RADARSEMARANG.COM – Markas Satlantas Polres Salatiga merupakan salah satu bangunan cagar budaya. Banyak yang menyebut jika bangunan itu sebagai benteng Fort de Hock.
Tampak luar terlihat 24 pilar besar yang terbuka. Sementara pilar lainnya sudah tersambung dengan tembok. Sayap kanan bangunan tersebut kini sudah disulap menjadi tempat nongkrong yang kekinian. Dilengkapi dengan kafe. Biasanya pada hari kerja, banyak pemohon SIM yang berada di situ sembari menunggu.
Bangunan utama digunakan sebagai kantor Satpas SIM. Pintu bangunan itu tingginya sekitar tiga meter. Beberapa ruangan digunakan untuk tempat foto SIM, ujian praktik dan tertulis. Pilar pilar besar berada di bagian depan dan kanan kiri bangunan utama.
Rumah yang diperkirakan dibangun tahun 1860-1870 ini, memang menyimpan banyak misteri. Mulai dari saluran bawah tanah hingga keangkeran yang dirasakan para penghuninya. Meski sekarang sudah disulap menjadi tempat yang indah, namun aura menakutkan masih terasa.
“Memang menakutkan kala dulu. Awal ketika difungsikan sebagai kantor Satlantas memang masih asli. Beberapa teman mengaku ketemu dengan nonik Belanda yang cantik,” kata Sutopo, yang pernah berkantor di Satlantas mulai tahun 2002.
Dirinya malah belum pernah ditemui sosok hantu. Namun ia beberapa kali diganggu dengan suara aneh. Bahkan di tempat sepi serasa sedang ada banyak orang yang berbincang. “Yang menakutkan adalah lorong bawah tanah serta belakang,” ujarnya. Lorong tersebut kini memang sudah ditutup.
Anggota Satlantas Joko Prasetyo menuturkan, lorong itu belum diketahui ujungnya. Dirinya pernah masuk, jalannya menurun. Posisi lorong kira-kira berada 3-4 meter di bawah lantai. “Namun saya hanya masuk 4-5 meter saja. Gelap sekali dan hawanya panas. Rasanya menakutkan,” ucapnya.
Ia menjelaskan, dulu pernah ada orang pintar yang mencoba masuk. Sempat ada dialog antara orang tersebut dengan makhluk penunggu lorong itu. Disebutkan, jika mau membuka lorong itu harus ada tumbal tujuh nyawa. Yang berupa sapi.
Saat perombakan kantor, beberapa tempat diperindah tanpa merubah bentuk. Lahan kosong di belakang kantor diratakan. Joko bersikukuh agar tiga pohon yang ada di belakang tidak ditebang. Satu di antaranya adalah pohon bulu.
“Banyak yang menyebut pohon itu menjadi rumah para makhluk ghaib. Namun memang diperlukan untuk memperindah penataan,” tuturnya.
Selama proses pembangunan, memang banyak yang merasa diganggu. Para tukang kadang ada yang dicolek atau bahkan didorong. Meski hal itu sudah dianggap lazim dan tidak ada yang takut. Mungkin karena para pekerja diganggu di tempat terbuka dan siang hari.
Pegiat sejarah dari Salatiga Heritage Warin Darsono menyebut jika bangunan itu adalah rumah milik saudagar Blommestein asal Kanada. Konsep bangunan itu mewakili zamannya yakni Mediterania.
Hal itu diperkuat dengan kedatangan warga Kanada yang mengaku sebagai keturunan pemilik bangunan itu. “Ada saudaranya yang datang dan membawa foto keluarga zaman dahulu. Ia juga hapal fungsi ruangan bangunan, ” jelas Warin.
Sementara Warin memprediksi jika lorong tersebut bukan jalan. Kemungkinan adalah irigasi atau sistem pendingin rumah. Pasalnya, beberapa rumah tua di Salatiga juga memiliki lorong serupa. (sas/zal)