Penjelasan Indra hampir sama dengan cerita masyarakat desa Gringsing dan desa Mentosari. Sebelumnya masyarakat meyakini Kali Kuto tidak akan mengambil korban dari daerah yang dilewati alirannya. Itu terbukti dari puluhan korban tenggelam semua berasal dari luar daerah.
Tapi sejak Kedung Duladi ditimbun menjadi pondasi, korban dari masyarakat lokal mulai berjatuhan. Ada penambang pasir dari desa Mentosari tiba-tiba tenggelam dan ditemukan meninggal. Kemudian remaja dari desa Sambongsari juga tewas tenggelam. Yang lebih tidak masuk akal adalah tenggelamnya seorang anak laki-laki dari Desa Gringsing.
Jasadnya ditemukan berada di titik lokasi tenggelam padahal tim SAR sudah berulang-ulang menyisir tempat itu. Saat ditemukan keesokan harinya jasad anak malang tersebut masih hangat dan sendi-sendinya masih lemas seolah baru meninggal beberapa menit, padahal hampir 24 jam terendam air.
Ketua MUI Kecamatan Gringsing KH Abu Amar menanggapi legenda itu dengan bijak. Menurutnya cerita turun temurun dari leluhur itu mempunyai pesan moral yang berkaitan dengan perilaku dalam menjaga kelestarian alam.
Jika ikan di Kali Kuto diambil dengan racun atau peledak akan menghancurkan habitat. Material yang dikeruk tanpa perhitungan juga membahayakan lingkungan.
“Leluhur kemudian membuat cerita seram yang tujuannya untuk tidak merusak ekosistem. Boleh memanfaatkan kekayaan Kali Kuto tapi sekedarnya saja,” jelasnya. (yan/fth)