RADARSEMARANG.COM – Ponpes Luhur Dondong dikenal sebagai salah satu pesantren tertua di Jawa Tengah. Didirikan 1609 M. Semua santri ditekankan untuk belajar ilmu fiqih.
Ponpes ini didirikan Kyai Syafii Pijoro Negoro saat zaman Mataram. Era Sultan Agung (1613-1645 M). Sekarang diasuh Tubagus Mansur yang merupakan keturunan ketujuh dari pendiri Ponpes Dondong. Berada di Kelurahan Wonosari Kecamatan Ngaliyan, Kota Semarang.
Dalam berdakwah, pesantren ini tidak hanya untuk santi saja. Masyarakat umum bisa mengikuti berbagai kajian keislaman di pesantren tersebut. Ponpes tertua ini menekankan pada ilmu fiqih kepada para santri yang bermukim.
“Bedanya dengan ponpes lain, mungkin kita menekan lebih ke ilmu fikih,” kata Salah satu pengurus ponpes Luhur Dondong, Muhammad Nur Jadid.
Untuk hari biasa, kegiatan kepesantrenan lebih ngaji berbagai kitab keislaman. Untuk ngaji Alquran, diambilkan dari ustadz dari luar pesantren. Meskipun menekankan ilmu fiqih kental, Gus Jadid menjelaskan jika pengurus ponpes terbuka bagi warga atau siapa saja yang ingin belajar agama. Atau ingin belajar baca tulis Alquran. “Masyarakat umum juga banyak yang ikut ngaji disini,” ujarnya.
Gus Jadid didapuk Gus Toba, atau Kyai Toba untuk mengajar secara langsung orang yang ingin belajar agama atau syiar agama Islam kepada orang yang belum paham tentang agama. Biasanya ia ditugaskan untuk mengajar, secara teknis tentu diajarkan yang mudah sebagai awalan atau lebihnya ke hafalan surat. “Lalu untuk baca tulis, diajarkan dari yang paling dasar,” tambahnya.
Pada dasarnya, belajar agama, tidak ada kata terlambat meskipun sudah berumur. Intinya punya niat, dan mau berusaha, dan tidak malu untuk bertanya. “Yang penting kalau nggak mudeng bisa tanya langsung,” ujarnya.
Maulidan Setiap Selasa malam di Musala Kampung
Ponpes Luhur Dondong selalu konsisten terus melakukan syariat Islam. Itulah yang membuat ponpes terus bertahan, dan mampu menjadi bagian dari masyarakat. Bahkan, setiap Selasa malam, digelar Maulidan di mushola-mushola kampung sekitaran Tugu dan Ngaliyan.
“Untuk maulidan ini, diampu langsung oleh Kyai Toba. Ini rutin diadakan setiap Selasa malam, muter di mushola-mushola,” kata Muhammad Nur Jadid.
Saat Ramadan, pengurus pondok menggelar tiga kali ngaji. Yakni setelah Tarawih, Subuh, dan setelah Ashar. Ngaji kitab yang dilakukan berbeda, Kyai Tubagus atau yang akrab Gus Toba mengajar setelah Tarawih. Mengajarkan kitab karangan Imam Al Ghazali. Lalu Gus Jadid, yang mengajar setelah salat Subuh, mengajarkan kitab Wasiatul Mustofa. “Setelah Ashar juga beda lagi kitabnya, kajiannya kitabnya berbeda-beda,” ujarnya.
Gus Jadid menjelaskan, saat Ramadan jumlah santri yang belajar ngaji semakin banyak. Karena banyak santri kalong yang ikut mengaji. Untuk santri yang bermukim, ada sekitar 10 santri. Dimana sebagian ada yang tinggal di Ponpes Luhur Dondong atau bangunan A, yang masih asli. “Ada pula yang pulang kerumah. Kalau plus santri kalong dan ngaji kupingan sekitar 20 orang. Kalau yang bermukim, biasanya dari luar Jateng,” tambahnya. (den/fth)