RADARSEMARANG.COM, Ancaman terorisme masih menghantui masyarakat di penjuru Indonesia. Seperti apa perkembangan aksi terorisme selama pandemi Covid-19? Berikut bincang wartawan RADARSEMARANG.COM Joko Susanto dengan Ketua Yayasan Putra Persaudaraan Anak Negeri (Persadani) Machmudi Hariono alias Yusuf.
Selama pandemi Covid-19, kecuali kasus Solo, aksi terorisme sepertinya tiarap?
Bisa jadi mereka (jaringan terorisme) ada kewaspadaan selama pandemi. Karena kami melihat semua orang terdampak covid. Dengan begitu, kami anggap baik aktivitas pengajian yang sifatnya mau melakukan amaliyah atau aksi-aksi pastinya akan terhambat. Belum lagi pernah ada webinar dari Forum Komunikasi Pondok Pesantren (FKPP) ditambah di lapas juga ada kebijakan tidak ada kunjungan, jadi ada pemutusan mata rantai dari dalam penjara. Kami sebagai figur yang aktif mengajak rekan-rekan eks napi terorisme untuk mencintai NKRI, tentu tetap mengkampanyekan sudah saat berkontribusi untuk membangun negeri. Kami juga baru saja bekerjasama dengan Polda Jateng bagi sembako selama Covid-19.
Sejauh mana aksi terorisme, asli karena ideologi atau politis
Kami anggap lebih kuat unsur politis daripada ideologi. Kenyataanya dampak efek deklarasi Suriah masih terasa sampai hari ini. Karena mereka (jaringan terorisme) masih menganggap politik global berpengaruh pada aksi-aksi itu, bahkan dari pantauan kami aksi sebelumnya juga ada yang menganggap kalau polisi itu thogut, dan itu sudah sejak dulu terbangun. Makanya mereka juga ada yang menganggap aksi itu sebagai bentuk timbal balik balas dendam, ditambah pengaruh blow up pemerintah melalui media kadang terlalu berlebihan, sehingga menjadikan mereka semakin marah. Kami juga melihat rekan-rekan eks napiter ada yang terbawa jaringan lama. Untuk itu Persadani mencoba bisa bermanfaat pasca mereka bebas, agar para eks napiter itu tidak terlibat kembali menjadi residivisme.
Bagaimana caranya meminimalisasi terorisme baik ideologis dan politis?
Pencegahan yang kami lakukan untuk meminimalisasi aksi terorisme, berupa pendampingan para napiter sejak masih di dalam lapas, sehingga ketika mereka bisa berpeluang mendapatkan remisi, justice collaborator (JC), pembebasan bersyarat (PB) dan sebagainya, mendapat hak, nantinya kami lakukan pendampingan maksimal. Kami juga menyiapkan keluarganya untuk turut menyambut ketika bebas, jadi pendampingan terus di-update, baik ketika bebas dan menjelang bebas. Sekarang sudah 24 eks napiter berangsur menyadari kesalahannya dan mereka juga sudah mendapatkan hukuman atas perbuatannya. Jadi ketika mereka memulai hidup baru. Kami tunjukkan ini lho rekan-rekanmu yang lebih dulu sudah menata hidup untuk Indonesia lebih baik.
Sepanjang 2019 hingga 2020 ini sudah ada berapa kasus terorisme di Indonesia, terutama di Jateng?
Berdasarkan catatan yang yang kami ketahui dari Polri ketika disampaikan dalam rapat dengar pendapat di Komisi III DPR RI, sepanjang 2019 setidaknya ada 275 pelaku tindak pidana terorisme ditangkap. Catatan kami pada 2019 ada beberapa termin dilakukan, tapi mereka masih dominan pengaruh dari luar. Sementara di dalam sudah ada penjara khusus, jadi hampir-hampir perlakuan pemerintah bisa memutus mata rantai. Di Indonesia ini kami anggap aksinya lebih personal, karena tidak melibatkan orang banyak. Kalau kasus paling berat kami anggap pas 2019, penusukan Wiranto di Alun-alun Menes, Pandeglang, Banten. Kemudian bom bunuh diri di Polresta Medan.
Sejauh ini apakah langkah dan kebijakan pemerintah sudah tepat?
Sebenarnya sudah tepat kebijakan pemerintah, cuma aplikasi lapangan belum maksimal. Kalau bisa manfaatkan perangkat-perangkat di pemerintah daerah, jadi ada sinergi maksimal. Kami juga sayangkan, terkesan selama pandemi dibiarkan, malah ndak ada aktivitas. Seharusnya pemerintah di pusat dan daerah bisa sinergi baik, kami juga siap dilibatkan untuk mencegah berkembangnya paham radikalisme dan terorisme. (*/ton)