RADARSEMARANG.COM – Selalu ada ide baru. Itulah sedikit kata yang bisa menggambarkan sosok Agus Wibowo. Pria kelahiran Blora tahun 1973 ini selalu memiliki Ide segar untuk didiskusikan.
Di usia ke-47 tahun ini, bupati Wonosobo mengamanahkan tanggung jawab padanya untuk menjadi kepala Dinas Pariwisata dan Kebudayaan (Disparbud) Kabupaten Wonosobo. Usia yang masih tergolong muda untuk menjadi seorang kepala dinas.
Namun perjalanan yang telah ditempuh, menurutnya, bukan sesuatu yang mudah untuk dilalui. Naik turun perjalanan menghadapi hidup selalu menjadi inspirasinya untuk survive. Lingkungan kecil yang keras menurutnya sangat berpengaruh terhadap kondisinya saat ini.
“Saya lahir dari keluarga petani di daerah pelosok, Mas. Untuk menjadi seseorang yang sampai di titik ini itu tidak ada gambaran saat masih kecil. Sejak kecil saya sudah ditinggal orang tua,” ungkap Ketua Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) Wonosobo ini.
Sejak menjadi direktur BUMD milik Pemkab Wonosobo, Agus banyak berdiskusi soal pariwisata. Idenya untuk menemukan identitas Wonosobo ini selalu menjadi prioritasnya dalam beberapa tahun belakangan. “Kalau berbicara soal kekayaan SDA, kita ini sudah cukup sepertinya,” akunya.
Katanya, yang akan menjadi tujuan pariwisata itu tak lain untuk ikut menumbuhkan sektor ekonomi masyarakat. Ini hanya bisa dilakukan dengan banyaknya wisatawan yang berkunjung dan akumulasi lamanya wisatawan yang tinggal dan bermalam di Wonosobo ini. “Dengan berkunjung lama, persebaran uang yang dilakukan wisatawan akan memberi multiplayer effect bagi sektor ekonomi kita,” ungkapnya.
Setelah itu, maka target yang harus dikejar pemerintah adalah memastikan jika pengembangan pariwisata tidak bertolak belakang dengan agenda besar itu. Pengembangan ini perlu dilakukan untuk memaksimalkan potensi wisata selain Dieng atau biasa disebut Lima Dieng Baru. Kawasan itu akan melingkupi wilayah Kalianget-Kejajar, Kertek, Sapuran-Kepil, Kalibawang-Kaliwiro, dan Wadaslintang. “Itu tidak kalah menarik. Cuma kan selalu wisata kita kiblatnya ke Dieng. Maka ke depan ini yang perlu kita dorong dan kembangkan. Utamanya di daya tariknya terlebih dahulu,” ujarnya.
Daya tarik yang hendak ia coba tawarkan pada publik, bukan semata-mata soal fisik bangunannya saja. Namun yang paling kuat justru pada akar budayanya. Sebab Wonosobo sendiri telah banyak yang menilai sebagai salah satu kota yang memiliki peradaban tinggi. Itu bisa dilihat dari berbagai hasil artefak, situs, dan temuan lain. “Artinya kota ini sebenarnya berangkat bukan dari cerita kosong dan ruang hampa. Sayangnya untuk menceritakan ini, masih banyak orang yang kesulitan untuk menterjemahkan dengan baik,” katanya.
Solusi yang ditawarkannya, maka penguatan dari sisi story telling menjadi sangat penting untuk digerakkan. Seperti bagaimana seseorang menceritakan mengenai Bali dan Jogja. Dua kota yang dianggap telah berhasil menyampaikan cerita melalui sisi budayanya yang agung itu. “Tugas itu tidak hanya melekat pada tour guide yang mendampingi para wisatawan. Saya kira kita semua, masyarakat Wonosobo perlu menyadari pentingnya masalah ini,” katanya.
Selain masalah cerita yang perlu terus digali dan direkonstruksi, yang tak kalah penting adalah soal kualitas dari pelayanan yang diberikan. Sehingga saat wisatawan datang bisa lebih merasa tenang dan nyaman. Dengan konsep yang terintegrasi, siapa mengerti apa yang harus dilakukan menurutnya, maka pariwisata di Wonosobo baru akan berjalan dengan baik. “Tugas saya membangun rel itu, sehingga seluruh stakeholder bisa berjalan sesuai dengan jalannya,” jelasnya. (git/ton)