RADARSEMARANG.COM, Pemprov Jawa Tengah saat ini menjadi role model untuk pengelolaan sampah. Salah satunya yaitu yang sudah dilakukan di Kabupaten Cilacap. Tumpukan sampah diolah menjadi bahan bakar alternatif refuse derived fuel (RDF). Berikut hasil wawancara wartawan RADARSEMARANG.COM Eko Wahyu Budiyanto dengan Kepala Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral Jateng Sujarwanto Dwiatmoko.
Apa yang dimaksud dengan RDF?
RDF merupakan teknologi pengolahan sampah melalui proses homogenizers menjadi ukuran yang lebih kecil. Hasilnya sebagai sumber energi terbarukan dalam proses pembakaran, sebagai pengganti batu bara.
Pengolahan sampah dengan sistem RDF merupakan hal yang baru baru pengelolaan sampah di Indonesia. Dengan memroses menjadi RDF, maka akan sangat mengurangi pembuangan sampah ke tempat pembuangan akhir (TPA). Bahkan, dengan adanya RDF sampah dapat diolah menjadi energi.
Untuk pembangunan tempat pengolahan sampah dengan sistem RDF di Kabupaten Cilacap itu kita dapat bantuan dari pemerintah Denmark. Intinya mereka membantu dari sisi teknologinya, mulai instrument alat-alatnya.
Bagaimana sistem penganggaran dari pembangunan pengolahan sampah berbasis RDF di Kabupaten Cilacap?
Metode penganggaran yaitu dari pemerintah Kerajaan Denmark sebesar Rp 43 miliar. Pemerintah pusat menggelontorkan anggaran Rp 29 miliar. Untuk Pemprov Jateng memberikan anggaran untuk sarana penunjang sebesar Rp 9,2 miliar. Sementara untuk kabupaten yang bertugas menyediakan lahannya sendiri menganggarkan Rp 3 miliar untuk 3 hektare lahan.
Dengan mengubah sampah menjadi RDF ini, maka produknya dapat sebagai pengganti batu bara dalam industri semen maupun pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batu bara. Inilah mengapa disebut sebagai tonggak sejarah baru pengolahan sampah, karena produknya dapat dimanfaatkan sebagai bahan bakar.
Apa bedanya RDF dan sistem pengolahan sampah yang dilakukan Kota Semarang melalui PLTSa-nya?
Ini jelas berbeda jika dibandingkan dengan yang ada di Kota Semarang. PLTSa yang ada di Kota Semarang yaitu mengubah gas metana sampah untuk dijadikan listrik. Jika RDF ini yaitu semua sampah diolah untuk dijadikan sebuah bahan bakar pengganti batu bara.
Selain itu untuk PLTSa di Kota Semarang ke depan membutuhkan penambahan lahan terus menerus karena stok sampah yang tiap hari selalu bertambah. Berbeda dengan RDF yang tidak perlu untuk penambahan lahan. Berapa sampah yang datang langsung bisa diolah menjadi bahan bakar pengganti batu bara.
Sehingga tidak membutuhkan penambahan lahan lagi untuk menyetok sampah. Kemudian juga, pemulung masih bisa mencari nafkah. Mereka bisa mengambil sampah yang mereka butuhkan tanpa mengganggu proses RDF. Namun semua itu adalah pilihan. Yang terpenting yaitu outputnya dalam pengelolaan sampah itu sendiri.
Wilayah mana lagi yang akan didorong untuk melakukan pengolahan sampah menggunakan sistem RDF?
Ke depan kita akan mencoba advokasi dengan Kabupaten Jepara dan Kabupaten Rembang. Karena di sana ada komponen penting dalam pengolahan sistem RDF ini yaitu pengguna bahan bakar itu sendiri. Di Kabupaten Jepara ada PLTU dan di Kabupaten Rembang ada pabrik semen. Semua itu membutuhkan batu bara sebagai bahan bakarnya.
Jika sampah disana diolah menajdi listrik tentunya tidak mungkin karena secara keseluruhan Jateng itu sudah oversupply soal listrik. Jadi akan kita arahkan untuk menuju pemanfaatan sampah menjadi energi terbarukan seperti halnya pengganti batu bara. (ewb/ton)