RADARSEMARANG.COM – Persoalan hukum sebenarnya bersumber dari problem sosial yang tak terselesaikan. Sudah seharusnya pemerintah memberikan peran dan ruang kepada masyarakat setempat untuk menyelesaikan problem masyarakat, termasuk kasus tindak pidana sekalipun dengan local wisdom. Dalam hal ini melalui program desa dengan Balai Mediasi. Itu jauh lebih mengena dan membuat jera.
Asisten Pidana Khusus (Aspidsus) Kejati Jateng DR Ketut Sumedana SH MH ini sangat berharap Gubernur Jateng Ganjar Pranowo menginisiasi penyelesaian kasus pidana maupun perdata di tingkat desa, yakni melalui Balai Damai. Sebab untuk mewujudkannya perlu regulasi berupa peraturan daerah (Perda) yang mengatur pelaksanaanya.
“Kalau hendak membuat rancangan peraturan daerah (Raperda), sudah saya gambarkan secara detail melalui buku saya, “Bale Mediasi dalam Pembaruan Hukum Nasional.” Saya sendiri sudah mendiskusikan gagasan ini ke Pak Gubenur Ganjar. Saat saya mengajukan permohonan kata pengantar atas buku ini ke beliau,” kata lulusan Universitas Mataram ini.
Melalui Balai Mediasi, penyelesaian perkara dengan dasar local wisdom atau kearifan lokal dan tanpa melibatkan penegak hukum. Kalau ini terjadi, maka akan ada efisiensi biaya, penanganan perkara lebih cepat sederhana biaya ringan sesuai prinsip KUHAP, dan terpenting tidak menimbulkan resistensi dalam masyarakat.
“Kalau melalui penegakan hukum di ranah pengadilan, banyak pelaku tindak pidana yang tak pernah jera saat dipenjara. Justru bangga jika bolak-balik masuk penjara. Tapi dengan Bale Mediasi, justru membuat jera pelaku. Karena persoalannya diselesaikan oleh orang di lingkungannya sendiri,” kata pria asal Bali ini.
Balai mediasi lebih menciptakan keseimbangan, keharmonisan dan kedamaian dalam masyarakat. Sebab, keterlibatan masyarakat dalam menyelesaikan masalah, jauh lebih adil daripada diselesaikan di pengadilan. Dengan begitu, tidak ada lagi orang berpikir, jika kehilangan ayam maka menghabiskan kambung. Kehilangan kambing, menghabiskan sapi. Kehilangan sapi menghabiskan rumah. “Karena Balai Mediasi hanya perlu membayar mediator. Mediator bisa tokoh masyarakat, tokoh agama atau kepala desa/lurah setempat. Tentu biayanya lebih murah, ketimbang harus diproses di pengadilan,” jelasnya.
Selain itu, melalui Balai Mediasi, mengusung konsep restoratif. Artinya, melibatkan korban dalam menyelesaikan masalah. “Selama ini, proses di pengadilan mengabaikan korban. Korban hanya dijadikan saksi, setelah itu diabaikan nasibnya. Yang dioerhatikan hanya tersangka atau terdakwa. Bayangkan kalau kasus itu menyangkut kehormatan orang, negara tak pernah tahu kelanjutannya. Misal kasus perkosaan, pembunuhan, dan perkelahian. Ini menyebabkan resistensi, dan akan terus ada dendam,” urainya.
Konsep Balai Mediasi ini, jelasnya, telah diinisiasi olehnya di Nusa Tenggara Barat (NTB) tahun 2018. Mendapat dukungan APBD setempat. Hasilnya, perkara yang masuk ke pengadilan menurun 30 persen. Bahkan di Belanda, Perancis dan Belgia, dari 34 penjara, kini tinggal satu.
“Dengan begitu, perkara kecil seperti mencuri sandal jepit, mencuri kakao, kasus Mbah Mirna di Banyumas, kasus di Inhu hanya gara-gara mencuri 3 batang kayu, terpaksa masuk penjara, ke depan tak ada terulang. Bisa diselesaikan di tingkat adat atau tingkat desa saja,” harapnya.
Korupsi Bukan Extraordinary Crime, Cukup Bayar Ganti Rugi dan Denda
DR Ketut Sumedana SH MH yang baru setahunan menjabat sebagai Asisten Pidana Khusus (Aspidsus) Kejati Jateng, sosok yang penuh semangat dalam hidupnya. Jaksa yang pernah bertugas di Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) selama 4,5 tahun ini (1997-2012), memiliki ide besar dalam pembangunan hukum Indonesia yang bermartabat dan memberikan ruang bagi local wisdom.
Untuk mengomunikasikan gagasannya, bapak dua anak yang lahir di Bali dan besar di Lombok NTB ini, merekontruksi idenya ke dalam 3 buku hasil karyanya. Adalah buku berjudul, “Mediasi Penal dalam Sistem Peradilan Berbasis Nilai-Nilai Pancasila”, Bale Mediasi dalam Pembaruan Hukum Nasional”, dan “Aspek Yuridis tentang Pemberian Kredit Tanpa Jaminan (Unsecured Credit).”
Melalui buku “Mediasi Penal dalam Sistem Peradilan Berbasis Nilai-Nilai Pancasila”, Ketut Sumedana menyatakan korupsi saat ini bukan lagi extraordinary crime (kejahatan luar biasa), tapi tindak pidana ekonomi. Korupsi tak ada bedanya dengan tindak pidana perpajakan dan bea cukai. Dengan begitu, perkara korupsi bisa tidak diproses di pengadilan, tapi diproses dengan penggantian ganti rugi minimal dua kali lipat dari kejahatan yang dilakukan dan ditambah denda.
“UU Perpajakan dan UU Bea Cukai sudah mengatur tentang ganti rugi, tapi kenapa korupsi tidak. Dengan ganti rugi dan denda, justru lebih mengena karena akan memiskinkan pelaku. Hal itu pasti menjadikan pelaku jera, ketimbang dihukum,” tanyanya heran.
Menurutnya, mediasi penal telah diterapkan di beberapa negara maju. Ini sistem penyelesaian perkara di luar pengadilan dengan sistem ganti rugi. Dengan sistem ganti rugi dari perkara korupsi, justru negara diuntungkan. “Jika diproses hukum, negara tidak dapat apa apa, tapi dibebankan penanganan biaya perkara yang menyedot anggaran APBN. Maka lebih bagus dengan mediasi penal,” tandasnya.
Selain itu, orang yang tidak membayar tiket karcis, juga sama dengan korupsi. Juru parkir yang tidak menyetorkan uang parkir ke pemerintah, bukankah itu juga korupsi. Korupsi ada dimana-mana, mulai yang kecil yang hanya Rp 78 ribu, Rp 700 ribu hingga yang kakap sangat besar. “Kalau semua diselesaikan di Pengadilan, maka lembaga pemasyarakatan (Lapas) atau penjara akan selalu penuh. Beban negara semakin tinggi. Kejahatan tak akan berkurang, karena pelaku tak selalu jera dengan hukuman,” jelasnya.
Benar kata Jaksa Agung, sudah saatnya melakukan penghentian penuntutan dengan berbasis restorasi justice. “Ini hampir mirip dengan gagasan yang saya tawarkan. Cuma prelaksanaan di lapangannya, lebih jelas melalui buku saya,” urainya.
Selain itu, memberikan hukuman untuk bikin jera, tandasnya, itu sama halnya teori pembalasan yang sudah sangat kuno. Sudah ada sejak tahun 1848. Melalui teori itu, maka semua penegakan hukum harus bisa melakukan pembuktian. Kalau penegak hukum hanya bisa membuktikan tindak pidananya Rp 300 miliar, padahal pencucian uang yang dilakukan pelaku Rp 2 triliun. “Pelaku lebih suka dihukum, karena masih memiliki harta lainnya setelah menjalani hukuman. Nah, kalau bagi saya, penyelesaian tindak pidana korupsi adalah bagaimana melakukan pengembalian keuangan negara,” tandasnya.
Di Inggris, kasus Roll Royce sebagaimana yang terjadi pada kasus Penerbangan Garuda di Indonesia, diselesaikan dengan mediasi penal. Pihak Roll Royce hanya diminta membayar ganti rugi berkali lipat dan denda. Dengan begitu, perusahaan tersebut tak tutup, tetap bayar pajak, tak melakukan PHK karyawan. “Dampak sosialnya jauh lebih besar,” katanya.
Kunci Sukses Hidup, Disiplin dan Bangun Pagi
DR Ketut Sumedana SH MH, bukanlah jaksa sembarangan. Semangat dan dedikasinya terhadap pembangunan hukum yang bermartabat, ia sampaikan ke berbagai ruang kuliah baik di kampus negeri, kampus swasta maupun ruang-ruang seminar.
Semangatnya yang menggelora, terpelihara karena pola hidupnya yang terbangun dari landasan positif. Bapak dua anak yang bertempat tinggal di NTB dan baru setahunan bertugas di Jateng ini memiliki tiga prinsip bahagia. Pertama, selalu bersyukur dengan seluruh pemberian Yang Maha Kuasa, termasuk kesehatan badan dan ruhaniah. Kedua, selalu memaafkan kesalahan orang, meski didhalimi dan dilaporkan tentang hal yang tak benar dan tidak pendendam. Ketiga, selalu berbagi jika memiliki kelebihan.
“Saya ini suka berbagi dengan apa yang saya miliki. Kalau kuliah bisa berbagi ilmu, itu membuat saya sangat bersemangat dan plong. Kalau orang lain tidak paham dengan apa yang saya sampaikan, maka saya akan terus belajar,” ujarnya jaksa yang pernah menangani kasus korupsi yang melibatkan besan Presiden SBY, Aulia Pohan dan Mendagri Hari Sabarno ini.
Menurutnya, hidup itu harus bergerak dan berkarya. Jangan sampai stagnan. Harus ada yang plus dalam sebulan, ada planning apa yang bisa dikerjakan sehingga menghasilkan dan bermanfaat. “Hidup itu harus berintegritas. Kalau hanya pintar saja, hanya punya technical skill. Maka percuma pintar, kalau tak punya integritas. Kalau orang punya integritas, ia tahu soft skill tanpa perlu dipelajari,” urainya.
Meski begitu, Ketut juga memiliki kunci sukses. Meski baginya, sukses adalah kalau sudah melihat anak-anaknya yang saat ini masih kuliah di UGM dan satunya kelas 3 SMP ini sudah mentas dan berhasil. Kunci sukses itu ada empat, pertama, harus disiplin. Kita tak dipercaya kalau tak disiplin. Kedua, harus punya mentor atau guru sebagai tempat untuk bertanya dan apa yang perlu dipersiapkan. Bisa mentor spiritual, bisa profesor, bisa juga orang sukses yang bisa diteladani. Ketiga, hidup harus fokus. Dan keempat, bergaullah di lingkungan yang tepat. Mau sukses jadi pengusaha, maka harus berkumpul dengan para pengusaha atau lainnya.
“Bagi saya , semua waktu sangat bermanfaat. Maka tak boleh membuang-buang waktu percuma dengan hanya berkhayal dan kongkow,” kata pemilik hobi sepedaan seminggu 2-3 kali.
Terpenting lagi, kalau ingin jadi orang sukses harus selalu meminta restu orang tua, terutama ibu dan bangun pagi sebelum matahari terbit. “Kalau bangun kesiangan, rejekinya lari dan untuk eksekusi pekerjaan waktunya sempit,” tuturnya. (ida/bas)