RADARSEMARANG.COM – Petani masih dipandang sebelah mata. Berbagai pihak mencoba mendongkrak para petani agar lebih sejahtera. Lalu, bagaimana Dinas Pangan dan Pertanian (Dispaperta) Kabupaten Batang memecahkan masalah tersebut. Berikut bincang-bincang wartawan RADARSEMARANG.COM Riyan Fadli dengan Kepala Dispaperta Kabupaten Batang Susilo Heru Yuwono.
Bagaimana agar produk petani itu bisa lebih kompetitif dan tidak merugikan?
Saya coba membuat klaster-klaster produksi, satu wilayah disiapkan untuk memproduksi satu komoditi unggul. Selain itu, paradigma di pertanian saya balik. Kalau dulu dari dinas atau penyuluh itu sosialisasi cara menanam, setelah panen tidak tahu yang beli siapa tidak jelas
Sekarang saya balik, offtaker saya undang sanggup bekerja sama dengan petani atau tidak. Modelnya petani panen mereka beli, jadi pada saat petani menanam sudah ada yang membeli hasil panennya nanti. Ada kepastian. Harganya berapa dan yang beli siapa itu sudah jelas.
Adakah yang perlu diubah dari petani?
Ada, misalnya cara panen yang baik itu mestinya jangan pada saat tumbuhan itu fotosintesis. Hasilnya pasti kurang, lebih bagus panen dilakukan sore hari. Karena proses fotosintesisnya sudah mulai berhenti. Ada proses belajar dari alam yang dilupakan. Panen pagi sama malam itu hasilnya akan berbeda.
Ibaratnya, selama ini petani adalah tempatnya wong bodo sama tempatnya wong lemah. Bodo karena dia menanam tidak tahu siapa yang membeli, lemah karena dia memproduksi tidak bisa menentukan harga produksi. Itu yang selama ini terjadi.
Sinergi seperti apa yang dilakukan untuk mendongkrak pertanian?
Langkah-langkah yang kita lakukan dari pihak petani melangkah berbarengan dengan pemerintah. Para petani tidak hanya menjual hasil panennya di tingkat lokal, tapi juga ke luar daerah.
Dari pemerintah, kami memajang produk pertanian di kementerian. Supaya dilihat orang dari mancanegara, bahwa produk kita itu bagus. Akhirnya dari pusat ikut membantu, melihat daerah mana saja yang membutuhkan benih. Akhirnya produk dari petani kami dilirik, dan bisa tersebar ke berbagai daerah.
PR kita sekarang adalah bagaimana rutinitas menanam berjalan. Seperti ekspor bawang putih yang kita lakukan kemarin, di Taiwan sana butuh 1.600 ton tiap tahun. Kita harus memperbanyak lagi jumlah panen, potensi kita ada di 1.000 hektare.
Selama pandemi, kesulitan apa saja yang dialami petani?
Sebetulnya di lapangan itu tidak ada pengaruh, karena ada tidak pandemi petani tetap menanam. Beberapa komoditas memang tergoncang, pemerintah akhirnya inisiatif untuk membantu pemasaran. Seperti komoditi bawang putih. Tapi untuk padi palawija tidak ada masalah, mereka lancar secara mandiri.
Waktu pandemi awal, pemborong yang biasanya datang ke sini terkendala pembatasan aktivitas di wilayah masing-masing. Sehingga tidak bisa sampai ke sini, sementara hasil panen kita melimpah. (*/ton)