RADARSEMARANG.COM – Gedung depo lokomotif di Stasiun Pekalongan konon menyimpan misteri. Wartawan ini bersama dua kawannya mencoba membuktikan keangkeran gedung tua tersebut.
Kamis malam (25/2/2021) tiga orang berjalan kaki menyusuri bantaran rel kereta api menuju arah Stasiun Pekalongan. Sepeda motor mereka harus diparkir di kejauhan, dekat palang pintu rel kereta api Jalan Slamet. Tiga orang itu Faisol, Septian, dan wartawan koran ini.
“Wah, sumur ini ya? Baru sampai sini saja suasananya sudah mencekam,” kata Faisol sambil melongok ke sumur yang tertutup rapat itu.
Waktu menunjukkan pukul 23.00. Tiga orang itu lanjut berjalan. Tak jauh dari sumur tadi, ada sumur lagi. Kali ini terletak persis di sebelah pohon besar. “Selot mrene selot ngeri, Lhem,” kata Faisol lagi dengan logat Pekalongan kental. “Makin ke sini makin ngeri, Lhem,” dalam bahasa Indonesia.
Sampailah mereka di tujuan, gedung depo lokomotif Stasiun Pekalongan. Karena penasaran mereka ingin membuktikan keangkeran tempat itu. Banyak cerita mengatakan, tempat itu dihuni banyak jin dengan berbagai wujud. Kerap pula terdengar suara riuh aktivitas perbengkelan lokomotif. Meski tempat itu sudah tidak digunakan bertahun-tahun.
Tiga orang itu nongkrong berjajar tepat di depan gedung. Menghadap ke utara. Tidak bisa duduk, karena tanah di sekitar basah. “Di sini saja dulu. Beberapa menit ke depan, nanti masuk,” ujar wartawan koran ini.
Di belakang mereka adalah pohon besar dan sumur tadi. Belakangnya lagi, rel kereta api dan peron Stasiun Pekalongan paling ujung barat. Tak ada penerangan sama sekali di tempat mereka nongkrong. Di dalam gedung itu juga. Sangat gelap. Namun cukup tertolong lampu-lampu peron. Mata masih bisa melihat benda-benda yang ada di dalam gedung.
Tak ada orang kecuali mereka. Sunyi. Hanya ada suara kodok dan sayup suara kendaraan dari jalan Pantura.
Gedung tua ini memang terletak tak jauh dari jalan Pantura. Namun orang tak akan bisa melihatnya dari sana. Karena sudah tertutup deretan ruko-ruko. Dengan kalimat lain, depo lokomotif ini ada di balik ruko-ruko itu.
“Jangan kaget kalau nanti ada sesuatu jatuh dari atas,” kata Faisol. Wartawan koran ini lantas melihat ke atas. Atap gedung ini sudah bolong-bolong. Langit malam bisa ditembus pandang dari bolongan-bolongan itu. “Maksudnya, bisa jadi gentingnya jatuh,” sambung Faisol berkelakar.
Guyonan itu cukup membunuh kesunyian. Tapi sebentar, suasana sunyi kembali. Wajah Septian tampak celingukan. Menoleh ke kanan, kiri, belakang, dan atas. Tangannya menggenggam erat helm yang sebelumnya digeletakkan sembarang. Wajahnya tampak ketakutan. Sejak tadi ia tidak banyak berbicara. Wartawan koran ini menduga ia merasakan sesuatu. Tapi Septian tak mau mengaku.
Faisol menyuruh wartawan koran ini duduk di sebelahnya. “Arahkan pandangmu ke gerbong kereta biru itu. Tadi aku melihat sekelebat bayangan hitam di sana,” kata Faisol.
Wartawan koran ini menuruti. Tapi tak bisa melihat apa-apa. Nafas Faisol agak ngos-ngosan. Dengusannya sampai terdengar di telinga wartawan koran ini. Saat begitu, Fasiol terperanjat. Sampai nyaris berdiri. Ternyata ia kaget karena Septian menyenggol tubuhnya. “Sorry, Sol. Saya juga ingin lihat,” jelas Septian.
Faisol dan Septian berkelakar. Tetapi, kelakar mereka seketika berhenti ketika melihat wartawan koran ini batuk-batuk dan menggigil. Padahal, badannya berbalut jaket tebal. Telapak tangannya dingin. “Bahu kananku berat sekali,” kata wartawan koran ini berbisik.
Faisol dan Septian panik. Mereka mengajak pulang. Wartawan koran ini menolak. “Habiskan dulu rokok kalian. Satu atau dua batang lagi tidak apa-apa,” ucap wartawan koran ini menolak ajakan pulang.
Saat itu sudah pukul 23.30. Mereka bertiga sepakat, 15 menit ke depan pulang. Tak lama, daun-daun pohon besar di belakang mereka bergerak-gerak. Mereka bertiga menoleh. “Kok pohon yang sana tidak gerak? Asap rokokku juga tenang biasa,” kata Septian.
Alih-alih memperhatikan percakapan Faisol dan Septian, wartawan koran ini justru berbalik menoleh ke arah gedung. “Ada suara gesekan besi,” kata wartawan koran ini.
Ternyata tak hanya dia, Faisol juga mendengar. “Iya, aku juga dengar. Jelas sekali. Krit..krit.. begitu, kan?” Faisol menimpali.
Septian tidak mendengar. Tetapi ia mengaku, beberapa menit lalu mendengar suara lonceng. Dari arah gedung. Katanya, suranya hanya dua kali. “Makanya dari tadi itu saya diam. Merinding,” ucapnya.
Wartawan koran ini masih merasa kedinginan. Batuk-batuk belum berhenti. Pandangan mulai berkunang-kunang. Bahu kanan masih terasa berat. Rasanya seperti membawa tas ransel. Sempoyongan ketika mencoba berdiri untuk memotret gedung itu. “Pulang aku gantian bonceng, ya” kata wartawan koran ini meminta. Mereka bersepakat membatalkan niat masuk ke dalam gedung.
Septian menyarankan wartawan koran ini segera ambil air wudu. Karena tak ada air di sekitar sana, mereka makin panik. Akhirnya memutuskan beranjak dari sana.
Berjalan kaki menuju tempat memarkir motor, wartawan koran ini hampir terjatuh. Pandangannya makin berkurang. Kemudian menghentikan langkah sejenak. Lalu kembali berjalan. Mereka akhirnya mampir di sebuah kafe, meminjam toilet, dan berwudu. “Sudah mendingan,” kata wartawan koran ini.
Pengalaman sama juga diutarakan Surip, pemilik warung di dekat Depo Lokomotif itu. Ketika gedung itu masih digunakan, ia kerap menemani penjaga malam tidur di sana.
Ia pernah melihat perempuan berambut panjang duduk di bawah pohon besar dan sumur itu. Juga pernah melihat sosok tinggi besar duduk memunggunginya di salah satu gerbong kereta di gedung itu. “Cerita dari penjaga malam lebih banyak, tapi saya hanya mau menceritakan yang saya alami saja,” ungkapnya.
Saat tidur di warung, tengah malam ia mendengar riuh aktivitas perbaikan kereta. Ada besi diadu hingga suara mesin-mesin menyala. “Saya kira memang ada aktivitas, saat saya longok ternyata gelap. Tidak ada apa-apa,” ceritanya. (nra/lis)