30 C
Semarang
Wednesday, 16 April 2025

Penyampaian Guru dan Orang Tua Beda, Berimbas Konflik Anak di Rumah

Atasi Masalah Kejiwaan Anak di Masa Pandemi

Artikel Lain

RADARSEMARANG.COM, Kondisi pandemi yang memaksa anak-anak tetap di rumah, menimbulkan kebosanan. Karena itu, perlu menjaga stabilitas psikologi anak. Berikut bincang-bincang wartawan RADARSEMARANG.COM Ida Fadilah dengan konsultan psikologi di Yayasan Pendidikan Siti Sulaechah dan Psikolog RS Hermina Pandanaran Dhany Widijanti SPsi.

Banyak anak merasa bosan di rumah selama Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PKM) untuk meminimalisasi persebaran Covid-19?
Di masa awal pandemi, anak-anak banyak terbatasi dalam berkegiatan sosial. Mereka banyak melakukan kegiatan hanya di rumah yang berbanding terbalik dengan kebiasaan sehari-hari. Yakni bisa beraktivitas seperti sekolah dan bermain dengan teman sebaya. Hal itu membuat anak terlihat stres, sehingga kesannya anak jadi rewel dan usil. Sebaiknya orang tua segera mengambil peran.
Di masa para orang tua melakukan kegiatan di dalam rumah, bisa melakukan aktivitas bersama sesuai dengan usia anak. Yakni, ajari anak mandiri. Selama ini anak ketika bangun tidur sampai pulang sekolah rumahnya sudah rapi, dengan kondisi seperti ini bisa melibatkan anak dalam kegiatan sehari-hari.

Padahal sebelumnya banyak anak menganggap stay at home itu liburan?
Di awal masa pandemi anak-anak belum terlalu merasa stres karena masih menganggap masa liburan yang diperpanjang. Namun jika masa-masa itu tidak ada aktivitas atau pengalihan kegiatan di rumah, mereka akan merasa jenuh. Melakukan kegiatan tanpa arah yang jelas tentu tingkat stresnya tinggi. Bisa lebih dari 60 persen. Ketika ada kegiatan yang terarah, membiasakan pola hidup yang baru di masa pandemi, anak ada pengembangan stimulasi diri, pengembangan religiusitas yang akhirnya mengurangi stres anak. Akhirnya mereka akan menikmati kehidupan baru saat ini.

Sejauh mana risiko kekerasan anak dari orang tua akibat menjalani peran ganda dan ada yang terkena PHK?

Kondisi anak-anak itu rentan. Dia tidak bisa memilih, hanya bisa menerima dan belum paham apa-apa. Berbeda dengan orang tua, masih bisa menahan diri dan emosional, sedangkan anak-anak tidak paham. Ada di beberapa daerah yang mengalami kekerasan. Mungkin ketika sekolah daring, guru memberikan instruksi tugas, anak akan bertanya kepada orang tua. Kalau orang tua tidak paham, dia memakai bahasa orang tua yang berbeda dengan gurunya, itu menimbulkan kebingungan anak. Itu akhirnya menimbulkan konflik.

Lantas bagaimana solusinya?
Butuh pemahaman dari masyarakat untuk menguatkan keluarga untuk menjalani ini semua. Sangat dibutuhkan orang tua yang bijaksana menerima kondisi ini. Bisa menjaga kondisi psikis, jasmani mempunyai ketahanan diri pasca pandemi. Pola hidup baru yang bisa diajarkan kepada anak, akan ada konsep yang baru untuk beradaptasi dengan temannya. Diharapkan ada yang baik, dari anak maupun orang tua. Supaya tidak terkesan berjalan sendiri-sendiri. (*/ida)


Artikel Terkait

Sementara Itu ..

Terbaru

Populer

Menarik

Lainnya