26.3 C
Semarang
Saturday, 21 June 2025

Tiap 13 Muharam, Peziarah Menyemut di Wonobodro

Jejak-Jejak Para Wali Allah

Artikel Lain

RADARSEMARANG.COM – Kabupaten Batang menyimpan berbagai destinasi ziarah para aulia penyebar agama Islam di tanah Jawa. Salah satunya ada di Desa Wonobodro, Kecamatan Blado. Di sana ada makam Syekh Maulana Maghribi, lokasinya berada di dataran tinggi perbukitan. Ramai dikunjungi peziarah setiap 13 Muharam.

Makam tersebut tersohor baik di masyarakat lokal maupun luar daerah. Wartawan RADARSEMARANG.COM pun berkesempatan mengunjunginya. Kami bertemu dengan Akhmad Suyuti, 54, ketua pengurus makam setempat di kediamannya. Udara sejuk membawa obrolan kami semakin hangat.”Maghribi itu ibarat satu marga, di Ujungnegoro ada, di Parangtritis ada, di Demak, Pandeglang, Cirebon, banyak sekali,” ucapnya.

Ia menjelaskan, berdasarkan literatur yang diberikan pada wartawan koran ini, dahulu ada salah seorang murid atau santri yang mencari makam gurunya. Tidak diketahui secara pasti santri tersebut adalah siapa, namun dimungkinkan identitasnya adalah Sunan Kudus. Dalam pencariannya, si santri berusaha menaiki sebuah bukit dan mengira saat itu sudah masuk waktu magrib. Sang santri pun bergegas membuat musala, dan beristirahat di sana.

Setelah itu, sang santri bertirakat di bawah pohon Jlamprang. Dari tirakatnya, ia melihat cahaya terang menjulang ke langit dari balik hutan. Ia pun segera menuju ke sumber cahaya. Singkat cerita, sang santri membabat hutan dan menemukan apa yang dicarinya. Yaitu dua buah nisan, penunjuk adanya makam di sana. Makam itu diyakini sebagai makam Syekh Maulana Maghribi. “Wallahualam, makam ini dahulu ditemukan oleh siapa dan tahun berapa. Syekh Maulana Maghribi itu jauh sebelum Walisongo, selisihnya 300-an tahun ada itu,” timpalnya.

Berdasar peristiwa itu, bukit tempat bersemayamnya Syekh Maulana Maghribi disebut Simaghrib. Sementara lembahnya disebut Siweru, tanahnya ngluwer-ngluwer jeru. Asal usul nama Desa Wonobodro juga turut berkaitan dengan peristiwa penemuan makam Syekh Maulana Maghribi. Wono memiliki arti hutan dan Bodro berarti bersinar terang.

Syekh Maulana Maghribi diyakini menyebarkan Islam di tanah Jawa sebelum zaman Walisongo. Syekh Maulana Maghribi merupakan tokoh babad alas khususnya di Wonobodro. Ia merupakan salah satu rombongan penyebar agama Islam dari tanah Maroko. Nama Maghribi disebut sebagai sebutan satu angkatan. Sehingga satu rombongan tersebut dikenal sebagai Maghribi, namu tidak diketahui nama Syekh Maulana Maghribi yang bersemayam di Wonobodro. “Di Wonobodro ini saja ada 80-an Maulana Maghribi. Tidak tahu makam-makamnya tersebar di mana saja. Di sini makamnya cuma satu,” jelasnya.

Haul Syekh Maulana Maghribi di Wonobodro dilakukan tiap tanggal 13 Muharam. Pada kesempatan itu ribuan orang dari berbagai daerah selalu menyemut. Bahkan untuk parkir kendaraan harus jauh dari lokasi makam, seperti di lapangan. Jalanan kampung pun padat dengan manusia.

Tanggal tersebut merupakan puncak dari agenda haul yang dilakukan tiap tahun. Kegiatan itu dilakukan untuk mengenang jasa auliya dalam menyebarkan agama Islam. “Dahulu haul hanya dilakukan satu hari, saat ini haul dilakukan tiga hari. Bahkan dari 1 Muharam dan sesudah 13 Muharam peziarah terus memadati. Bisa dikatakan satu bulan penuh, peziarah menyemut,” kata Suyuti.

Ia menjelaskan, makam Syekh Maulana Maghribi banyak tersebar di berbagai daerah. Di Kabupaten Batang saja ada dua makam yang diyakini sebagai Syekh Maulana Maghribi, salah satu penyebar agama Islam di tanah Jawa.

“Walaupun mereka banyak, tingkat karomah dan keilmuannya juga berbeda-beda. Di Wonobodro ini Wallahualam, tiap tahun bisa rame, rame, rame. Tambah tahun tidak berkurang peziarahnya. Selalu membeludak,” terangnya.

Menurutnya, peziarah di Wonobodro memiliki waktu yang berbeda dengan masyarakat yang berziarah Walisongo. Saat musim ziarah Walisongo, di Wonobodro peziarahnya malah sedikit. Jarang Wonobodro menjadi destinasi. Namun saat haul di bulan Muharam, Wonobodro selalu ramai peziarah.

“Ziarah itu sebagai bentuk roso seneng marang auliya. Tidak berharap apa-apa, mengingatkan bahwa nanti kita bakal mati. Istilahnya seperti kita kangen dengan orang tua, kemudian diziarahi. Mengingat perjuangan ulama, sampai sekarang kita bisa tahu tentang akhlak, sopan-santun, dan lain sebagainya sudah turun temurun dari zaman Nabi,” ucapnya.

Makam Syekh Maulana Maghribi sering didatangi oleh para musafir. Mereka punya hajatnya masing-masing. Tidak tanggung-tanggung, bahkan ada yang sampai 5 tahun menjadi musafir di sana.

Wartawan RADARSEMARANG.COM saat menengok ke dalam pohon Jlamprang. (Istimewa)

Pohon Jlamprang Bak Gua Berusia Ratusan Tahun

Tak jauh dari makam Syekh Maulana Maghribi, pohon Jlamprang menarik perhatian peziarah yang datang. Pohon tersebut usianya sudah ratusan tahun. Lokasinya berada di luar kompleks makam.

Untuk menuju ke situs pohon Jlamprang, kita harus keluar dari kompleks makam menuju permukiman. Selanjutnya ke jalan utama arah utara. Kemudian masuk ke satu gang arah timur sekitar 120 meter. Pohon Jlamprang berada di tepi jalan di ujung permukiman penduduk. Bagian utara dan selatannya bahkan diapit rumah-rumah warga.

“Kayu Jlamprang ini seperti gua. Orang bisa masuk ke dalamnya, di dalam itu kalau menengok ke atas langit bisa kelihatan. Tapi sekarang sudah ambruk sekitar tahun 2010 ke atas,” kata Akhmad Suyuti, 54, ketua pengurus makam Syekh Maulana Maghribi.

Wartawan koran ini mencoba masuk ke dalam pohon tersebut. Beberapa anak tangga harus dilalui untuk menggapai bagian bawah pohon sebagai akses masuk. Kayunya sangat keras, terasa sakit saat lengan terpentok dinding celah masuk. Benar-benar seperti memasuki gua, celah untuk masuknya sangat sempit. Tubuh harus miring dan menunduk saat ingin masuk.”Kiri kanan padahal rumah warga, tapi tidak ada satupun rumah yang tertimpa pohon itu. Saat ambruk dulu pohonnya masih berdaun,” terangnya.

Pohon Jlamprang ambruk ke arah timur. Patahannya tepat di atas bagian akar. Menyisakan celah yang dijadikan sebagai pintu masuk. Lubang di batang terlihat hingga ujung. Sinar matahari pun terlihat masuk dari celah-celah lubang di batang pohon. Suyuti menyebut, dahulu tingginya sekitar 10 meter dengan diameter sekitar 3,5 meter.

Menurut cerita masyarakat, pohon Jlamprang semula adalah tongkat kayu Syekh Maulana Maghribi. Tingkat itu ditancapkan ke tanah sebelum salat. Namun karena terlalu lama ditinggalkan beribadah, tongkat kayu tumbuh menjadi pohon.

Di dekat pohon Jlamprang ada sumber mata air yang juga dikeramatkan warga. Airnya sangat jernih, sehingga pengunjung sering meminumnya secara langsung. Sumber mata air itu ditampung dan dialirkan menggunakan pancuran. Air selalu mengalir, dan tidak pernah kering. (yan/ton)


Artikel Terkait

Sementara Itu ..

Terbaru

Populer

Menarik

Lainnya