RADARSEMARANG.COM – Berhasil ”menghidupkan” anggrek ibunya yang sekarat, Argani Murtiningrum jatuh cinta pada tanaman hias satu ini. Lantas ia menjadi kolektor anggrek spesies atau asli hutan.
Di rumahnya di Wonolelo, Wonosobo lebih dari dua puluh spesies anggrek hutan tumbuh alami. Antara lain coelogyne pandurata atau anggrek hitam, coelogyne asperata, phaius tankervilleae, eria mawar, oncidium, ascocentrum miniatum atau vanda miniata. Juga ekor tikus atau paraphalaenopsis labukensis, dendrobium mutabile dan epigeneium yang konon asli Wonosobo. Anggrek-anggrek itu menempel di pohon leci, ada yang di pakis digantungkan di pohon. Ada yang ditanam di pot gantung. Juga ditempatkan di rak-rak, terbuka.
Halaman samping rumah Agi –sapaan akrab Argani Murtiningrum- dibuat seasli mungkin seperti habibatnya di hutan. Banyak pohon besar tumbuh. Ada leci, macadamia, matoa, dan sukun yang rimbun. Terdapat kolam ikan pula di kebunnya. Anggrek-anggrek spesi itu tumbuh alami. Tanpa paranet untuk mengatur sinar matahari. Bahkan Agi, tak memakai obat kimia. Ia memilih bahan organik alami untuk memupuk.
Hobinya dimulai ketika mencoba memelihara anggrek ibunya di Jogja yang rusak. Pot-pot pecah, anggrek pun tidak terawat, gara-gara dirusak ayam kate peliharaan cucunya. Lantas anggrek-anggrek itu diboyong ke Wonosobo.
”Setelah bisa menumbuhkan lagi anggrek yang rusak, jadi cinta bunga ini,”cetus ibu dua anak itu.
Ia memilih koleksi anggrek spesi karena perawatan lebih gampang. Hanya rajin disiram dan diberi pupuk. Tidak memerlukan perawatan intens. Setiap tahun berbunga.
“Menurut saya spesi lebih tahan dengan perubahan cuaca. Tetapi kelemahannya, warna tidak mencolok. Sedangkan hibrid agak lebih kikrik perawatannya. Misalnya tidak boleh kepanasan, namun harus cukup sinar matahari. Memang bunganya terlihat lebih indah warnanya berbeda-beda,”ujarnya beralasan memilih koleksi spesies daripada hibrida.
Koleksi spesiesnya didapat dari para hunter (pemburu anggrek liar). Ada juga yang barter dengan sesama kolektor. Bahkan tak sengaja ia menemukan anggrek yang menempel di kayu yang dijual orang.
ASN Pemkab Wonosobo ini rajin membudidayakan anggreknya. Apabila sudah banyak, displit atau dipisah-pisah. Hasil split untuk barter jenis lain dengan sesama kolektor.
”Tidak ada anggaran khusus buat beli anggrek. Kalau pas ada rezeki ya beli, kalau nggak ada, ya gigit jari,”imbuhnya sembari tertawa.
Agi mengaku sempat nglokro. Ketika koleksinya diserbu kutu gajah. Hama ini menyerang batang pohon anggrek dan bakal bunga. Penyebarannya sangat cepat. Banyak koleksinya yang mati. Berkat ketelatenannya, “musibah” itu berlalu. Kini anggreknya sudah mulai pulih. Apabila ada masalah, ia sharing dengan kawan-kawannya yang tergabung dalam Sahabat Anggrek Indonesia (SAI) Wonosobo. Beruntung, hobinya didukung suami. Ketika pandemi lalu, sang suami membuatkan rak-rak anggrek. Sehingga tertata rapi.
”Kalau ini anggrek silangan. Saya beli karena namanya mirip nama saya, dendrobium nakhla argani,” ujarnya tertawa sambil menunjuk anggrek berwarna coklat kekuningan yang tengah mekar di pot depan rumahnya. (lis)