26 C
Semarang
Sunday, 24 August 2025

Mantan Sopir Angkot Jadi Dosen Berdedikasi

Hari Wahyono, Ketua Prodi Pendidikan Bahasa Indonesia Program Magister Untidar

Artikel Lain

 

RADARSEMARANG.COM – Dari sopir angkutan kota menjadi dosen universitas negeri. Sebuah  lompatan besar  dalam hidup Dr. Drs. Hari Wahyono, M.Pd. Ini membuktikan betapa kuat keinginannya untuk maju. Tak sekadar memburu materi. Namun mencari ilmu yang memberi banyak arti pada sesama.

Hari Wahyono, sehari-hari adalah ketua Prodi Pendidikan Bahasa Indonesia Program Magister (S-2) di Universitas Tidar Magelang. Perjalanan berliku membawanya mengabdi di kampus tersebut. Sudah 28 tahun ia mengajar.

“Menjadi dosen adalah keinginan yang terlalu tinggi atau muluk menurut saya pada saat itu,” cetusnya. Hari memang tidak pernah bercita-cita menjadi pengajar di sebuah universitas.  Kala itu ia hanya ingin menjadi guru. Minimal guru SMP.

Untuk mewujudkan cita-citanya, pria asli Magelang ini menempuh Sekolah Pendidikan Guru (SPG) Negeri Magelang lulus 1984. Setelah lulus hingga 1986 menjadi guru di sekolah dasar (SD) dengan gaji pas-pasan. Maka, ia memutuskan nyambi menjadi kernet angkutan kota (angkot). Pagi hari mengajar, sore bekerja sebagai kernet angkot.

“Pekerjaan sebagai kernet angkot pada saat itu sangat menjanjikan. Pendapatan lumayan banyak.  Saya berusaha tidak jadi kernet, tapi menjadi sopir,”  imbuhnya.

Pendapatan sopir angkot melebihi gaji sebagai guru SD. Tahun 1986  ia memutuskan mundur sebagai guru SD.  Selama 2 tahun, murni bekerja sebagai sopir angkot.  Namun, diam-diam ia masih menyimpan cita-cita melanjutkan pendidikan. Penghasilan sebagai sopir angkot sebagian ditabung untuk kuliah. Setelah dirasa cukup, pada 1988 Hari mendaftar kuliah S-1 Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Tidar Magelang. Sambil kuliah ia tetap nyopir.

“Saya kuliah untuk meningkatkan kualifikasi pendidikan dengan harapan bisa menjadi guru.  Minimal guru SMP, syukur-syukur menjadi guru SMA,”ujar warga Perum Lembah Asri, Mantenan, Mertoyudan, Magelang ini.

Begitu menjadi mahasiswa, pria 56 tahun ini harus pintar membagi waktu. Antara nyopir dan kuliah. Jam 07.00 sampai 14.00 mengikuti kuliah. Sore mulai pukul 16.00 sampai 01.00 dini hari narik penumpang. Menyadari biaya kuliah mahal, ia bersungguh-sungguh agar segera lulus.

Dengan semangat dan ketekunannya, tahun 1992 ia lulus dengan predikat terbaik. Bahkan diminta mengajar di almamaternya, FKIP Untidar. Sebuah pekerjaan di luar impian dan cita-citanya.

Sebelum mendapatkan jadwal mengajar, pria berkumis ini sempat bekerja di Gelanggang Samodra Jaya Ancol  selama 1 bulan.  “Sebenarnya pada saat kerja di Ancol, pendapatan saat itu sangat tinggi. Namun pekerjaan sebagai dosen yang saya pilih. Itu juga harapan orang tua, agar salah satu anaknya ada yang menjadi guru,”terang pria yang piawai menyanyi dan memainkan saksofon itu.

Semangat menuntut ilmu tidak berhenti sampai S-1. Waktu itu Hari berpikir, kelak dosen tidak hanya lulusan S-1, minimal harus tamat S-2. “Sebelum aturan diberlakukan, saya kuliah S-2. Ternyata aturan benar-benar diberlakukan, dosen minimal berpendidikan S-2. Pada saat ini, dosen  sudah dianjurkan untuk S-3, saya sudah bisa mewujudkan anjuran. Ke depan ada kemungkinan kualifikasi pendidikan pendidik mengalami peningkatan. Guru SD-SMP minimal S-1, guru SMA, MA, SMK minimal S-2, sedangkan dosen berpendidikan S-3, “beber dosen yang mengantongi gelar doktor dari Unnes tahun 2018 ini.

Pendidikan baginya adalah investasi tak terhitung nilainya. Tak heran bila banyak orang tua mengatakan tak bisa membekali anaknya harta benda, namun ilmu dengan menyekolahkan setinggi mungkin. Menurutnya pendidikan akan maju apabila salah satu komponen, yaitu guru, memiliki kualitas, kompetensi, dan etos kerja yang baik.

“Saya lulusan SPG yang tentu saja menjadi seorang guru.  Oleh karena itu saya harus total dalam pendidikan. Hal inilah yang mendorong saya untuk mengembangkan potensi diri sebagai dosen. Saya ingin mahasiswa saya menjadi lulusan yang mampu bekerja secara profesional,”tandas fasilitator nasional pembelajaran aktif di perguruan tinggi tersebut.

Dengan prinsip seperti itu, ia berupa selalu menumbuhkan semangat belajar mahasiswanya. Mengajak mahasiswa untuk merefleksi diri, dengan mengajukan pertanyaan apa tujuan kuliah? Apakah sekadar formalitas? Apakah supaya tidak terlihat nganggur setelah lulus SMA? Apakah supaya tetap mendapat uang saku dari orang tua?  Apakah untuk mempersiapkan masa depan yang lebih baik?

“Memotivasi mahasiswa dengan menyampaikan bahwa kesempatan tidak akan datang kedua kali, maka kuliahlah dengan sungguh-sungguh. Semangat, serius agar memperoleh hasil maksimal,”ujarnya.

Selain itu, lanjut dia,  memberikan contoh kesuksesan orang lain, sebagai inspirasi. Keberhasilan orang lain dapat dijadikan sebagai motivasi, inspirasi eksternal. Tokoh yang berhasil itu memproses diri dengan sebaik-baiknya, berani menghadapi tantangan. Mampu menghadai kendala, tidak mudah menyerah, ulet  hingga perjuangannya berbuah manis. Apabila ingin sukses dalam studi, sukses dalam berkarya, sukses dalam berkarir, proseslah diri kita dengan sebaik-baiknya.

“Jangan mudah putus asa. Harus selalu bersyukur dalam suka maupun duka. Suka adalah hadiah dari Tuhan Yang Maha Esa. Sedangkan duka adalah ujian bagi diri kita, apakah kita dapat melaksanakan ujian dengan baik atau tidak. Semua bergantung pada diri kita-masing-masing,” paparnya sembari tersenyum. (lis/bas)


Artikel Terkait

Sementara Itu ..

Terbaru

Populer

Menarik

Lainnya