang paling favorit dan tidak ditemukan di daerah lain.
Pemimpin Redaksi Radar Semarang Arif Riyanto yang seumur-umur tak pernah merasakan durian, hari itu mencatat sejarah. Dia makan kali pertama dan langsung menghabiskan tujuh biji (pongge). ‘’Ueeenak tenan,’’ katanya dengan senyum khasnya.
Saya sebenarnya ingin rafting. Kelihatannya menantang. Aliran sungainya cukup deras. Keberserakan bebatuannya bisa menguji nyali. Pemandangan tebingnya membikin mata tak berkedip. Tarifnya Rp 185 ribu per orang. Untuk jarak sekitar sembilan kilometer. Sayang, tidak membawa pakaian ganti.
Bupati Asip bukan hanya mengangkat alam Lolong yang semula tidak memberi nilai tambah bagi masyarakatnya. Ada beberapa gugusan alam lain. Semuanya indah. Semuanya dalam penguasaan Perhutani. Semuanya tidak memberi nilai tambah bagi masyarakat. Ada Curug Bajing, Curug Lawe, Curug Muncar, Curug Sibedug, Welo River, Kali Paingan, Curug Bidadari, dan Petungkriyono. ‘’Saya sudah kerja sama dengan Perhutani. Biar masyarakat yang kelola,’’ ujarnya.
Saya ditawari juga ke Petungkriyono. ‘’Alamnya jauh lebih indah dibanding Lolong,’’ katanya. Udaranya dingin. Masih sering ada kabut. Airnya jernih. Hutan pinusnya rapi. Di sana sudah dibangun dua vila. Sudah bisa dinikmati. Beberapa lainnya dalam pengerjaan. Kelak lokasi itu akan menjadi tempat outbond yang menarik.
Bupati Asip sangat visioner. Kalau hutan yang tak tersentuh saja diperhatikan, apalagi kotanya. Kabupaten Pekalongan yang dulu menjadi wilayah terkotor, kini sudah meraih adipura. Dia berobsesi Pekalongan menjadi kota wisata dan pendidikan mengalahkan Jogja atau Bandung. Sudah ada delapan perguruan tinggi negeri yang meneken MoU untuk membangun kampus. Tidak tertutup kemungkinan Kabupaten Pekalongan akan menjadi kota paling favorit di Jateng. (hq@jawapos.co.id)
Artikel ini telah tayang di : https://radarsemarang.com/2018/03/19/nikmatnya-durian-ketan-di-pinggir-jembatan-batu/
Copyright © Radar Semarang Digital