27 C
Semarang
Monday, 16 June 2025

Koleksi Sejak SMA, Pernah Dapat Keris Jalak Budha Seharga Rp150 Juta

Artikel Lain

RADARSEMARANG.COM – Keris merupakan salah satu peninggalan budaya. Meski awalnya merupakan senjata, namun kini menjadi benda antik.

Proses pembuatannya yang melalui ritual, membuat hasilnya kerap menjadi pusaka. Dan kini banyak menjadi bahan koleksi masyarakat. Salah satunya adalah Alexander Prayogo.

Ia memiliki hobi mengoleksi sejak masih duduk di bangku SMA. Hingga kini, ia memiliki sedikitnya 300 keris. Dia simpan di ruang khusus.

“Dari tahun 1997-an sudah mulai menyimpan keris. Suka, dan lebih merasakan keris seperti bahasa ibu. Susah untuk mengungkapkan mengapa menyukainya,” tutur bapak satu putri ini.

Sejak muda, ia mulai belajar seluk beluk merawat keris. Termasuk memperlakukannya. Misalnya, tidak boleh menaruh keris di kaki. “Keris tidak boleh dijejak atau ditaruh di bawah. Karena disakralkan,” imbuh pria 44 tahun ini.

Selain itu, keris jug harus dicuci secara rutin untuk menghambat korosi. Dalam perjalanan waktu, ia pun belajar dengan ahlinya. Yakni para mpu yang masih ada. Bahkan juga belajar dengan orang Belanda. “Sering juga diskusi mengenai seluk beluk keris,” kenang dia.

Suami prof Theresia Woro Damayanti ini, juga menjelaskan tentang filosofi lekuk (luk) keris. Termasuk tentang Gonjo (Yoni) sudut yang berada di bagian bawah bilah keris). Juga Pesimis (lingga) besi di bawah yang digunakan untuk menempelkan gagang. Zaman dulu, bilah keris juga sudah Digambar, dan sering disebut pamor.

Hingga kini, dia masih terus menambah koleksinya. Mahar Tertinggi yang pernah dikeluarkan untuk alih rawat keris adalah Rp150 juta. Yakni keris Jalak Budha.

Menurutnya, mahal tidaknya keris dilihat dari waktu pembuatan hingga bahan yang digunakan. Termasuk juga jejak metalurgi, yakni jejak tempa yang bisa dilihat dari kasat mata.

Zaman dulu, orang membuat keris dengan batu alam yang dilelehkan. Kemudian diperoleh biji besi dan dibentuk ore. Setelah itu baru ditempa menjadi keris.

Keris yang mahal rata-rata diproduksi di era Majapahit dan Tangguh Kuno. Tiap wilayah memiliki karakteristik keris. Misalnya Bali dan Jawa, bentuk keris berbeda. Sesuai dengan karakteristik penduduk.

“Keris Bali atau Lombok biasanya ukuran lebih besar dari keris Jawa. Lebih besar dan kokoh,” Terangnya.  Namun semua memiliki kesamaan yakni asimetrik. Yakni tajam di tiga sisi.

Disinggung mengenai Salatiga, Alex menceritakan, Salatiga zaman dahulu memiliki 11 empu di wilayah Tingkir. Ciri kerisnya jelas, dengan ukuran sedang, tidak terlalu besar. Kemudian eranya di Majapahit akhir. Dan pamornya seperti keris kerajaan Pajang.

Ia pun terus mencari keris di tiap ada kesempatan. Terakhir, ia mengeluarkan mahar puluhan juta untuk alih rawat keris peninggalan HB (Hamengkubuwono) VII di Yogyakarta.

“Istri mendukung, bahkan ulang tahun lalu juga membelikan saya keris,” tuturnya sambil tertawa ringan. (sas/zal)


Artikel Terkait

Sementara Itu ..

Terbaru

Populer

Menarik

Lainnya