RADARSEMARANG.COM, Santri sampai saat ini memiliki peran besar untuk Indonesia. Santri harus terus berjihad dengan berperan dan berkontribusi untuk masyarakat luas.
Santri sudah mulai banyak menduduki jabatan penting. Mulai Bupati, Wali Kota, Kepala Dinas, Politisi, Dokter, Pengusaha bahkan Wakil Presiden RI. Ini menjadi bukti, jika santri tetap bisa berkontribusi dan mengikuti perkembangan zaman.
Kepala Dinas Kesehatan (Dinkes) Kota Semarang M. Abdul Hakam juga merupakan santri. Ia memiliki gelar dokter dan jebolan Pondok Pesantren (Ponpes) Futuhiyyah, Mranggen, Demak. Ia enam enam tahun sejak ia lulus bangku sekolah dasar sampai lulus SMA.
Hakam mengaku, banyak pengalaman yang tidak terlupakan selama nyantri di Ponpes. Memberikan berbagai pelajaran dalam menjalani hidup. Menurutnya santri harus bisa mengisi kemerdekaan, turut serta mambangun bangsa dengan keilmuan yang dimiliki.
“Saya mondok di Futuhiyyah enam tahun sampai lulus SMA. Waktu masuk dulu lulus SD, harus bisa mandiri dengan masak, nyuci sendiri dan bertemu dengan kawan-kawan santri yang lebih senior,” kata Hakam saat ditemui RADARSEMARANG.COM.
Hakam mengaku, saat menjadi santri ia belajar untuk mandiri dan sederhana. Harus bisa mengelola waktu dan keuangan dengan baik. Apalagi ia mengaku uang saku yang diberikan orang tuanya tidak banyak.
“Kita tidur satu ruangan, hanya pakai tikar. Disitu saya merasa diajari untuk mandiri dan hidup sederhana. Selain itu harus bisa memanage waktu dengan baik, untuk belajar agama Islam, mengaji dan lainnya,” akunya.
Santri dulu dan sekarang berbeda. Dulu sarana dan prasarana belum lengkap dan pemberian ilmu kepada santri diberikan secara manual dengan tatap muka. Tetap sekarang teknologi semakin maju, nyantri sekarang bisa dimana saja karena bisa dilakukan secara online.
“Ya harus tetap tatap muka dengan para Kyai ataupun Ustad, bisa memanfaatkan digitalisasi. Namun seminggu sekali tetap harus ketemu dan berguru secara langsung,” tambahnya.
Hakam memiliki pengalaman tak terlupakan karena bisa bertemu dengan Kyai besar dan kharismatik. Saat nyantri dulu sempat bertemu dengan KH Ahmad Muthohar yang merupakan adik dari KH Muslih Abdurrohman. Kyai Ridwan dan Kyai Hanif Muslih yang menjadi gurunya.
“Dulu sempat nakal ya tapi nakalnya santri paling nggak ikut Salat Jamaah dan Nggak Ikut Ngaji,” kenangnya sambil mata berkaca-kaca.
Santri sekarang harus belajar dan mengerti ilmu yang dipelajari. Santri mempunyai andil besar jika memahami ilmu yang dipelajari. “Misalnya berperan aktif, berkontribusi dalam bentuk edukasi. Apakah dengan melakukan syiar agama, atau keilmuan lain yang dimiliki,” katanya.
Hakam mengaku, perannya sebagai tenaga kesehatan sebenarnya sama dengan ustad ataupun kyai. Misalnya saat memberikan edukasi kepada masyarakat agar terhindar dari sakit yang menyerang saat pancaroba, dengan makanan bergizi seimbang, menghindari stress dan istirahat yang cukup.
“Edukasi ini adalah jalan saya sebagai tenaga kesehatan sekaligus santri agar masyarakat tidak sakit saat musim pancaroba. Termasuk kemarin, edukasi protokol kesehatan dan vaksinasi agar tidak terhindar dari Covid-19,” jelasnya.
Ia mengaku masih terus belajar dan belajar sebagai seorang santri. Terus belajar giat, agar ilmu bisa bermanfaat dan memiliki manfaat untuk orang lain.
“Terus belajar karena ‘khoirunnas anfauhum linnas atau sebaik-baik manusia adalah yang memberi manfaat bagi manusia,” tambahnya. (den/fth)