Selain itu, lanjutnya, juga berkaitan dengan ruangan kelas. Biasanya setiap kenaikan kelas, sudah tradisi jika punya ruangan baru orang tua nggrenggo atau mendesain kelas baru, termasuk pengecatan.
“Sekolah kami ketika tidak dipelihara ya eman. Kan masyarakat juga ikut menggunakan fasilitas sekolah, seperti lapangan, taman, makanya perawatan harus ekstra. Sebagian besar inisiatif dari orang tua siswa,” jelas Aji.
Diakui, meski anggaran perawatan dari pemerintah minim, belum ada fasilitas yang mangkrak. Seperti kolam renang juga masih dipakai. Laboratorium komputer juga masih beroperasi. Termasuk perpustakaan digital, ia menggandeng pustakawan.
Aji berharap, dengan lahan sekolah yang luas, anak didik mencapai 586 siswa, rombongan belajar berjumlah 20 kelas, serta guru yang cukup, pemerintah dapat memerhatikan lebih serius.
“Penginnya ya dinas pirso, masyarakat pirso, wong kita ya sekolah besar, punya perpustakaan kalau tidak dilegalkan ya repot. Pembiayaan fisik jangan hanya berbasis siswa, karena pasti kewalahan,” katanya.
Kondisi serupa terjadi di SMP Negeri 2 Semarang. Sekolah di kawasan Milo ini pernah menjadi sekolah RSBI pada 2007-2012. Kini, SMPN 2 harus mengikuti aturan pemerintah menjadi sekolah gratis. Sekolah tidak lagi diperbolehkan memungut uang kepada wali murid. Praktis, ada proses pembelajaran yang terganggu. Salah satunya mengurangi kegiatan yang membutuhkan budget besar.
Tentu banyak perbedaan yang dirasakan. Terutama bagi tenaga pengajar. Awalnya mereka terbiasa mengajar anak dengan daya tangkap cepat. Kini, harus mengajar dengan banyak perbedaan karakter siswa. Tidak lagi mempedulikan tingginya nilai. Asal peserta didik masuk zonasi, maka akan diterima di SMPN 2 Semarang.
“Kalau prestasi di manapun datangnya kalau nilainya memenuhi syarat dapat masuk. Nah itu beda pokok. Kalau sekarang berapapun nilainya asal masuk zonasi harus kita terima,” kata Pembantu Pimpinan Bidang Kurikulum SMPN 2 Semarang, Dyah Purwaningrum.
Pihaknya juga pernah menerima siswa yang belum bisa membaca. Kendati demikian, sekolah yang berada di Jalan Brigjend Katamso ini tetap unggul dalam segi prestasi. Ada yang berkurang, ada pula yang bertambah. “Walaupun kemampuan rendah asal punya semangat, bapak ibu guru di sini mencoba menerima diferensiasi dari masing-masing peserta didik,” akunya.
Disinggung terkait anggaran, Dyah mengaku tidak ada perbedaan yang signifikan. Ketika masih berstatus menjadi RSBI, SMPN 2 Semarang juga tetap menerima bantuan dana BOS dari pemerintah. Bedanya saat ini pihak sekolah tidak diperbolehkan memungut biaya dari wali murid. Sedangkan dulu, masih bisa. Di mana biaya tersebut dipergunakan untuk akomodasi dalama proses pembelajaran. Seperti kegiatan tambahan untuk kunjungan ke pemadam kebakaran, tempat bersejarah, dan sebagainya.
“Kalau sekarang kegiatan yang ber-budget, selama tidak bisa didanai BOS ya harus ditiadakan dulu. Kita membuat kegiatan yang ber-budget minim pokoknya, yang bisa dicover oleh BOS,” tambahnya.
Lebih lanjut dikatakan, sekolah dengan luas 4000 meter persegi ini tetap mengedepankan fasilitas pembelajaran. Seperti lapangan dan laboratorium komputer. Dengan 800 peserta didik, SMPN 2 Semarang mempunyai 48 guru. Diharapkan total pengajar ini dapat memberikan pelayanan yang baik.
“Secara kualitas ya kita coba untuk memberi pelayanan yang terbaik, itu secera teori. Tapi yang jelas fasilitas komputernya sudah jadul. karena pengadaan komputer sejak RSBI awal, mungkin speknya sudah tertingggal,” tegasnya.
Dyah mengaku, selain harus pintar meminimalkan biaya pada pembelajaran, biaya untuk perawatan fasilitas juga harus diminimalkan. Akibatnya, ada salah satu ruangan bahasa yang masih berstatus RSBI digunakan untuk pembelajaran conservation dan speech yang tidak lagi nampak. Ruangan tersebut kini digunakan sebagai laboratorium komputer. “Dulu lab bahasa digunakan untuk conservation dan speech. Sekarang jadi lab komputer,” akunya.
Sedangkan dalam pembelajaran terus mengalami perubahan. Salah satunya kurikulum. Ketika RSBI pihaknya menggunakan KTSP Plus. Sementara saat ini menggunakan Kurikulum 2013 dan Kurikulum Merdeka. “Kalau fasilitas tidak berubah. Hanya kurikulumnya yang berubah mengikuti perkembangan dari pusat,” tandasnya.