27 C
Semarang
Monday, 23 December 2024

Selama Ramadan, Ponpes Nurul Asna Salatiga Bekali Santri Ilmu Kemasyarakatan

Artikel Lain

RADARSEMARANG.COM, Salatiga – Pondok Pesantren (Ponpes) asuhan Alm. KH Asnawi dan Alm. KH Nasafi ini membekali para santri yang umumnya mahasiswa UIN Saltiga dengan beragam keilmuan. Saat lulus kuliah dan keluar pondok, minimal harus bisa memimpin tahlil.

Pondok Pesantren (Ponpes) Nurul Asna beralamat di Kelurahan Pulutan, Kecamatan Sidorejo, Kota Salatiga. Tepatnya di tengah perkampungan yang tak jauh dari Jalan Lingkar Salatiga (JLS).

Pondok ini dicatatkan di Kementerian Agama (Kemenag) berdiri pada 1986 oleh KH Asnawi. Setelah KH Asnawi meninggal, pengelolaan pondok dipegang KH Nasafi. Selain ulama, dia adalah dosen di Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Salatiga yang kini bernama Universitas Islam Negeri (UIN). Awalnya hanya satu lokasi, yakni di kediaman Alm. KH Asnawi.

Seiring perkembangan tahun, jumlah santri yang semakin banyak, mendiang KH Nasafi memindah tempat santri putri. Jaraknya sekitar 100 meter. Tempat baru satu komplek dengan kediaman KH Nasafi dan istrinya, Nyai Hj Asfiah Nasafi.

Pada tahun 2021, KH Nasafi wafat. Kini pondok dipegang oleh istrinya. Pengasuh santri putra dan putri dipegang kedua putranya yakni Gus Ahmad Yusuf Rifky di pondok putra. Kemudian di pondok putri diasuh oleh Gus Muhammad Khaidar Azmi.

Gus Rifky merupakan alumni teknik Perminyakan di UPN Yogyakarta. Ia pernah mondok di Gontor kemudian Krapyak. “Sempat bekerja empat tahun di Cepu. Namun diminta pulang dan mengurus pondok,” terangnya saat ditemui wartawan di rumahnya.

Didampingi putranya yang masih kecil, ia mulai bercerita tentang kegiatan ponpesnya. Selama Ramadan, mereka memang ingin memaksimalkan diri untuk beribadah. Saban hari kegiatan dimulai dari salat Subuh berjamaah. Dilanjutkan dengan mengaji kitab Washaya Al-abaa’ Lil Abnaa’ pada Senin sampai Rabu. Kemudian hari Kamis-Ahad mengaji Kitab Assulam.

Pagi hingga siang, para santri masih sekolah maupun kuliah. Sehingga kegiatan dilanjutkan setelah Ashar. Usai salat, mereka mengaji kitab Qomiut Tughyan.

“Ngaji hingga pukul 16.45 dan para santri mempersiapkan diri untuk berbuka. Kemudian dilanjutkan dengan salat Maghrib, Isya, dan Tarawih. Disusul dengan ngaji kitab Sulam Taufiq dan Hujjah Nahdlatul Ulama karya KH Hasyim Asy’ari,” jelas Gus Rifky.

Pada Ramadan, seluruh kegiatan dipusatkan di aula yang berada di pondok putri. Tujuannya agar suasana Ramadan terasa lebih greget dalam beribadah. Total ada 300-an santri. Termasuk pada salat tarawih. Para santri terbagi dalam beberapa kelas. Sesuai dengan berapa lama menempuh ilmu di pondok. Mereka diasuh 14 pengasuh di ponpes tersebut.

Saat salat tarawih, para santri mendapat jatah bertugas sebagai muadzin, bilal, hingga imam. Tugasnya bergiliran. Setiap salat, ada satu muadzin, tiga bilal, dan tiga imam.

Mengapa tiga? Ternyata salat dilakukan di tiga tempat secara bersamaan. Ada yang di lantai dua, lantai satu, dan lantai dasar. “Kami membagi untuk menyesuaikan tempat. Selain itu melatih para santri dalam bertugas,” jelas dia.

Selain keagamaan, para santri juga dibekali ilmu kemasyarakatan. Namun kegiatan itu dilakukan di luar Ramadan. Mulai dari pengembangan pupuk organik, perikanan, pelatihan leadership, pelatihan MC atau pranoto coro, cara memimpin tahlil, latihan Qori, hingga ceramah. “Jangan sampai lulus kuliah maupun keluar dari pondok, tidak bisa mimpin tahlil atau setidaknya bermanfaat bagi lingkungan,” jelas Gus Rifky.

Perkembangan masyarakat terus membuat para pengasuh ponpes untuk ikut beradaptasi. Banyaknya santri yang membawa motor, menjadi masalah tersendiri yakni lahan parkir.

“Ke depan kami berharap santri tidak bawa motor. Dan juga semoga terealisasikan untuk memiliki shuttle yang mengangkut mahasiswa dari kampus ke ponpes,” harap dia. (sas/ida)

Reporter:
Dhinar Sasongko

Artikel Terkait

Sementara Itu ..

Terbaru

Populer

Menarik

Lainnya