RADARSEMARANG.COM – Dulu SD dan SMP Negeri berlabel SBI (sekolah bertaraf internasional) dan RSBI (rintisan sekolah bertaraf internasional) menjadi sekolah favorit. Siswa sekolah ini banyak menorehkan prestasi. Sekolah digelontor banyak anggaran dari pemerintah. Tapi setelah label SBI dan RSBI dihapus, kini kembali menjadi sekolah reguler. Menjadi sekolah gratis. Lalu, bagaimana nasibnya kini?
SD Negeri Sendangmulyo 04 Tembalang memiliki gedung yang megah. Menempati lahan yang cukup luas. Sekolah ini dilengkapi kolam renang, lapangan, laboratorium komputer serta perpustakaan digital. Tak heran, jika dulunya sekolah ini berstatus sekolah bertaraf internasional.
Sekolah ini dihuni 586 peserta didik, yang terbagi menjadi 20 rombongan belajar (rombel) alias 20 kelas. Setelah peralihan dari SBI menjadi sekolah reguler, SDN Sendangmulyo 04 memang mengalami perubahan. Terutama dari segi kualitas siswa.
Menurut Kepala SDN Sendangmulyo 04 Rosamaji, kini prestasi siswanya mengalami penurunan. Hal itu didasari adanya perubahan pola penerimaan peserta didik yang menggunakan sistem zonasi atau siswa dari lingkungan sekolah. Berbeda dengan dulu, harus menggunakan seleksi dalam penerimaan peserta didik baru.
“Tantangan berat dari sisi siswa, dulu SBI diseleksi dulu, jadi sudah terlihat kompetensi siswa. Kalau sekarang pakai sistem zonasi ya di input-nya bagaimana kami meningkatkan mutu dengan menambah perform agar menghasilkan yang terbaik,” jelasnya kepada RADARSEMARANG.COM.
Ia menyebut, kompetensi siswa itu praktis berpengaruh terhadap kejuaraan dan prestasi. Salah satu faktornya karena usia anak yang masuk sekolah berusia 7 tahun. Di mana, dalam masuk Olimpiade Siswa Nasional (OSN) di kelas 5 sudah terlalu tua. Padahal jika mengambil kelas 4 demi menyesuaikan syarat umur, masih belum siap.
“Terus terang saja berbeda ketika SBI, ada penurunan. Jadi, untuk kompetisi kami mengikuti jalur luar. Artinya, tidak menunggu yang diselenggarakan dinas, tapi mengambil peluang lain,” tutur Aji –sapaan akrabnya.
Oleh karenanya, agar prestasi ketika SBI dan beralih sekolah reguler tetap bertahan, pihaknya melakukan pembibitan siswa. Selain persiapan OSN, upaya itu sekaligus back up agar siswa tidak ketinggalan ilmu umum ketika masuk ke sekolah tingkat pertama (SMP). Dalam praktiknya, ia menggandeng pengajar dari lulusan ilmu murni, seperti mapel IPA dan Matematika.
“Karena kalau kita hanya pakai guru lulusan PGSD saja, ilmu yang seperti itu kurang, terbatas bagaimana cara menyampaikan,” imbuhnya.
Perubahan lain yang menjadi tantangan pengelola eks sekolah SBI adalah dari segi pembiayaan dan perawatan fasilitas. Di mana, kini hanya mengandalkan dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS).
Padahal dana yang dibutuhkan lumayan banyak untuk memenuhi kebutuhan pembiayaan fasilitas. Berbeda ketika SBI, pembiayaan mendapat bantuan dari nasional, pemerintah kota, pemerintah provinsi. Demi kelancaran pembelajaran, dalam meningkatkan fasilitas, pihaknya menggandeng orang tua siswa.
“Misalnya di pembiayaan perawatan, mereka (orang tua siswa) ikut berpartisipasi. Ini membudaya sejak masih SBI. Misalnya, ada kerusakan AC. Biasanya mereka mendapat laporan dari anak kalau ruangan panas, karena AC-nya kurang dingin atau rusak, kemudian orang tua bersama paguyuban datang untuk membenarkan AC,” ucap dia.