RADARSEMARANG.COM, HARI ini (9 Desember 2019) sedianya saya ke Blora. Menempuh perjalanan sekitar empat jam dua menit (sesuai perhitungan Google Maps) dari Semarang melewati Kudus. Padahal, kemarin malam telah menempuh perjalanan 590 kilometer dari Jawa Timur. Rutenya Sidoarjo – Malang – Sidoarjo – Semarang. Paginya menghadiri road show Lomba Kampung Hebat bersama Wali Kota Semarang Hendrar Prihadi di Lapangan Gaharu, Kelurahan Srondol Wetan, Kecamatan Banyumanik.
Perjalanan saya batalkan. Pertama, ada kunjungan Plt Bupati Jepara Dian Kristiandi ke Radar Kudus yang saya pimpin. Kedua, Rabu mendatang saya juga ke Kota Minyak. Hari itu ada peringatan HUT ke-270 Kabupaten Blora. Kamis lalu (5 Desember 2019) saya sudah minta izin kepada Bupati Blora Joko Nugroho untuk memberi ucapan selamat. Saya akan datang bersama para manajer Jawa Pos Radar Kudus. Pak Bupati bersedia menerima langsung kami.
Ketika itu digelar final Festival Mewarnai di gedung olah raga setempat. Pesertanya 1.500 anak. Disaring dari 18.000 anak yang mengikuti lomba tingkat awal. Di sela festival itu diluncurkan pendidikan antikorupsi. Bupati menyerahkan kisi-kisinya kepara para pengawas sekolah di semua tingkatan.
Seremoni peluncuran pendidikan antikortupsi itu biasa-biasa saja. Yang saya suka adalah substansinya. Kebetulan hari ini (9 Desember 2019) masyarakat dunia sedang memperingati Hari Antikuropsi. Di mana-mana diadakan upacara. Suasananya pasti begitu-begitu saja. Formal.
Dengan peluncuran pendidikan antikorupsi paling tidak Pak Joko menunjukkan komitmennya memberantas penyakit pejabat dan masyarakat. Beliau tahu sulitnya bukan main. Sudah menyebar ke masyarakat. “Kalau mau memberantas korupsi, masyarakatnya juga harus dididik,” kata Joko berbisik ke telinga saya. Saat itu suasananya bising karena banyaknya anak-anak yang mengikuti lomba.
Saya paham apa yang disampaikan Bupati Blora itu. Saat pemilihan kepala desa serentak di Kudus 19 Nopember lalu saya merasakan betul politik yang sudah membudaya itu. Saat itu saya berada di salah satu rumah di desa yang menyelenggarakan qiyam (istilah lain pemilihan petinggi). Dua orang tim sukses menyerahkan dua amplop. Masing-masing berisi Rp 100 ribu. Saya melihat langsung dengan mata kepala.
Di desa tersebut ada dua calon. Keduanya sama-sama menyebar amplop. Nilainya sama. Diperkirakan, uang yang dikeluarkan untuk memenangkan dirinya itu sekitar Rp 600 juta. Berarti malam itu ada uang Rp 1,2 miliar yang bertebaran. Wajar kemudian Kudus menduduki ranking tertinggi inflasi. Ada pesta rakyat.
Dengan politik uang itu, yang menang pusing. Memikirkan bagaimana cara mengembalikan modal. Yang kalah lebih pusing lagi. Ada salah seorang calon kepala desa yang sampai sekarang belum bangkit untuk bekerja. Istrinya juga masih stres. Kabarnya modal yang dipakai dari pinjaman.
Sekarang untuk jabatan publik memang tidak gampang. Persaingannya sangat ketat. Perhatikan saja tahun 2020 nanti ketika diadalan pemilihan kepala daerah serentak. Para calon tidak cukup punya program yang bisa diterima masyarakat. Pendekatannya harus jitu. Dilakukan sejak jauh hari. Biayanya juga besar. Apalagi mereka yang akan melawan petahana.
Saya salut dengan Wali Kota Semarang Hendrar Prihadi. Kabarnya beliau akan maju lagi. Menurut kalkulasi saya, kalau Pak Hendi (panggilan Hendrar Prihadi) betul-betul maju akan sulit bagi lawan-lawannya untuk bersaing. Hendi telah menunjukkan keberhasilannya membangun Semarang. Dialah yang membuat Semarang hebat.
Hendi juga berhasil mengembangkan komunikasi dengan warga. Saya tahu persis. Popularitasnya tinggi. Setiap kali jalan sehat, menjadi rebutan swafoto warga. Hendi melayani dengan telaten. Namanya dipanggil-panggil warga sepanjang perjalanan.
Pendekatan seperti itulah yang dibutuhkan untuk memenangkan jabatan publik. Bukan bagi-bagi uang. (hq@jawapos.co.id)