RADARSEMARANG.COM – Kota Semarang memiliki Peraturan Daerah (Perda) Nomor 5 Tahun 2014 tentang Penanganan Anak Jalanan, Gelandangan, dan Pengemis (PGOT) dan Perda Nomor 5 Tahun 2017 tentang Ketertiban Umum. Dalam perda, diatur soal larangan pemberian uang kepada anak jalanan dan pengemis di traffic light ataupun di jalan umum.
Bahkan, jika terbukti memberi uang, bisa dikenai hukuman kurungan tiga bulan dan denda Rp 1 juta. Namun nyatanya di lapangan, para PGOT masih bebas beroperasi, dan warga yang merasa iba masih memberikan uang tanpa khawatir terkena sanksi.
Rubinah, warga Wonodri, Semarang Selatan sudah menjadi pengemis selama tiga tahun. Ia mangkal di perempatan lampu merah Jalan Admodirono-Jalan Ahmad Yani. Karena keterbatasan penglihatan membuatnya terpaksa menjadi pengemis untuk bertahan hidup. Ia tidak bisa bekerja layaknya orang normal lainnya.
“Mesakke kulo niku tiyang mboten semerep,” ujar Rubinah kepada RADARSEMARANG.COM.
Ia mengaku terpaksa harus menjadi seorang pengemis sejak matanya buta. “Dulu waktu mata saya masih sehat, bisa bekerja jadi-jadi buruh. Tapi, lama-lama mata saya mulai blur dan sempat dapat bantuan dari Pak Jokowi untuk pengobatan. Namun syarafnya kena, dan sampai sekarang malah nggak bisa lihat sama sekali,” katanya.
Rubinah punya dua anak yang sudah lulus sekolah. Namun wanita 40 tahun ini harus menanggung biaya hidupnya sendiri. Kedua anaknya justru sibuk minum-minuman alkohol setiap hari. Kedua anaknya terpengaruh lingkungan yang rusak. Hingga tidak mau bekerja dan hanya mengandalkan dirinya.
“Anak saya tahunya hanya makan dan tidur. Saya sampai lelah menasehati keduanya. Pikirannya sudah rusak, karena banyak mengonsumsi congyang,” curhatnya.
Dari hasil menjadi pengemis, dalam sehari Rubinah bisa mendapatkan uang Rp 100 ribu sampai Rp 200 ribu. Menurutnya, bekerja menjadi pengemis tak luput dari incaran petugas Satpol PP dan Dinas Sosial. Bahkan, ia pernah tertangkap petugas Satpol PP.
“Pernah sekali tertangkap. Tapi hanya diberikan peringatan dan imbauan untuk di rumah saja. Mungkin mereka kasihan sama saya, karena saya nggak bisa lihat, makanya nggak dibawa ataupun diberi sanksi,” akunya.
Namun kondisi ekonomi dan fisiknya membuatnya kembali mengemis di jalanan. Sebab, kalau tidak bekerja, dia dan kedua anaknya tidak bisa makan. Setiap hari dari rumah ke lokasi mangkal, dia diantar tukang becak dengan tarif Rp 5.000 sekali jalan atau PP (pergi pulang) Rp 10.000.
“Saya dibantu bapak tukang becak. Ongkosnya Rp 5.000. Saya mikirnya bapaknya bisa jajan, saya juga masih bisa makan. Saya capek, frustasi, nggak ada yang bisa tak ajak ngomong. Anak saya rusak semua. Saya penginnya tidur terus blabas meninggal saja, jangan sakit nanti nggak ada yang ngurus,” ceritanya penuh iba.
Rubinah sendiri paham ada aturan dilarang mengemis. Namun apa boleh buat, karena hanya itu yang bisa ia lakukan. Sedangkan soal aturan orang yang memberi uang kepada pengemis akan dikenai sanksi denda hingga Rp 1 juta, ia mengaku tidak paham. “Mboten ngertos kulo, Mbak. Saya ngemis juga nggak maksa kok. Sesuai keikhlasan saja,” katanya.
Berbeda dengan Suginah. Ia menjadi pengemis di daerah Pleburan, Semarang Selatan sambil membawa anaknya. Wanita asal Demak ini terpaksa menjadi pengemis karena kondisi ekonomi keluarga yang serba kekurangan. Untuk menarik simpati masyarakat, ia menyuruh anaknya yang masih kelas 2 SD untuk meminta-minta. “Kalau anak-anak yang minta pasti dikasih banyak. Kalau saya yang minta nggak pernah dikasih,” ujarnya.
Bersama dengan putrinya, ia berkeliling ke warung dan tempat makan lainnya. Biasanya, Suginah menunggu di depan warung, dan anaknya masuk untuk meminta-minta kepada pengunjung. Dalam sehari ia bisa memperoleh uang hingga Rp 300 ribu. “Saya mulai kerja seperti ini sudah dua tahun terakhir. Setelah anak pulang sekolah, baru saya pergi ke Semarang untuk ngemis,” katanya.
Valentino, warga Semarang mengaku, kasihan terhadap pengemis yang sudah tua, membawa anak, dan memiliki fisik yang berbeda. Menurutnya, setiap ada pengemis, ia selalu memberikan uangnya.
“Kasihan sama mereka, di agama saya juga diajarkan untuk saling memberi dan membantu satu sama lain,” akunya.
Saat ditanya tentang Perda Nomor 5 tahun 2014 mengenai larangan untuk memberikan uang kepada pengemis, remaja berusia 17 tahun ini tidak mengetahuinya. Ia mengaku, memberikan uang atas dasar rasa simpati.
“Dibilang setuju saya setuju Mbak adanya perda tersebut, untuk menertibkan PGOT. Tapi hati saya tetap mengatakan kasihan terhadap mereka, dan niat saya ikhlas memberikan uang tersebut,” tambahnya.
Setelah mengetahui adanya perda tersebut, ia mulai mengurungkan niatnya memberi uang kepada pengemis lagi. Sebab, ancaman sanksinya hukuman kurungan tiga bulan dan denda Rp 1 juta. “Berarti mulai sekarang saya akan memberikan bantuan lewat lembaga yang ada saja. Harapannya, pemerintah dan masyarakat bisa bersinergi memberikan kehidupan yang lebih baik kepada mereka,” katanya.
Pengamatan RADARSEMARANG.COM, para pengemis banyak mangkal di berbagai sudut kota, di antaranya di depan swalayan ADA Banyumanik. Di persimpangan arah tol Banyumanik ini menjadi tempat pengemis, gelandangan, dan orang telantar meminta-minta.
Tak jarang mereka membawa anak kecil untuk menarik belas kasihan warga memberikan uang. Pengemis ibu-ibu tua juga biasa mangkal di bangjo Metro Peterongan. Ada juga yang berkedok jualan koran hingga pukul 22.00.
Sehari Amankan Enam PGOT
Berbagai razia terus digencarkan untuk membersihkan PGOT dari pusat kota ataupun jalan protokol di Kota Semarang. Apalagi Kota Semarang memiliki Perda Nomor 5 tahun 2014 tentang Penanganan Anak Jalanan, Gelandangan, dan Pengemis, yang salah satunya mengatur larangan pemberian uang kepada pengemis dan anak jalanan di traffic light maupun jalan umum.
“Perda ini disosialisasikan Dinsos, lalu Satpol PP menegakkan perda tersebut dengan mencari PGOT, manusia silver, badut, dan lainnya untuk dibina,” kata Kepala Satpol PP Kota Semarang Fajar Purwoto kepada RADARSEMARANG.COM.
Fajar menerangkan, perda ini harus ditegakkan agar tidak ada lagi PGOT ataupun pengamen yang mangkal di traffic light ataupun jalan protokol. “Misalnya kalau menemukan penjual koran, kami nggak masalah tidak akan ditangkap asalkan benar menjual koran,”tegasnya.
Masalahnya, kata Fajar, tak jarang ada PGOT yang menyaru sebagai penjual koran dan dijadikan sebagai kedok meminta uang. Ia pun mengimbau kepada masyarakat untuk tidak memberi uang. “Kalau menjual koran ya dibeli korannya. Tapi kalau ending-nya minta-minta ya jangan diberi,” katanya.
Fajar menerangkan, beberapa titik yang rawan adanya PGOT dan sejenisnya biasanya terdapat di traffic light Krapyak, Pedurungan, Sambiroto, dan lainnya. Sementara di pusat kota, menurut Fajar, angkanya sudah mulai turun. Apalagi Satpol PP menurunkan tiga regu untuk melakukan patroli.
“Kita terus lalukan patroli yang kita bagi menjadi tiga regu. Tujuannya untuk melakukan pengawasan. Alhamdulillah jumlahnya sekarang berkurang,” ujarnya.
Sementara untuk PGOT yang masuk ke perkampungan, lanjut dia, masih belum tersentuh dan masih ditoleransi. Namun masyarakat juga diimbau untuk tidak memberi uang ketika ada PGOT yang masuk ke permukiman. “Jumlah PGOT dan lainnya setelah adanya razia ini menurun. Rata-rata setiap hari ada enam yang diamankan,” katanya
Belum lama ini, Kepala Dinas Sosial (Dinsos) Kota Semarang Heroe Soekendar menegaskan jika Perda Nomor 5 Tahun 2014 tentang PGOT dan Perda Nomor 5 Tahun 2017 tentang ketertiban umum harus ditegakkan. Heroe menekankan dua perda tersebut harus terus disosialisasikan hingga bisa berlaku atau ditegakkan dengan baik.
“Jika memberikan uang atau sumbangan kepada pengemis atau PGOT secara langsung di jalan bisa dikenai kurungan tiga bulan dan denda Rp 1 juta,” katanya.
Sanksi tersebut, menurutnya, sebagai tekanan yang mendidik bagi pemberi uang maupun PGOT. Terlebih dengan fungsi alokasi dana bantuan agar lebih bermafaat. Sebenarnya santunan atau bantuan bisa disalurkan ke kanal resmi, seperti Baznas dan lainnya.
“Bagi masyarakat yang ingin memberikan santunan/bantuan bisa melalui Baznas Kota Semarang, yayasan sosial atau panti asuhan yang memiliki legalitas yang bisa menyalurkan secara tepat dan aman, serta bisa memberikan laporan dan pertanggungjawabannya,” ujarnya.
Data Dinsos Kota Semarang, ada beberapa temuan kasus PGOT yang terjaring dalam patroli beberapa tahun belakangan ini. Misalnya, ada pengemis yang punya rumah mewah dan lahan pertanian di desa. Ada yang mampu membiayai anaknya hingga kuliah dan lainnya. Namun ada pula karena depresi, gangguan kejiwaan karena putus cinta, tidak punya keluarga, dan lain sebagainya. (kap/den/aro)