RADARSEMARANG.COM, Beberapa kalangan masyarakat memiliki persepsi bahwa hukum itu tajam ke bawah tumpul ke atas. Keputusan yang diberikan oleh hakim terhadap masyarakat kadang dinilai tidak adil, karena vonis yang ringan ataupun terlalu berat. Melihat fenomena yang ada, berikut bincang-bincang wartawan RADARSEMARANG.COM Riyan Fadli dengan Ketua Pengadilan Negeri Pekalongan Kelas IB Sutaji SH MH.
Persepsi masyarakat terhadap hakim yang kerap dianggap tidak adil terhadap masyarakat bawah?
Ada yang sedikit bias. Orang kemudian berpikir yang namanya mengadili dikonotasikan sebagai tindakan yang bersifat menghukum. Mengadili diidentikkan dengan menghukum, padahal tidak. Mengadili itu kalau memang terbukti, ya kami hukum. Tapi kalau tidak terbukti menurut kami, ya kami bebaskan.
Tapi sekarang orang berpikirnya lain, manakala ada hakim membebaskan sebuah perkara yang diminta untuk diadili. Seolah-olah hakim menjadi tidak adil. Karena orang uang diadili belum tentu dihukum.
Bagaimana dengan keadilan menurut hukum?
Sebagian orang mengatakan putusan hakim itu adil, tapi sebagian lain mengatakan tidak adil. Itu bukti bahwa keadilan itu subjektif. Sekarang kuncinya adalah hakim yang mengadili berintegritas atau tidak. Berapapun hukumannya, kalau hakimnya berintegritas pastilah putusan itu akan bisa dipertanggungjawabkan kepada siapa pun termasuk kepada Tuhan.
Kejahatan itu akan ada sepanjang manusia itu ada. Itu rumus dasarnya. Tidak mungkin kejahatan itu bisa dinolkan. Jadi kalau ada keluhan, hakim masih ada yang tertangkap, saya kita kembalikan kepada rumus dasar itu.
Banyak masyarakat mempertanyakan bahwa penyelesaian perkara di pengadilan terlalu lama?
Mahkamah Agung (MA) sudah memberikan penggarisan ada perkara-perkara yang harus didahulukan penyelesaiannya. Bukan kemudian ada perkara yang cepat penyelesaiannya ada apa-apa. Tidak. Harus ada prioritas penyelesaiannya. Seperti Tipikor, perkara-perkaranya menarik perhatian masyarakat.
Contoh, perkara beberapa bulan lalu. Ada menantu menyiram air keras ke istri dan mertua, lukanya cukup parah. Kasus tersebut bisa-bisa dihubungkan dengan perkara Novel Baswedan yang sama-sama disiram air keras. Itu divonis maksimal dalam kasus tersebut, 10 tahun. Korban luka parah di sekujur tubuh. Itu juga lumayan menarik perhatian masyarakat. Istilahnya PK-TING, perkara penting.
Banyak residivis yang mengulang kejahatan, berarti hukuman tidak membuat jera?
Saya pernah dinas di Raba Bima Nusa Tenggara Barat. Ada 50-an orang dikeluarkan, tapi tidak mau keluar. Bilangnya, “saya tidak mau pulang, kalau saya di rumah, saya makan apa pak. Untuk bisa makan saya harus kerja dulu, sementara di Rutan tidak perlu kerja.” Padahal semakin banyak jumlah mereka semakin berat beban negara. Negara harus membiayai berapa ratus kilogram beras per hari dikalikan 30 hari. Belum lauk-pauk, listrik, gaji pegawai dan lainnya.
Bagaimana dengan semakin banyak tingkat kejahatan di masyarakat?
Ini sebenarnya problem sosial. Hakim sebenarnya menyelesaikan problem sosial. Saya ambil contoh orang mencuri, jangan dikira mencuri itu bukan problem sosial. Mulai dari orang malas bekerja sampai bisa saja orang itu karena itu kleptomania, sindrom yang membuatnya suka mencuri. Sayangnya negara ini kan belum sampai ke sana. Padahal, kalau problem sosial, yang bertanggung jawab tidak hanya hakim.
Mereka ini warga negara Indonesia yang harus diperlakukan manusiawi. Mereka adalah warga negara yang dalam tanda petik kalah bertarung menghadapi hidup, kalah berkompetisi menghadapi problem-problem kehidupan. Apa iya orang yang pengulangan tindak pidana itu yang salah hakimnya, karena kurang berat menjatuhkan pidana? (*/ida)