RADARSEMARANG.COM – Pondok pesantren (Ponpes) biasanya identik sebagai tempat belajar ilmu agama. Namun Pondok Pesantren At-Tauhid Semarang untuk para santri dengan latar belakang pecandu narkoba dan orang dalam gangguan jiwa (ODGJ).
Pondok pesantren yang terletak di Jalan Gayamsari Selatan Raya, Sendangguwo, Kecamatan Tembalang ini diresmikan menjadi Pondok Rehabilitasi Narkoba sejak tahun 2004. Ponpes ini juga digandeng oleh Badan Narkotika Nasional (BNN) Kota Semarang.
Pendirinya, KH Muhammad Sastro Sugeng Al-Haddad. Namun ia telah wafat pada 2018 lalu. Kini, pengelolaannya dilanjutkan oleh anak-anaknya. Salah satunya Singgih Pradipta Cahya Nugraha.
Gus Dipta sapaan akrabnya mengaku, awalnya sang ayah berniat membuka pondok pada umumnya. Sebagai tempat untuk belajar ilmu agama. Tepatnya pada tahun 1998. Namun banyak dari muridnya yang kecanduan narkoba.
“Pada akhirnya, karena santrinya itu banyak yang kecanduan dan seeking for help biar bisa sembuh. Maka tahun 2004 itu diresmikan sebagai pondok rehabilitas,” katanya saat di temui di kantor Ponpes At Tauhid.
Para santri tidak hanya menimba ilmu agama, tapi direhabilitasi menggunakan metode psiko religius. Setelah satu tahun menjalani rehabilitasi dan pemulihan, diharapkan bisa beraktivitas layaknya orang pada umumnya.
Pantauan koran ini ketika datang berkunjung mendekati waktu Ashar. Para santri bersiap membersihkan diri untuk menunaikan salat. Dilanjutkan dengan membaca surat Al Waqiah. Gus Dipta mengaku kegiatan di bulan puasa tidak jauh berbeda dengan hari-hari sebelumnya. Namun waktu mujahadah ditambah.
Kegiatan diawali pukul 12.00 malam dengan mujahadah. Para santri dibangunkan untuk berzikir, dilanjutkan dengan sahur pukul 03.00 pagi. Aktivitas berlanjut salat subuh dan tadarus Alquran. Kemudian kembali mujahadah pagi. Setelah itu para santri diarahkan untuk salat dhuha, bersih-bersih pagi, serta istirahat. Bakda ashar mereka dibimbing untuk membaca surat Al Waqiah hingga berbuka puasa.
“Diperbanyak mujahadahnya, kemudian setelah buka lalu salat isya, tarawih dan dilanjutkan lagi dengan tadarus. Intinya memperbanyak mendekatkan diri pada Sang Pencipta,” tambahnya.
Gus Dipta mengaku kini ada 30 santri yang menetap. Terdiri dari 27 pria dan 3 wanita. Berasal dari berbagai daerah, seperti Kalimantan, Surabaya, Pekalongan, Semarang, dan lainnya.
Menurutnya pasien terbanyak dari kalangan remaja. Disebabkan pergaulan bebas di masa lalunya. Adapun yang usia dewasa, alasannya memakai narkoba, penyebabnya karena keretakan rumah tangga.