RADARSEMARANG.COM – Ustad M Rikza Chamami berasal dari Kudus. Pengalamannya berdakwah sudah meliputi berbagai kalangan. Mulai anak sekolah, mahasiswa, dan masyarakat. Bahkan sudah masuh ke ranah perkantoran. Sering diundang untuk memberikan tausyiyah di kantor Telkom, perbankan, kantor pajak, Akpol, hingga para dokter di Ikatan Dokter Indonesia (IDI).
Kemampuannya berdakwah melalui ceramah umum sudah diasah sejak kecil. Ia adalah seorang atlet lomba pidato sejak mengenyam pendidikan di bangku Aliyah. Konsen dalam tiga bahasa. Yakni bahasa Jawa, bahasa Indonesia, dan bahasa Arab.
“Pernah mencoba memakai bahasa Inggris, tapi belum bisa,” katanya kepada RADARSEMARANG.COM saat ditemui di Ruang Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (LP2M) Universitas Islam Negeri (UIN) Walisongo Semarang, Selasa (25/4).
Diakuinya, saat remaja ia aktif di Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama (IPNU) dan Remaja Masjid. Sehingga kental dengan kegiatan bernuansa religius. Berawal dari pengajian masjid di masyarakat, semakin dikenal dan diundang ke beberapa tempat.
Apalagi Ustad Rikza juga punya santri di Pondok Pesantren (PP) Al-Firdaus. Para santri berinisiatif membuatkan dirinya kanal youtube, khusus untuk kultum dan ceramah Ustad Rikza. Apalagi resources sangat mendukung. Sebagaian santri punya kamera, bisa editing, dan memiliki perangkat pendukung lainnya. “Dari situlah publik mulai mengenal. Bahkan pernah salah satu media menyebut Ustad milenial di headline beritanya,” tuturnya.
Menjadi seorang dai, Ustad Rikza mengaku berpegang teguh dengan salah satu pesan Nabi Muhammad SAW. Yaitu “Balighu anni walau ayah”. Artinya adalah sampaikan dariku (Nabi Muhammad) meskipun hanya satu ayat. Hal itulah yang menjadi motivasinya dalam berdakwah dan melakukan upaya diseminasi perintah Nabi Muhammad SAW.
Ustad Rikza yang juga menjabat sebagai ketua Kepala Pusat LP2M UIN Walisongo mengaku berdakwah berangkat dari sebuah kesadaran. Yakni sebagai bagian dari civitas akademika UIN Walisongo Semarang sebagai kampus peradaban dan kesatuan ilmu. “Ingin mendorong tentang moderasi beragama. Saya ingin memberikan wacana-wacana itu kepada masyarakat,” ujarnya.
Setiap memberikan tausyiyah, dirinya selalu membumikan nilai-nilai moderasi. Sebab, para pendengar tidak hanya dari Islam. Agama lain pun ada. Meski pendengar Islam semua, harus memerhatikan yang berbeda ideologi. “Saya tidak segan bertanya kepada penyelenggara siapa audiensnya. Sehingga saya bisa menyesuaikan arah tausyiyah dan memilih diksi yang semua kalangan bisa menerimanya,” terangnya.
Menurutnya, berdakwah itu ada seninya, agar semua kalangan bisa menikmati dan menangkap maksud yang disampaikan. Menghadapi anak-anak SMA, strateginya adalah dengan diajak menyanyi dan berbicara tentang cinta. Kemudian juga menggunakan metode interaktif dengan anak. “Intinya komunikatif tidak searah. Ada timbal balik. Terkadang ada selingan humor,” ucapnya.
Ia menambahkan, ada tantangan tersendiri sebagai dai milenial. Pendakwah milenial harus update isu terkini. Kalau tidak update, akan sangat sulit menyentuh atau menjangkau jamaah. Misalnya berbicara dunia entertain, kosmetik, dan perawatan, jika sasaran ceramahnya kepada ibu-ibu.
Jika anak muda juga harus mengetahui nama game saat ini. Lalu, jika ceramah di depan kiai harus menyiapkan hal ilmiah dan ada selingan humor. “Kita harus bisa masuk dan lebih dekat dengan dunianya jamaah,” jelasnya.
Jika ingin mengisi ceramah, Ustad Rikza selalu merujuk kepada guru-gurunya. Di antaranya Habib Umar Muthohar, Zainuddin MZ, KH Anwar Zahid, Kiai Zulfa Mustofa, dan Gus Muwafiq. Dirinya juga tidak malu membawa catatan dan kitab untuk memperkuat dasarnya. Apalagi ketika berceramah di depan kiai atau orang-orang pandai. “Artinya bahwa bicara di depan umum harus benar-benar disiapkan,” tandasnya.
Ustad Rikza memandang, tugas dai tidak hanya mengajak orang muslim untuk taat. Tapi juga menjadi tanggung jawab bersama menjaga kebersamaan kepada saudara yang berbeda agama. Tak lain untuk menjaga NKRI dengan keyakinan agama masing-masing. “Dalam aspek itulah saya berkiblat kepada Rasulullah SAW. Bagaimana menghadapi umat yang beragam. Berhasil mengubah pusat dominasi keberhalaan menjadi tuhan yang esa tanpa berhala,” imbuhnya.
Jadwal undangan juga semakin padat. Apalagi saat bulan Ramadan. Sehari bahkan sampai lima kali memberikan ceramah. Kendati demikian, asal tidak mengganggu jam kerja tak masalah.
Baginya, berdakwah membawa banyak keberkahan. Semakin banyak saudara. Mengetahui warna-warna Islam. Selain itu menyadari bahwa sebenarnya dakwah itu berat. Dianggap sebagai publik figur yang harus menjaga marwah secara lahir dan batin.
Istiqomah dalam dakwah juga menjadi sesuatu yang berat. Mulai dari menerima undangan, menjaga kesehatan, kemudian datang, dan pulang dengan ikhlas. Sebab pendakwah juga manusia yang punya ekspektasi. “Kalau tidak ditata dengan baik, justru kita malah terjerumus,” pungkasnya. (cr3/ida)