RADARSEMARANG.COM-SEORANG teman berkomentar mengenai diri saya. Setinggi langit. Dia wartawan. Sekarang tidak lagi menjadi anak buah saya.
Kata-katanya begini. “Saya juga begitu kagum dengan Pak Baehaqi. Kepemimpinannya membumi. Mentauladani. Tirakatnya luar biasa. Fisiknya kuat. Kakinya ringan melangkah ke mana saja. Yang muda banyak kalahnya. Optimismenya tinggi. Kepasrahannya sejajar. Saya ijin diam-diam belajar banyak kepemimpinan dari Bapak.”
Saya heran, bagaimana dia bisa belajar dari saya. Kenal baru dua tahun lalu. Bertemu juga jarang. Bahkan ketika menjadi anak buah saya. Maka, saya anggap angin lalu.
Saya tidak pernah gila sanjungan. Bagi saya pujian seperti itu menjebak. Bisa membuat besar kepala. Toh, disanjung tidak melambung. Direndahkan tidak menjadi sampah. Ketika rapat mingguan lengkap di Radar Semarang Kamis lalu, hal ini saya tekankan. Di Radar Kudus juga beberapa kali saya sampaikan.
Saya belajar hidup apa adanya. Berteman dengan siapa saja. Tidak pernah menganggap anak buah sebagai bawahan. Dengan begitu tidak ada rasa malu. Hidup enjoy. Mudah-mudahan panjang umur. Sudah terbukti dalam banyak kesempatan. Membeli makanan sendiri. Menenteng bungkusan dengan berjalan kaki. Makan di depan teman-teman karyawan. Menunya ala kucingan seharga Rp 9 ribu.
Ada teman yang pernah berkomentar, direktur macak melas (berlagak mengiba). Tidak. Bagi saya kenikmatan yang sesungguhnya adalah hidup apa adanya.
Saya kagum pada seorang kiai besar KH Bahauddin Nursalim. Beliau hafal Alquran. Terkenal sebagai ahli tafsir sekaligus ahli fiqih (syari’at Islam). Saya malah meyakini beliau ahli tasawuf. Hidupnya zuhud. Tidak mengedepankan kehidupan dunia. Ke mana-mana sering menggunakan angkutan umum. Tidak jarang belanja sendiri ke pasar tradisional. Tidak pernah merasa malu.
Gus Baha –panggilannya- tidak menghiraukan sanjungan. Saya berusaha meniru. Maka, ketika ada teman yang menyanjung setinggi langit pun saya tidak terpengaruh. Kalau saya tergerak mengutip komentarnya di sini karena ada kata belajar. Saya tidak guru. Tetapi, senang apabila ada orang yang menunjukkan semangat belajar. Belajar apa saja. Kapan saja. Di mana saja. Kepada siapa saja.
Bagi saya belajar tidak harus paham. Apalagi pintar. Yang penting mau. Itu sudah cukup membuat orang “masuk surga.” Sedangkan guru tidak mesti digugu dan ditiru. Yang penting istiqamah.
Sepuluh tahun saya sekolah kependidikan. Tetapi tidak ditakdirkan menjadi guru. Dulu memang pernah mengajar di sekolah swasta. Pernah menjadi kepala sekolah. Bahkan mendirikan sekolah. Pada zaman masih kuliah. Sampai sekarang sekolahnya masih ada. Di Kota Lama, Malang, Jawa Timur. Namanya Darussholihin.
Alhamdulillah sekarang masih punya anak buah. Saya tanamkan prinsip-prinsip yang saya yakini. Sekaligus untuk belajar. Belajar mengenai apa saja. Banyak anak buah yang pintar. Saya harus mengakui. Tidak perlu malu. Pimpinan tidak harus lebih pandai dari stafnya. Bagi saya, tugas pimpinan adalah memanaj kepintaran stafnya itu.
Suatu saat saya meminta seorang manajer untuk melakukan suatu hal. Menurut saya baik. Oleh manajer itu diiyakan. Tetapi tidak direalisasikan. Saya tidak marah. Bagi saya, manajer itu memiliki prinsip dan keyakinan. Pendapatnya pasti lebih baik dibanding saya. Kejadian seperti itu berkali-kali.
Bukan hanya anak buah yang harus belajar kepada pimpinannya. Atasan juga mesti belajar kepada bawahannya. Yang penting istiqamah. (hq@jawapos.co.id)