RADARSEMARANG.COM, UMAT muslim telah meniti sepuluh hari pertama Ramadan. Sebelum ke etape berikutnya, ada baiknya kita evaluasi apa yang sudah dilakukan. Sejauh mana itu mengarahkan pada tujuan akhir puasa. Untuk memudahkan evaluasi, kita ambil khusyu’ sebagai ukurannya.
Ulama menjelaskan kata khusyu’ dengan beragam makna, antara lain sebagaimana dijelaskan dalam buku al-Khusyu’ fi ash-Shalat fii Dhau’ al-Kitab wa as-Sunnah (hal. 12-13) bahwa khusyu’ itu adalah menundukkan diri (al-inkhifaadh) merendahkan diri (adz-dzul) dan diam atau tenang (as-sukuun). Secara istilah, ada yang memaknai khusyu’ sebagai berikut, “kelembutan, ketertundukan, kehalusan, ketenangan dan hadirnya hati ketika menjalankan ibadah ketaatan pada Allah, yang kemudian diikuti oleh ketenangan anggota badan baik lahiriah maupun batiniah. Karena hati ibarat komandan sedangkan anggota badan adalah bala tentaranya.”
Keadaan sebagaimana pengertian di atas, tak akan tumbuh dan tambah kecuali terlebih dahulu dipenuhi syarat utamanya yakni senantiasa mengikuti kebenaran (al-inqiyaad al-haq). Senantiasa mengikuti kebenaran. Pada sisi lain menuntut adanya usaha untuk menahan diri (al-imsaak) dari mengikuti dorongan dan keinginan negatif.
Jadi ada irisan antara puasa Ramadan dengan kekhusyuan diri. Karena selama Ramadan seorang muslim di satu sisi dipaksa menahan diri dari keinginan dan dorongan yang tidak baik dan dibiasakan untuk mengikuti dan melakukan kebaikan pada sisi lainnya. Pertanyaannya, apakah pada etape pertama ini, proses menahan diri dari hal-hal tidak baik telah mampu menumbuhkan atau menambahkan kekhusyuan.
Oleh sementara kalangan, khusyu dibagi menjadi dua. Pertama, khusyu’ al-imaan yakni sebenar-benarnya khusyu baik secara lahiriah maupun batiniahnya. Kedua, khusyu’ an-nifaaq yang berarti khusyu’ hanya tampak lahiriahnya saja, sedangkan batiniahnya sama sekali tidak.
Khusyu’ casing-nya saja, kira-kira begitu. Kemudian, khusyu’ al-imaan dibagi dua lagi. Pertama khusyu’ secara khusus, yakni khusyu’ dalam makna ibadah. Kedua khusyu’ dalam arti yang lebih umum, yakni menunjuk pada kualitas kepribadian seseorang, pribadi yang khusyu’.
Khusyu’ dalam makna kualitas kepribadian seseorang dapat dirujuk pada surat al-Baqarah [2]: 45 berikut ini, “dan mohonlah pertolongan (kepada Allah) dengan sabar dan salat. Dan (salat) itu sungguh berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyu’.”
Ayat di atas menjelaskan bahwa salat merupakan aktivitas yang berat kecuali bagi orang-orang yang khusyu’. Pemahaman terbaliknya, orang dengan kepribadian yang khusyu’ akan ringan dalam menjalankan salat.
Mengevaluasi diri pada sepuluh hari pertama Ramadan dengan parameter pribadi yang khusyu’, tampaknya terlalu dini dan tergesa-gesa. Karena membentuk atau memperbaiki kepribadian, tak cukup dengan sepuluh hari. Butuh riyadhah dengan komitmen kuat dan membutuhkan waktu yang lama.
Jika demikian, maka cukuplah mengevaluasi sepuluh hari puasa dengan khusyu’ dalam maknanya yang khusus tadi, khusyu’ dalam ibadah. Khusyu’ dalam maknanya yang khusus dalam ibadah (salat) ini sebagaimana dijelaskan dalam surat al-Mukminun [23]: 1-2 yang artinya, “sungguh beruntung orang-orang yang beriman, (yaitu) orang-orang yang khusyuk dalam salatnya.”
Sebelum sampai kepada terbentuknya pribadi yang khusyu’, tampaknya membiasakan diri dengan kekhusyu’an beribadah (salat) selama Ramadan akan mengantarkan seseorang menuju pribadi yang khusyu’.
As-Sa’di di dalam tafsirnya menjelaskan khusyu’ di dalam salat adalah sebagai berikut, “khusyu’ adalah hadirnya hati di hadapan Allah, kedekatan dengan-Nya akan menghadirkan dirinya dalam salat. Yang demikian itu akan menentramkan hati dan menenangkan jiwanya, juga akan menenangkan dirinya dari gerakan-gerakan tak berguna, akan meningkatkan konsentrasi, dan akan menjadikannya beradab di hadapan Allah. Melibatkan diri dengan apa yang dibaca dan dikerjakan selama salat sejak awal hingga akhir. Lalu yang demikian itu akan menegasikan pikiran yang mengganggu. (khusyu’) itulah yang menjadi ruhnya shalat.
Jadi, salat khusyu’ dimulai dengan kesadaran bahwa kita sedang menghadap kepada Sang Khaliq. Karena itu, hati dan pikiran harus menyatu berkonsentrasi kepada-Nya. Tidak sopan dan tidak beradab ketika menghadap Raja dari segala raja, pikiran dan hati justru berpindah ke persoalan lain. Untuk menjaga itu, caranya adalah libatkan pikiran dan hati dalam makna bacaan salat dan gerakan-gerakannya. Selalu berusaha menahan diri (al-imsaak) dari pikiran yang merusak konsentrasi bahwa kita sedang berdialog dan bermunajat kepada Rajanya segala Raja.
Pada prinsipnya tanpa kekhusyu’an, salat hukumnya tetap sah, hanya saja kehilangan ruh atau spirit. Salat yang tak diikuti dengan kekhusyu’an bagaikan jasad tak bernyawa. Demikian menurut Ibn Al-Qayyim yang artinya, “Demikian itu, ketiadaan khusyu’ di dalam salat dan tidak terlibatnya hati di dalamnya di hadapan Rabb, yang mana khusyu’ itu adalah ruh dan substansinya salat, maka salat yang tanpa kekhusyu’an itu bagaikan jasad yang mati yang tak bernyawa lagi.”
Terakhir, agar Ramadan tahun ini benar-benar bisa mengantarkan menjadi pribadi bertakwa, salah satu indikatornya pribadi yang khusyu’. Maka di sepuluh hari pertama ini kita evaluasi diri dengan ukuran kekhusyu’an dalam salat. Jika belum khusyu’, masih ada waktu dua etape lagi untuk mengejarnya. Jika belum maksimal masih ada waktu untuk mengotimalkan usaha hingga akhir Ramadan kelak.
Demikian Hikmah Jumat pekan ini, semoga Allah berkenan memberikan petunjuk-Nya kepada kita untuk meniti jalan mencapai kekhusyu’an diri. Aamiin. (*/ida)