RADARSEMARANG.COM – Kejaksaan Negeri (Kejari) Semarang menerapkan Peraturan Kejaksaan (Perja) nomor 15 tahun 2020 tentang penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restorative. Penyelesaian perkara pidana kecil dengan mekanisme restorative justice (RJ) atau keadilan restorasi mendapat banyak apreasiasi dari berbagai pihak, karena biaya peradilan lebih murah dan efisien. Berikut bincang-bincang wartawan Jawa Pos Radar Semarang Ida Fadilah dengan Ketua Badan Penyuluhan dan Pembelaan Hukum (BPPH) Pemuda Pancasila (PP) Kota Semarang Imam Setiadi.
Bagaimana tanggapan dengan penerapan restorative justice?
Kalangan advokat sangat mengapresiasi dan mendukung penerapan RJ ini. Jika sudah diselesaikan perkara tersebut, menjadikan seolah perkara itu tidak ada, kembali ke semula. Jadi masing-masing antara pelaku dan korban puas. Memang, untuk mencapai suatu kepastian hukum ada asas legalitas yang jelas. Orang salah ya harus dihukum. Namun, apakah hukuman itu memberikan manfaat atau hanya efek jera? Karena belum tentu memberikan efek jera bagi pelaku. Apakah korban yang mengalami kerugian puas dengan hukuman pelaku.
Sejauhmana penerapan RJ ini bisa menghentikan perkara?
Dulu hambatannya terbentur dengan penegak hukum sendiri seperti kepolisian dan kejaksaan. Kita tidak menyalahkan, karena memang dalam rangka penegakan hukum. Meskipun ada perdamaian, itu tidak menghentikan masalah. Tetap persidangan, perkara tetap lanjut. Sejak peraturan ini ditegakkan, sangat bagus. Karena memang bisa menghentikan perkara walaupun sudah masuk ke kepolisian. Asalkan sesuai syarat, yakni pelaku belum pernah dipidana, kerugian di bawah Rp 2.5 juta, ancamannya tidak lebih dari 5 tahun, serta bukan kasus pembunuhan, korupsi, dan narkoba.
Bagaimana dengan pandangan masyarakat mendapati pelaku tidak dihukum?
Memang terkadang ada yang bilang mengapa pelaku tidak diberikan keadilan, dia melakukan kejahatan. Tentunya dengan batasan-batasan yang bisa di-restorative. Salah satu contoh kasus itu ada siswa SMP yang mencuri sudah saling memaafkan, namun prosesnya tetap disidangkan. Mungkin dalam penegakan hukum mencari kepastian hukum, supaya tidak terulang. Namun harus dipahami bahwa ada masyarakat yang tidak sadar telah melakukan kejahatan. Seperti mencuri singkong untuk makan. Nah, kalau pelaku kembali melakukan kesalahan lagi, pelaku itu sudah tidak mendapatkan restorative justice lagi karena tidak memenuhi syarat tadi.
Apakah masyarakat benar-benar membutuhkan ruang RJ?
Adanya ruang restorative justice sangat memberikan keadilan bagi mereka. Dengan menyesali dan menyadari kesalahan, mereka bisa mendapat keadilan tanpa harus kehilangan pekerjaan dan masa depan. Korban pun bisa memaafkan dan dikembalikan kerugiannya. Disinilah restorative itu penting.
Apakah ada hal positif lain dari penerapan ini?
Mengingat kapasitas lembaga pemasyarakatan (Lapas) yang terbatas, tentunya dengan penerapan RJ, Lapas menjadi tidak penuh. Penerapan ini memberikan kepuasan bagi para pihak. Sehingga dengan tersangka tidak dipidana, maka tidak menambah penghuni Lapas yang sudah di luar batas daya tampung. Ini sangat penting untuk menghindari over capacity Lapas. Sehingga kembali ke tujuan awal penerapan restorative justice yaitu memanusiakan manusia di mata hukum. (ifa/ida/bas)