RADARSEMARANG.COM – Awaluddin Setya Aji ingat betul pengalaman berharga menembus hutan di Manggarai, Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT). Hatinya tergerak ke sana, melihat penduduk Manggarai yang dilanda krisis air bersih. Warga berjalan sepanjang tujuh kilometer. Berjuang mencari air.
Ia menyaksikan perjuangan para perempuan mencari air bersih. “Saya lihat, ibu-ibu mengalungkan tali ke leher yang ujungnya diikat dua jeriken. Kemudian ditaruh juga di atas kepala. Mereka harus berjalan kaki, menyusuri bukit, berputar jauh untuk mendapatkan air,” tuturnya.
Fakta ini diketahui Aji saat mengupas persoalan air bersih, kala mengisi pelatihan pegawai Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) di Manggarai. Aji langsung mengajak pegawai PDAM, dan masyarakat turun ke lapangan. Menelusur sumber permasalahan itu. “Akhirnya kita temukan kebocoran pipa air di tengah hutan,” ujar pemilik Joglo Jeep Gunungpring itu.
Di pusat kebocoran air itu, terbentuk kubangan air. Yang menjadi tempat favorit babi hutan berkumpul. Pria yang hobi mengoleksi mobil kuno dan sepeda motor klasik itu melatih pegawai dan warga cara mengatasinya. Ia gunakan ultrasonic flow meter untuk mengukur debit air, dan leak correlator untuk mencari titik kebocoran. “Sambil patroli alam, dan melihat gejala alam,” jelasnya.
Dua hari di dalam hutan bersama warga membuahkan hasil. “Setelah diperbaiki, akhirnya air itu mengalir juga,” kenangnya. Sesuai jadwal, mestinya Aji hanya menginap tiga hari di Manggarai. Adanya misi kemanusian yang dibawa, membuatnya bertahan 11 hari di Manggarai. “Yang berkesan, saya sampai diberi gelar kehormatan adat. Dikasih topi, selendang, dan diberi patung,” tuturnya.
Dosen tetap di Yayasan Pendidikan Tirta Dharma PAMSI, Persatuan Perusahaan Air Minum Seluruh Indonesia (PERPAMSI) Jakarta ini punya keyakinan. Dedikasi ini, bermula dari niat, dan keseriusan menekuni bidang teknik lingkungan.
Ia ingat, teknik lingkungan bukanlah bidang pendidikan yang seksi pada waktu itu. Aji membuat keputusan mendalami pendidikan khusus itu pada tahun 1994. Ia mengenyam pendidikan pertama di Sekolah Tinggi Teknik Lingkungan (STTL), Yayasan Lingkungan Hidup (YLH) Jogjakarta. Satu kelas, hanya dihuni 38 siswa dari seluruh Indonesia. “Pikiran saya dulu, orang yang paham detail air itu sedikit, padahal air menjadi kebutuhan pokok, namun perkiraannya menunjukkan tren menurun pada tahun-tahun mendatang. Ya soal kualitasnya, kuantitasnya, kontinuitasnya, dan keterjangkauannya,” bebernya.
Kurang dari empat tahun, Aji menyelesaikan pendidikannya. Lulus tahun 1998, ia langsung jadi konsultan teknik lingkungan. Tak berselang lama, ia menjadi dosen di Akademi Teknik Tirta Wiyata (Akatirta), kampus air minum satu-satunya di Indonesia. Lalu diangkat menjadi direktur tahun 2011, selama dua periode.
Ia berkisah, kala menjadi dosen. Gajinya belum cukup untuk mengaktualisasikan diri. Dari itu terpikir membuka usaha depot air isi ulang, dan pabrik air minum Amira (Air Minum Rakyat) bersama dua temannya. Budi Darmawan dan Sujadi. Sampai sekarang masih jalan. Sudah punya 45 gerai di seluruh Indonesia. “Setelah usaha ini menasional, kami bertiga sepakat bikin sendiri-sendiri, tapi komunikasi kami masih jalan sampai sekarang,” ujarnya.
Bisnis ini menimbulkan multiplier effect. Tidak hanya membuat “kantong” tebal, tapi juga penyerapan tenaga lokal. Serta memberikan kemudahan akses air minum yang layak dan murah bagi masyarakat. “Waktu itu, belum nge-tren air isi ulang kan. Bisa dibilang, kita jadi pioner air isi ulang di Indonesia,” akunya.
Melihat besarnya manfaat air sebagai sumber kehidupan manusia dan alam, Aji akan terus mendedikasikan hidupnya di bidang ini. Mencermati mata air, mengukur debit mata air, merencanakan konservasi, dan mengajak seluruh elemen untuk menjaga kelestariannya.
“Saya sedih, ketika mata air nggak dirawat, daerah konservasi di rusak. Penggunaan air berlebihan, pembangunan infrastruktur yang tidak ramah lingkungan,” sebutnya.
Ia sempatkan mengukur detail 265 mata air di Magelang di lima tahun terakhir. Saat musim hujan, dan kemarau. Hasilnya mencengangkan. Debit air menurun. Ini terjadi di puluhan lokasi. “Kalau itu nggak ditangani secara serius dan profesional, berdasarkan data riset itu, tahun 2040 atau 2050 akan kekeringan,” tandasnya. (put/lis)