26 C
Semarang
Monday, 16 June 2025

Kondisi Kampung Tematik di Kota Semarang, Ada yang Mangkrak, Ada yang Tinggal Papan Nama

Artikel Lain

RADARSEMARANG.COM – Sejak 2016, sudah ada 260 kampung tematik yang tersebar di 177 kelurahan di Kota Semarang. Setiap kampung digelontor dana Rp 200 juta. Pada 2022 ini, Pemkot Semarang akan menambah 10 kampung tematik baru. Lalu, seperti apa kondisi kampung tematik sekarang?

Kampung Tambakrejo RW 16, Kelurahan Tanjung Mas, Semarang Utara ditunjuk sebagai Kampung Tematik Hidroponik. Tujuannya agar daerah yang semula tandus menjadi kampung hijau. Pengembangan hidroponik di kampung ini awalnya merupakan program dari Dinas Pertanian (Dispertan) Kota Semarang pada 2015. Namun setelah ditetapkan sebagai Kampung Tematik Hidroponik, ternyata hasilnya tak sesuai yang diharapkan. Belum ada satu tahun pengelolaan hidroponik di Tambakrejo ini mengalami kegagalan.

Masyarakat tidak meneruskan kembali. Bahkan peralatan seperti paralon putih yang digunakan untuk penanaman sayur hidroponik terlihat mangkrak. Tempat yang dijadikan untuk penanaman hidroponik kini beralih menjadi tempat untuk pembibitan mangrove. Paralon putih itu pun sudah tak berfungsi, dibiarkan mangkrak dan disimpan di bawah pembibitan mangrove.

Ketua Kelompok Camar Juraimi menceritakan, Camat Semarang Utara saat itu menunjuk RW 16 dan Kelompok Camar di Tambakrejo untuk mengelola tanaman hidroponik tersebut. Pihaknya diberikan pendampingan, pelatihan, peralatan, dan ketersediaan benih.“Waktu itu ada juga pendampingan dari Dispertan dan Unnes, penanaman sudah berjalan, tapi nggak lama tidak ada satu tahun. Sampai pertengahan 2016,” jelasnya kepada RADARSEMARANG.COM saat ditemui di Kantor Sekretariatan Kelompok Camar.

Ia menambahkan, ada dua tempat penanaman hidroponik. Yakni di RW 16 dan Kelompok Camar. Tapi keduanya mengalami kegagalan yang sama. “Kendala utama ada di suhu air. Karena di daerah pesisir, jadinya panas. Airnya mengandung garam. Sehingga asin dan sayurnya jadi kuning, nggak seger-seger,” katanya.

Pihaknya telah mencoba berkali-kali dibantu Pemkot Semarang. Tapi kendalanya masih sama, kadar airnya kurang bagus. Juraimi beserta warga lainnya pun membuat inovasi baru dengan hidroponik mangrove. Untuk mengantisipasi suhu air, ia bersama dengan masyarakat lainnya mengganti air setiap jamnya. “Karena sayur tumbuhnya tidak bagus. Upaya kami selanjutnya dengan membuat hidroponik mangrove sebenarnya berhasil. Setiap hari kami mengganti, mengurangi, dan menambahi airnya biar tetap murni seperti air tawar di pegunungan,” imbuhnya.

Namun pengaruh suhu air masih menjadi kendala. Pembibitan hidroponik di Kelompok Camar dan RW 16 tidak lagi dilanjutkan oleh masyarakat. “Mangrove itu tumbuhan hutan, lalu apa manfaatnya? Masyarakat waktu itu berpikir demikian, akhirnya berhenti lagi,” ungkapnya.

Hingga saat ini pihaknya bersama dengan masyarakat dan Pokdarwis lebih berfokus pada tanaman toga, seperti jahe, kunyit, dan lainnya. Selain lebih mudah dalam perawatan, tanaman ini juga tidak cepat mati. “Kalau memang ada program lagi yang berhubungan dengan lingkungan pasti kami akan bantu. Harapannya, hidroponik bisa kembali ditanam di wilayah kami dengan penyelesaian kendala air yang sudah matang,” akunya.

Lurah Tanjung Mas Sony Yudha P Pradana mengaku, akan memberdayakan remaja melalui karang taruna untuk kembali bergeliat dalam meningkatkan kemajuan di wilayahnya. “Dulu memang ada. Harapannya nanti kita adakan lagi penanaman hidroponik dengan memberdayakan karang taruna di wilayah tersebut,” katanya.

Setali tiga uang. Kampung Tematik Olahan Mangga di Kelurahan Banjardowo, Genuk yang sudah dibentuk sejak 2018 kini juga vakum. Produksi olahan mangga kini pasang surut lantaran panen musiman yang tak menentu.

Lurah Banjardowo Suhartono mengakui, usaha Wali Kota Semarang Hendrar Prihadi untuk menggali potensi ekonomi lokal sempat bertumbuh di awal berdirinya. Namun ia menilai hal itu agak dipaksakan mengejar kampung tematik lainnya. “Ibaratnya sekarang hidup segan, mati tak mau,” ujarnya kepada RADARSEMARANG.COM.

Pemkot Semarang dahulu telah memfasilitasi masyarakat setempat dengan pemberian 600 bibit mangga. Lalu dilengkapi dengan pelatihan pengolahan mangga bagi warga setempat, khususnya RW 05 dan RW 08 yang terpilih untuk proyek kampung tematik. Meski begitu, panen hanya terjadi satu kali dalam setahun. Kemudian rentang waktu juga beragam. Sebagian warga yang mengalami panen lebih dahulu biasanya stok habis terjual tanpa terbuang sia-sia. “Semuanya kan memang punya pohon mangga, jadi kadang pas panen serentak itu banyak yang terbuang dan harganya anjlok karena barang terlalu banyak,” imbuhnya.

Oleh karena itu, upaya kampung tematik tersebut dapat menjadi solusi bagi sisa mangga yang tak terjual. Warga mengolah mangga menjadi produk sirup, manisan, dodol dan jenang. Akan tetapi, saat stok mangga habis dan musim panen berakhir, warga tak punya bahan pokok mangga untuk diolah. Produksi pun terhambat dan sempat mangkrak. “Karena panen musiman, jadi nggak bisa kontinyu,” katanya.

Belum lagi, sebagian warga memilih menjual buah secara langsung ketimbang diolah terlebih dahulu karena dianggap lebih praktis. Sebab,  mengolah mangga menjadi produk sirup, manisan, dodol dan jenang memerlukan proses panjang.

Ketua RW 09 Mashuri masih mengupayakan produksi berjalan. Bahkan ia tetap berusaha melibatkan warga di event seperti bazar UMKM. Di samping itu, Lurah Suhartono mulai mencari alternatif potensi lain yang dapat menggantikan mangga agar masyarakat tetap produktif.

Kampung Photograpy di RW 2 kelurahan Pendrikan Lor kini juga tinggal papan nama. Setidaknya kini, tinggal empat fotografer di kampung ini yang masih aktif. Itu pun ada yang nyambi pekerjaan lain karena sepi job. Apalagi selama pandemi Covid-19.

“Di sini yang masih aktif, Mas Dayat sebagai fotografer Lawang Sewu. Mas Udip dulunya fotografer di Waterblaster, sekarang menjadi ojol. Budi Riyanto masih eksis jadi fotografer wisuda dan pengantin. Mas Cahyo di Tugu Muda Fotografi. Pak Siswanto masih eksis. Empat orang ini merupakan bosnya karena mampu melakukan penawaran,” kata Ketua RW 2 Pendrikan Lor Tri Kartiko kepada RADARSEMARANG.COM.

Fotografer Siswanto mengakui, sebenarnya  ada puluhan warga kampung ini yang berprofesi sebagai fotografer. Namun di antara mereka ada yang nyambi ojek online, jualan online, jualan martabak, dan membuka bengkel. “Erik itu jualan martabak, Dibyo jualan, terus Udib ojek online dan jual nasi kucing. Kalau ada kerjaan foto ya mereka berangkat,” jelasnya.

Diakui, seiring kemajuan zaman, banyak fotografer yang tiarap. “Foto cetak kurang laku karena kalah dengan handphone yang canggih. Apalagi selama pandemi, tidak boleh ada acara yang mengumpulkan orang,” katanya.

Sejumlah kampung tematik yang tinggal papan nama, seperti Kampung Jahe di Kelurahan Pleburan dan Kampung Keripik Sukun di Kelurahan Peterongan. Bukan hanya sudah tidak berproduksi kontinyu, bahkan bahan bakunya saja sudah tidak ada.

Kampung Jawi di Kelurahan Sukorejo, Gunungpati, menjadi contoh kampung tematik yang masih eksis hingga sekarang.  Heriyanto, Sekretaris Lurah Sukorejo menuturkan, selain nguri-uri Budaya Jawa seperti karawitan, reog dan keroncong, di Kampung Jawi juga  dilengkapi angkringan masakan tradisional Jawa. Penyajian makanan di angkringan ini menggunakan daun atau besek.  “Dibuatnya angkringan ini untuk meningkatkan UMKM di sini. Semuanya warga asli Sukorejo,” ujarnya.

Selain warga lokal, pengunjung juga ada yang dari luar kota bahkan manca negara. Angkringan buka pukul 16.00-22.00. “Pengunjung dihibur gamelan dan reog. Jadi, bisa sebagai tempat bermain anak-anak,” imbuh Anis, 30, warga Kampung Jawi.

Kampung tematik batik Rejomulyo juga masih eksis dan dikunjungi wisatawan setiap harinya. Para pemilik usaha batik di kampung ini tetap bertahan meski pandemi Covid-19 melanda.

Sejak 2016, wilayah RW 2 Kelurahan Rejomulyo ini diubah sedemikian rupa menjadi kampung tematik batik. Setiap RT juga berlomba-lomba untuk memperindah kampungnya dengan hiasan batik, agar menarik wisatawan berkunjung. Seperti di wilayah RT 4 RW 2 yang dinamai Kampoeng Djadhoel.

“Awalnya tempat ini (wilayah RT 4) dibangun sasaran utamanya bukan untuk wisatawan, tapi hanya untuk kami nikmati sendiri. Menciptakan keindahan dan kenyamanan kampung, khususnya bagi warga sini,” jelas Dwi Kristianto, Ketua RT 4 kepada RADARSEMARANG.COM.

Namun lambat laun, kampung ini menjadi tujuan wisata karena keunikannya. “Kami ingin menunjukkan kebudayaan yang kami punya,” tambahnya.

Niko Adinata, 43, pemilik toko batik Puspasari, setelah pandemi mereda terjadi peningkatan penjualan. Hal ini disebabkan aturan pemerintah yang mulai melonggarkan aturan pasca pandemi. Sehingga masyarakat mulai ramai membeli seragam batik untuk keperluan sekolah dan kantor.

Media tanam hidroponik di Kampung Tambakrejo RW 16 Kelurahan Tanjung Mas, Semarang berganti menjadi pembibitan mangrove yang tidak terawat. (KHAFIFAH ARINI PUTRI/RADARSEMARANG.COM)

30 Kampung Tematik Jadi Unggulan

Pemkot Semarang sejak 2016 lalu membuat kampung tematik di tingkat kelurahan. Tujuannya, untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, lingkungan permukiman, dan kearifan lokal, serta potensi yang dikelola masyarakat itu sendiri.

Sampai tahun ini, sudah ada 260 kampung tematik yang tersebar di 177 kelurahan. Kampung tematik terbanyak di Kelurahan Wonolopo, yang memiliki lebih dari lima kampung tematik. Dari jumlah tersebut, hanya ada sekitar 30 kampung tematik yang menjadi unggulan dan eksis sampai saat ini.

“Pembuatan kampung tematik sendiri, 80 persennya lebih ke perekonomian, sisanya tema infastruktur dan sosial sebagai upaya meningkatkan kesejahteraan masyarakat yang berangkat dari usulan masyarakat,” kata Kepala Badan Perencanaan, Pembangunan, Penelitian, dan Pengembangan Daerah (Bappeda) Kota Semarang Budi Prakosa kepada RADARSEMARANG.COM.

Dari 260 kampung tematik yang dibuat, 20 persennya berhasil dan bisa eksis sampai saat ini bisa dibilang sudah sangat bagus. Apalagi setelah dibuat dan dikucurkan dana, eksistensi kampung tematik tergantung usaha masyarakat untuk berusaha menghidupkan kampung tersebut.

“Pengajuannya bottom up, warga mengajukan potensinya apa di kelurahan, kecamatan dan kota. Jika proposalnya sudah masuk, nanti akan dilakukan verifikasi dan ditetapkan untuk dijadikan kampung tematik,” ujarnya.

Budi menjelaskan, jika pada tahun ini ditetapkan 10 kampung tematik baru yang akan mendapatkan anggaran di tahun 2023 mendatang. Sementara 10 kampung tematik baru tahun ini, sudah ditetapkan sebelumnya pada 2021. Total, kata Budi, ada 260 kampung tematik yang dimiliki Kota Semarang.

“Tahun ini ada 10 kampung tematik baru. Ini pengajuan dari tahun 2021 lalu. Tahun depan ada 10 kampung tematik lagi yang akan dibuat,” tuturnya.

Sub Koordinator Pelaksanaan Sosial Bappeda Kota Semarang Yohanes Adi Nugroho menjelaskan, setelah dibuat dan mendapatkan anggaran stimulan sebesar Rp 200 juta, warga paling tidak harus bergerak mencari sumber dana lain secara swadaya ataupun menggandeng stakeholder lainnya. Misalnya, melalui corporate social responsibility (CSR).

“Misalnya sudah dibangun sedemikian rupa, tapi setelah kita lakukan monev yang menjadi faktor keberhasilan adalah SDM, di mana ada tokoh, tutor, dan motivator yang mampu menggerakkan masyarakat untuk bergerak bersama,” katanya.

Jika tidak, tentu meskipun digelontor anggaran besar sebuah kampung tematik tidak akan berjalan. Ia menyebutkan dari 30 kampung tematik unggulan ini, ada kelompok atau tokoh yang bergerak, sebut saja Kampung Jawi, Kampung Jamu, Kampung Batik, dan lainnya, dengan membuat kelompok sadar wisata (Pokdarwis). “Intinya adalah mau bergerak, mencari sumber dana lain, ataupun bekerja sama dengan OPD yang tupoksinya sesuai tema, anggaran fisik ya bisa diusulkan lewat Musrenbang,” ujarnya.

Untuk memaksimalkan kampung tematik yang bisa dibilang mati suri, misalnya Kampung Pilah Sampah di Mangkang Kulon dan lainnya, Beppeda terus melakukan edukasi kepada masyarakat dengan melakukan fasilitasi kegiatan yang ada, seperti pemasaran, teknologi informasi, dan lainnya yang bisa diambil dari anggaran kelurahan ataupun kecamatan.

“Misalnya, hambatan pemasaran hubungannya kan lebih ke teknologi informasi di mana setiap tempat ada potensi pemuda. Karang Taruna yang mendapatkan anggaran dari kelurahan bisa difasilitasi, untuk mendapatkan pelatihan pemasaran ini. Jadi, konsep bergerak bersama bisa terus berjalan,” katanya. (kap/fgr/mg19/mg20/mg16/mg18/den/aro)

 


Artikel Terkait

Sementara Itu ..

Terbaru

Populer

Menarik

Lainnya