RADARSEMARANG.COM – Life begins at forty. Hidup dimulai pada usia 40. Barangkali ungkapan itu pas buat Nokning Pramukenti. Semangatnya justru membara ketika umur sudah kepala empat. Semangat menaklukkan gunung-gunung di Indonesia.
Bahagia, puas dan lupa urusan dunia. Pernyataan itu yang terlontar dari mulut Nokning Pramukenti ketika ditanya enaknya naik gunung. Padahal usia sudah kepala empat. Biasanya di umur itu emak-emak lebih suka ke salon, jalan-jalan ke mal atau liburan di tempat menyenangkan. Eh dia justru bersusah payah naik gunung.
“Bisa dibilang hobi yang telat. Umur 47 baru seneng-senengnya naik gunung sementara kemampuan sudah menurun,”seloroh ibu rumah tangga ini.
Sejatinya, aktivitas alam tidak asing baginya. Sang suami, Wahyudi Setiawan adalah pecinta alam sejak masih kuliah di Fakultas Sastra (kini FIB) Universitas Diponegoro (Undip). Ia sering diajak berkumpul dengan teman-teman pecinta alam (Wapeala Undip). Namun ia sendiri belum pernah naik gunung.
Ia disibukkan dengan urusan rumah tangga. Harus mengurus lima anak, juga membantu bisnis suaminya. Kini, setelah anak-anak sudah besar, jiwa petualangnya muncul. Tepatnya tiga tahun lalu, ketika diajak naik Merbabu dengan ketinggian 3.145 mdpl. Momen tersebut sangat berkesan. Naik gunung bersama suami dan anak bungsunya Prayudha, yang kala itu masih berumur 3,5 tahun.
Sejak itu lanjut ke Sumbing, Slamet, Prau, Ungaran, Haruman. Dan yang paling mengesankan adalah Gunung Rinjani. “Bagaimana tidak, dengan umur 47 tahun, saya bisa mencapai 3.726 mdpl. Sementara banyak yang memimpikan bisa mencapai puncak dari salah satu seven summit Indonesia itu,” imbuh ibu dari Atira, Adika, Keanu, Forward dan Prayudha ini.
Ia sempat tidak yakin ketika sulungnya, Atira, mengajak naik Rinjani. Suaminya sangat mendukung. Jadilah 19 Oktober 2022 berangkat bertiga. Mendaki salah satu dari 7 gunung tertinggi di Indonesia itu. Perjalanan sangat menakjubkan sekaligus berat. Setelah naik ojek 30 menit sampai ke pos 2. ”Perjalanan dari pos 2 menuju Pelawangan Sembalun sampai 8 jam. Yang nggak kuat, mandeg di situ.”
Pendakian dimulai dari Pelawangan. Ada tiga trek menantang yang harus dilalui. Trekking pertama medan pasir, dengan vegetasi pinus. Trek kedua pasir dan batu-batu kecil yang tajam dengan vegetasi edelweis. Trek ini disebut punggungan naga. “Trek yang ketiga terberat. Sering disebut dengan trekking letter E. Medan hampir 70 derajat, pasir dan sangat terbuka. Stamina sudah terkuras,”cerita wanita yang kini berdomisili di Depok itu.
Mentalnya sempat down. Namun suami, anak dan orang-orang di sekeliling memberi support. Begitu sampai puncak, ia menangis. “Lega, bahagia. Pemandangan Segara Anakan, awan berarak yang berada di bawah kita. Luar biasa. Tak terbayarkan pengalaman itu,”paparnya sembari menambahkan saat mudik ke rumahnya di Karangduren, Tengaran, Kabupaten Semarang sering menyempatkan naik ke Merbabu dan Gunung Ungaran. Kini destinasi selanjutnya adalah Gunung Tambora. Ia tengah mempersiapkan stamina dan fisik yang prima untuk memuncaki Tambora. Tiap hari minimal satu jam disempatkan treadmill. (lis)