RADARSEMARANG.COM, Seni peran tradisional masih jarang dilirik anak muda. Butuh strategi agar bisa bertahan. Berikut ini bincang-bincang wartawan RADARSEMARANG.COM Adennyar Wycaksono dengan Dosen Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Semarang (Unnes), M. Burhanudin.
Basic anda adalah dosen di Fakultas Bahasa dan Seni. Sejauh apa kecintaan anda terhadap dunia seni?
Bahasa dan seni bagi saya adalah suatu kesatuan. Terutama dalam bermain drama, ketoprak, bahasa dan seni dikombinasikan menjadi sebuah karya yang indah. Penggunaan bahasa, juga disesuaikan dengan audiens, agar mudah dicerna dan dimengerti. Contohnya adalah penggunaan bahasa Jawa sehari-hari dalam sebuah pementasan yang isinya anak muda, agar pesan atau misi sebuah pentas ini bisa diterima dengan mudah. Tentunya juga disisipi dengan guyonan. Beda lagi kalau audience adalah orang yang lebih tua, lebih baik menggunakan bahasa yang halus, tapi mudah diterima.
Kapan kecintaan ini muncul?
Muncul sejak saya kuliah di Unnes, kebetulan saya alumni FBS Unnes. Dahulu pernah membentuk grup taman sastra, sebagai sarana atau wadah mahasiswa jurusan bahasa dan sastra untuk berkumpul, termasuk dalam berkesenian mulai dari drama, teater, hingga ketoprak.
Pengalaman apa yang pernah anda rasakan ketika membentuk wadah tersebut.
Dahulu saya dan teman-teman pernah melakukan tur pertunjukan ketoprak di beberapa sekolah yang ada di Jateng. Kadang nerima honor, kadang juga nombok. Itulah pengalaman yang paling mengesankan, dengan komitmen melestarikan budaya Jawa. Pernah juga dibayar dengan pakai bayaran tinggi oleh salah satu sekolah di Magelang, itu pun saya tidak menyangka karena tidak mematok harga. (*)