RADARSEMARANG.COM – Wayang On The Street Ngesti Pandowo yang kini digelar rutin di Kota Semarang benar-benar telah menggairahkan dunia seni Kota Semarang. Apalagi Pemerintah Kota (Pemkot) Semarang juga memfasilitasinya.
Meski wayang orang sudah lama dikenal, namun Wayang Orang On The Street mulai familiar sejak dua tahun ini. Wayang Orang On The Street berawal dari Festival Kota Lama yang digagas oleh Agus Suyono, Trenggono, dan Bugris Merdi yang merupakan pecinta wayang. Mereka punya trobosan agar festival tersebut menarik dengan menyisipi setiap bulannya melalui pementasan wayang orang.
“Bugris membuat wayang on the street yang seolah-olah pentas di jalan. Menggarap adik-adik kita dan dari Ngesti Pandowo. Ternyata cukup menarik dan berkembang sampai sekarang,” katan Ketua Komunitas Seni Tradisional Kota Semarang (Tirang Community) Bambang Budianto.
Bahkan banyak pemain dan penari silih berganti dari kalangan generasi muda. Beberapa sanggar ikut bergabung, mulai Ngesti Pandowo maupun Tirang Community. “Tentunya kami didampingi para senior,” kata Bambang Budianto yang kerap disapa Budi Lee ini.
Regenerasi wayang orang memang agak lambat, tetapi tetap masih ada. Proses regenerasi inilah yang menjadi tantangan bersama sebagai seniman wayang. Butuh proses panjang untuk para generasi muda agar ikut tertarik pada wayang orang. Apalagi tidak semua pelaku seni paham tentang wayang. Banyak yang harus dipelajari, seperti tembang, antacana, drama, alur cerita, sambangrapat, dan lain-lain. Kendati demikian banyak generasi yang sudah tertarik seperti dari mahasiswa Unnes, penari di sanggar-sanggar seni dan lainnya. “Kalau mau belajar, akan ada sesuatu yang menarik,” katanya.
Ia bersyukur Pemerintah Kota (Pemkot) Semarang sudah banyak memfasilitasi seniman. Tentunya Pemkot Semarang tidak pilih kasih, ketika para seniman entah itu tari, teater, dan lainnya, ingin berinovasi dan berkreasi untuk mengangkat nama kota.
“Tentunya fasilitas tidak kurang, seperti TBRS dan Oudetrap yang gratis. Tentunya fasilitas setiap bulannya untuk ajang berkreasi banyak. Tinggal pelaku seninya untuk berkreasi agar menampilkan pertunjukan yang menarik,” katanya.
Tirang Community sendiri berdiri sejak tahun 2005. Banyak perkembangan yang dialami, salah satunya menggarap Wayang Orang On The Street. Bahkan setiap ada kegiatan yang melibatkan Tirang Community Semarang dan Ngesti Pandowo, beberapa kali dirinya didapuk menjadi sutradara. Pementasan Wayang Orang On The Street merupakan pementasan wayang yang dikemas simpel untuk mengenalkan wayang kepada generasi muda.
Generasi muda selama ini memandang wayang itu tradisi yang sangat klasik, tidak terpikirkan menyaksikan wayang itu seperti apa. Pihaknya pun melihat itu sebagai tantangan, supaya generasi muda bisa menyaksikan, sekaligus mengedukasi. “Tentunya dengan inovasi dan bumbu di dalam pertunjukan wayang agar bisa dinikmati,” katanya.
Pertunjukan Wayang Orang On The Street tidak pernah lepas dari cerita yang sudah ada. Seperti alur cerita Mahabarata. Hanya saja, bagaimana alur itu tidak hilang, tetapi dikemas dengan menarik. Tentunya dibumbui oleh kreativitas, yang biasanya wayang memakan durasi sekitar 2-3 jam, dipadatkan hanya 1 jam dengan tidak menghilangkan alur cerita.
“Butuh inovasi dan kreativitas untuk memahamkan dan mengedukasi para penonton dengan durasi yang tidak panjang. Kita melihat audiennya siapa? Jika audiennya pelaku seni, kami pakemkan wayang klasik. Ini penonton umum, butuh pemahaman baru sehingga menarik dan tidak lama pertunjukannya,” tuturnya.
Wayang On The Street yang kini digelar rutin di Kota Semarang benar-benar telah menggairahkan dunia seni Kota Semarang. Apalagi Pemerintah Kota (Pemkot) Semarang juga memfasilitasinya.
Agung, kepala Pengelola TBRS yang juga anggota Ngesti Pandowo menambahkan, Wayang On The Street ini memiliki ciri khas tersendiri. Menekankan penggunaan bahasa sastra yang kuat. Terutama tokoh senior dalam nguri-nguri dan melestarikan budaya. “Meskipun rata-rata cerita sama, tapi sastranya paling kuat. Ini menjadi parameter seni wayang di Indonesia,” tutur Agung.
Di sisi pementasan, Ngesti Pandowo masih tradisional dan klasik. Termasuk dalam penggunaan geber wayang. Namun, ke depan bakal menyusul menggunakan geber multimedia.
Salah satu Sutradara Ngesti Pandowo, Bagas menambahkan, dalam setiap pementasan penataan cerita masih mengadopsi cerita yang sering dibawakan dari sumber-sumber tertulis, kemudian diolah lagi. Pengolahan tersebut dari berbagai sudut pandang atau penajaman perspektif, mengatur waktu, menentukan pemain yang dilakukan melalui casting untuk menyesuaikan tokoh yang dibutuhkan.
Ia menyebut, konsep saat ini lebih singkat, namun tanpa meninggalkan detail cerita. “Kita mencoba mencari cerita yang menarik bagi kawula muda sekarang. Lakon yang tidak terlalu populer, kami coba kontekstualkan dengan kondisi sekarang. Seperti cerita Suryo Putro Maling akan ditonjolkan sense hubungan asmara Suryo Putro dan Surtikanti dan pertemuan keduanya,” jelasnya.