RADARSEMARANG.COM – Saat ini motif batik semakin berkembang. Tidak melulu motif lawas seperti megamendung. Tapi ada yang lebih modern dan kekinian. Di Batik Semarang 16 misalnya, motif batik menggunakan ikon-ikon 177 kelurahan di Kota Semarang.
CEO adalah generasi kedua Seraci Adi Putri Widepuri. Pemilik Batik Semarang 16 ini selalu menelurkan kreasi dan inovasi batik agar disukai berbagai kalangan, terutama kawula muda. Karena itu, berbagai hal tentang Kota Lumpia ia jadikan ikon unik. Seperti Simpang Lima, Gereja Blenduk, Tugu Muda, Mahesa Jenar, Legenda Pasar Kobong, bahkan PSIS. Bahkan membuat motif batik di seluruh kelurahan di Kota Semarang, seperti Legenda Kelurahan Kaligawe, Tanjung Mas, Bringin, Simongan, dan lain-lain.
“Kami memang mengekplor local wisdom. Artinya mengangkat corak dari kearifan Kota Semarang. Bukan hanya motifnya, tapi juga perajinnya dan kelestarian alamnya,” katanya pada RADARSEMARANG.COM.
Potensi peninggalan kota yang memiliki nilai sejarah menjadi titik fokus Batik Semarang 16 dalam mengembangkan karya. Mulai dari landmark kota hingga mengangkat tema kuliner yang dituangkan dalam varian batik tulis, cap, dan warna alam.
Misalnya, motif Legenda Kampung Kulitan. Sejarahnya dulu banyak warga menguliti kambing di Semarang. Ada pula motif Cheng Ho Neng Klenteng yang menceritakan kisah kedatangan Cheng Ho di tempat sekarang yang menjadi Klenteng Sam Poo Kong di Semarang. Motif ini dimaknai sebagai ekspresi keramahan warga Semarang.
Dipilihnya ikon-ikon kota Semarang karena sesuai dengan sejarah hidup Sumiyati selaku owner yang tumbuh dan besar di kota Atlantis ini. “Pengen mengangkat Kota Semarang biar semakin dikenal,” imbuh Seraci.
Sumiyati dalam menemukan ide cukup cepat, biasanya ia temukan saat jalan-jalan keliling Kota Semarang. Misalnya lewat Tugu Muda, langsung tercetus membuat corak itu. Dia merancang motif, kemudian diserahkan pada tim penyelaras atau desain untuk menyempurnakan motif. “Misalnya batik cap, sudah ada polanya tinggal disempurnakan oleh tim selaras,” imbuhnya.
Seraci menyebutkan, motif paling laku yakni motif Semarangan seperti motif Lawang Sewu, Asem Arang, Kota Lama, dan lain-lain. Bagi kalangan milenial, lebih mementingkan warna. Untuk motif rata-rata sama, Semarangan juga. Warnanya lebih jreng dan nyala seperti warna merah dan kuning. Namun yang tak kalah laris yakni motif-motif China seperti Cheng Ho dengan aksen warna merah.
Pihaknya melayani pesanan dari berbagai instansi, sekolah, rumah sakit, ataupun bank, baik di sekitar Semarang hingga Ibukota Jakarta. Namun, pihaknya pernah memasarkan hingga Jerman. Ketika itu, sudah pembuatan pola dan motif, namun memiliki kendala biaya pengiriman, harganya jadi lebih mahal dan tidak kompetitif. “Kita buat motif sana, Jerman. Tapi ketika sampai sana, dengan brand-brand Jerman harganya justru lebih mahal, jadi tidak bisa berkembang,” imbuhnya.
Meski begitu, batik tulis corak khas Semarangan biasanya dijadikan bingkisan untuk pejabat ataupun tokoh penting dalam suatu acara. Selain itu, pembeli batik tulis juga berasal dari kolektor.
Di galeri batik yang beralamat di Desa Sumberejo, Meteseh, Kecamatan Tembalang, ini tidak hanya menyediakan kain, namun juga menyediakan baju jadi, selendang, jilbab, dan lain-lain. Bahkan, pengunjung bisa melihat langsung pembuatan batiknya. Yang patut dicontoh, nama batik dan motif batik di Batik Semarang 16 ini sudah terdaftar di Hak Kekayaan Intelektual (HAKI) sejak 2010 lalu. Hingga saat ini sudah ada 216 motif batik yang memiliki badan hukum.
Yang tak kalah menarik, tempat produksi batik sudah dilengkapi Instalasi Pengolahan Limbah (IPL) yang berfungsi memfilter agar limbah agar tidak mencemari alam sekitar. “Dengan menghargai kearifan lokal, industri pabrik bisa selaras dengan masyarakat maupun alam sekitar,” tutur dara 25 tahun ini. (ifa/ida)