RADARSEMARANG.COM – Banyaknya guru yang pensiun serta pendistribusian guru Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kontrak (PPPK) yang kurang tepat sasaran, membuat beban kerja guru masih ada yang melebihi batas maksimal. Idealnya, dalam sepekan jam mengajar setiap guru antara 24 sampai 40 jam pelajaran (JP).Namun di lapangan, ditemukan guru yang mengajar melebihi 40 JP.
Yuni Akbar, guru Bahasa Inggris SMK Negeri 4 Semarang setiap minggunya mengajar 40 JP. Angka itu merupakan jumlah maksimal dari kebijakan pemerintah saat ini. “Terlalu padat sih. Akibatnya, refleksi dan evaluasi pembelajaran kepontal-pontal. Padahal masih ada tugas tambahan di luar mengajar, apalagi dengan adanya perubahan kurikulum sesuai kebijakan saat ini ya sangat berat,” katanya kepada RADARSEMARANG.COM.
Menurutnya, dengan mengajar 40 JP tidak ada jeda waktu untuk mengoreksi, merefleksi pembelajaran, dan lainnya. Yang jelas, lanjutnya, kebutuhan guru untuk belajar dan menggarap tugas lain terbatas. Terlebih, saat ini pemerintah meminta kegiatan seminar ataupun pelatihan di luar jam kerja untuk pengembangan diri. Praktis, semakin sedikit waktu untuk istirahat.
Berbeda dengan guru yang mengajar 30-an JP setiap pekan. Ia menilai dengan jumlah itu masih punya waktu untuk mengulangi pembelajaran, memperbaiki proyek, menyiapkan remedial, membuat project berbasis proyek, dan menyiapkan pembelajaran diferensiasi yang cenderung memakan waktu persiapan lebih banyak.
Dikatakan, di sekolahnya memiliki 51 rombongan belajar (rombel) dengan guru Bahasa Inggris lima orang. Jika dijumlah, rata-rata guru mendapat 40 JP. Kendati padat, sekolah tak dapat menambah guru tidak tetap (GTT) seperti dulu, karena tidak ada sumber dana pembiayaan.
Memang, dengan kebijakan minimal 24 JP dan maksimal 40 JP itu, guru mendapat tunjungan profesi yang sama. Baik yang mengajarnya 30-an JP maupun yang 40 JP atau lebih. “Beban kerja 24 JP itu jauh lebih ringan ketimbang 40 JP, tapi tunjangan profesi sama. Karena guru itu mengolah pikir ya apalagi dengan Kurikulum Merdeka yang membutuhkan modul ajar lebih banyak, rasa-rasanya dengan jam itu tidak masuk akal,” tuturnya.
Kepala SMK Negeri 4 Semarang Bambang Sujatmiko mengatakan, saat ini pemerintah sudah berupaya optimal untuk memenuhi kebutuhan guru. Namun di lapangan kenyataannya masih kurang, terutama untuk guru sekolah kejuruan.
Ia menjelaskan, guru yang mengajar di program keahlian belum terpenuhi. Selama ini, pemerintah memenuhi guru yang mengajar mata pelajaran umum, misalnya Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, dan Matematika. Sedangkan untuk mata pelajaran yang produktif yang notabene di SMK itu adalah rohnya, pemerintah belum bisa memenuhi. “Mengapa demikian? Karena banyak perguruan tinggi penyediaan atau lulusan atau lowongan yang dibuka oleh pemerintah kurang,” ujarnya.
Ia menuturkan, karena kekurangan guru itu, dalam mengampu guru produktif kejuruan cukup kewalahan dengan jam mengajar 32 JP. Pasalnya, guru kejuruan atau produktif itu memiliki tanggungjawab K3 yakni keselamatan dan kesehatan kerja.
“Apalagi jika siswa praktik yang berkaitan dengan mesin-mesin yang bergerak ya perlu pengawasan lebih. Kalau guru satu mengawasi 36 siswa itu juga berat,” tuturnya.
Sehingga, menurutnya, perlu adanya guru tambahan agar pembelajaran dapat lebih optimal.
Kondisi serupa terjadi SMK Negeri 10 Semarang. Di sekolah ini, terdapat tiga guru yang jam mengajarnya melebihi 40 JP. Mereka mengajar di program keahlian Nautika Kapal Niaga. Penyebab utamanya, karena sulitnya mencari guru yang sesuai dan mumpuni pada bidangnya. Guru yang mengajar melebihi 40 JP, mereka harus bekerja lebih ekstra. Memberikan materi yang padat, namun jelas, serta menjaga badan agar tetap fit. Sehingga kegiatan belajar mengajar tetap berjalan.
Helmi Yuhdana, guru mapel olahraga SMK Negeri 10 Semarang mengaku pernah mengajar hingga 75 JP dalam sepekan. Kondisi ini dialaminya selama satu semester pada tahun lalu. Saat itu, kata dia, ada tenaga pengajar yang pensiun. Sehingga Helmi bertugas menggantikan kelasnya. “Kendala di tubuh ya fisik tidak bisa dibagi,” kata Helmi kepada RADARSEMARANG.COM.
Meskipun lelah, ia tidak dapat tambahan insentif. Namun pria yang juga menjabat Wakil Kepala Sekolah Bidang Kesiswaan ini tak patah arang. Baginya, menjadi guru adalah panggilan hati. Bekerja sama dengan pihak kurikulum, ia pun menggabungkan jam mengajar dari beberapa kelas. “Solusi dari kurikulum sekali mengajar langsung tiga kelas. Kalau satu kelas-satu kelas, saya harus lari-larian dan kurang efektif juga,” ujarnya.
Pihaknya mengaku pernah merasa kesulitan menginput nilai rapor. Karena harus memasukkan nilai pada 43 rombel kelas dengan jumlah siswa lebih dari 1.500. “Kalau mengajar bisa dibarengkan jadi lebih efektif. Tapi input nilai yang berat. Siswanya banyak sekali, jadi repot,” akunya.
Kepala SMK Negeri 10 Semarang Ardan Sirodjudin mengaku, ada dua permasalahan yang menyebabkan guru kelebihan JP. Yakni, guru pensiun dan sulit mencari guru sesuai dengan bidang keahliannya. Terutama tiga guru di jurusan Nautika Kapal Niaga. Mereka harus mengajar pada enam rombel.
“Kami mengakalinya jam-jam yang produk kreatif dilemparkan ke guru mapel lain. Walaupun itu sebenarnya tidak linier. Terakhir dia dipatok di angkat 40 jam,” ungkapnya.
Selain itu, kata dia, ada upaya lain yang dilaksanakan pihak sekolah. Yaitu, menurunkan jumlah siswa di jurusan tersebut. Serta menambah peserta didik di program keahlian yang banyak guru. Pihaknya juga membuka dua program keahlian baru dalam mengantisipasi hal ini. Seperti bisnis digital dan manajemen logistik. Sampai sekarang masih dalam proses perizinan.
“Upaya yang dilakukan sekolah itu satu, yakni reengineering,” tambahnya.
Harapannya, kata dia, pelayanan dasar terpenuhi. Ia optimistis kekurangan guru segera tertutupi. PPPK segera diumumkan dan ditempatkan sesuai kebutuhan. “Harapannya kalau kita butuh guru Nautika ya dikasih Nautika. Jadi, teman-teman ngajarnya maksimal di angka 30 JP,” tandasnya.