RADARSEMARANG.COM, 1 Syawal di setiap tahun Hijriyah diperingati sebagai hari kemenangan bagi umat Islam. Hari kemenangan tersebut dipahami sebagai ekspresi keberhasilan melaksanakan puasa satu bulan lamanya. Begitu kira-kira yang termaktub dalam KBBI, Idulfitri artinya “hari raya umat Islam yang jatuh pada tanggal 1 Syawal setelah selesai menjalankan ibadah puasa selama bulan Ramadan”. Dikatakan sebagai hari raya, karena tradisi ini baru bermula pada tahun ke-2 Hijriah.
Idul Fitri sebagai sebuah frasa, yang dalam KBBI tertulis dengan Idulfitri sebagai bentuk baku, agaknya belum viral penggunaannya dalam masyarakat yang mengucapkan ungkapan tersebut secara tertulis. Jauh sebelum Idul Fitri dibakukan menjadi Idulfitri, polemik yang sempat mengudara di permukaan adalah penulisan Idul Fitri itu sendiri.
Hal ini wajar, mengingat Idul Fitri tersebut merupakan ungkapan yang bersumber dari bahasa Arab. Polemik yang dimaksud yakni: apakah akan ditulis sesuai kaidah syariah atau bahasa. Jika ditulis secara syariah, maka penulisan mengacu pada bentuk aslinya yang kemudian ditranslitrerasikan (alih aksara), sehingga menjadi ‘īdhul-fithri, demi menampakkan nuansa Arab (dzauqul-lughah: rasa bahasa). Jika pilihan kedua, maka penulisan sebagaimana umumnya yakni Idul Fitri (KBBI: Idulfitri). Topik ini akan semakin hangat, di saat harus mengetikkan headline pada moment 1 Syawal.
Tidak dipungkiri, Bahasa Arab memberikan kontribusi besar dalam pengembangan Bahasa Indonesia dari berbagai aspek, terutama bidang bahasa dan budaya. Mengutip Tajudin Nur ( 2014) dalam artikelnya “Sumbangan Bahasa Arab Terhadap Bahasa Indonesia dalam Perpektif Pengembangan Bahasa dan Budaya”, menyatakan kurang lebih 2.336 kosa Bahasa Arab telah berpindah menjadi kosakata Bahasa Indonesia yang ditemukan dalam KBBI. Tidak hanya dari sisi kosakata, Bahasa Arab juga mempengaruhi Bahasa Indonesia dari sisi gramatika dan budaya.
Dalam aspek budaya, hal yang tampak di antarannya adalah penamaan diri, ungkapan sehari-hari bahkan juga istilah ketatanegaraan. Lebih jauh diuraikan bahwa Bahasa Arab sebagai bahasa agama, ilmu pengetahuan dan budaya telah lama bersinergi dengan Bahasa Indonesia karena ikatan keagamaan (Islam), tidak terkecuali Idul Fitri.
Dalam proses menjadi kosakata Bahasa Indonesia tersebut, yang kemudian masyhur dengan istilah kata serapan menimbulkan berbagai macam masalah kebahasaan. Jika disepakati bahwa bahasa adalah sistem bunyi yang dilambangkan, maka kendala pertama adalah bunyi tadi. Bunyi yang berbeda antara Bahasa Arab dan Bahasa Indonesia berdampak pada perubahan bunyi.
Misal bunyi huruf bilabial (dua bibir) yang dikatupkan (stop) dalam bahasa Indonesia memunculkan konsonan [b, m, dan p] tapi tidak dalam Bahasa Arab yang hanya menghasilkan bunyi [b dan m] dan lain sebagainya. Permasalahan semacam ini, oleh para ahli bahasa diatasi dengan memberikan solusi perumusan transliterasi. Transliterasi dibuat berdasarkan bunyi yang terdengar relatif sama (mirip) dengan bahasa pemakainya, seperti bunyi ‘gha’ dalam Bahasa Arab dipahami dengan ‘ga’ dalam Bahasa Indonesia.
Frasa ‘īdhul-fithri, menimbulkan polemik karena masalah kebahasaan tadi, yang masing-masing bahasa mempunyai karakteristik sebagai identitasnya. Bunyi huruf ‘ain dalam bahasa Arab yang keluar dari tenggorokan tidak dimiliki oleh Bahasa Indonesia. Sehingga bunyi tersebut dilesapkan dengan bunyi vokal [i] yang dihasilkan oleh kerongkongan. Masalah selanjutnya yakni Bahasa Indonesia tidak mengenal vokal panjang sebagaimana layaknya Bahasa Arab.
Begitu juga huruf ‘dhad’ yang terdengar adalah bunyi [d] karena merupakan bunyi yang keluar dari pertemuan ujung lidah dan gigi. Mengutip Nashrudin Idris dalam bukunya Fonologi Bahasa Arab untuk Penutur Bahasa Indonesia (2014) yang melakukan komparasi bunyi Bahasa arab dan Bahasa Indonesia, menunjukkan bahwa bunyi ‘th’ disepadankan dengan bunyi yang dekat dalam Bahasa Indonesia yakni [t].
Pertanyaan lagi, lantas īdhul-fithri, Idul Fitri atau Idulfitri? Penyerapan kata tidak bisa dilepaskan dari proses penyesuaian fonologis. Penyesuaian fonologis īdhul-fithri meliputi pelesapan bunyi konsonan tertentu [`ain], pemendekan vokal panjang, penggantian konsonan [th] dengan [t]. Hal itu semua bertujuan untuk memudahkan lisan pengguna bahasa yang menyerap bahasa asing.
Bukankah banyak kosakata bahasa Arab lainnya yang sudah diserap kemudian menjadi kosakata bahasa Inodenesia memlilih kemudahan tersebut? Ambil saja contoh kata ayat, berkat, adil, dan ilmu yang jika dituliskan dengan transliterasi terasa menyulitkan karena akan menjadi āyat, ādil, barakah dan ‘ilmu. Terakhir, Idul Fitri jika dibakukan dengan menjadi Idulfitri, maka bagaimana dengan Zakat Fitrah? Apakah harus menjadi Zakatulfirah? (*/ida)
Dosen Fakultas Ushuluddin, Adab, dan Humaniora IAIN Salatiga