30.4 C
Semarang
Sunday, 22 June 2025

Perjuangan Grup Ketoprak Tetap Eksis, Pemain Harus Urunan untuk Biaya Pentas

Artikel Lain

RADARSEMARANG.COM – Ketoprak sebagai seni drama tradisi semakin jarang digelar di era modern. Selain regenerasi pemain yang sulit, biaya seringkali menjadi kendala grup kesenian tradisional ini untuk pentas rutin. Sejumlah grup ketoprak harus pandai-pandai mengatur strategi untuk bisa bertahan hingga saat ini.

Gimin masih terkenang kondisi di era 1970-an. Saat itu, Paguyuban Ketoprak Sri Mulyo, tempat ia bergabung, berada di masa kejayaan. Dalam sebulan, Gimin dan rekan-rekannya bisa dapat tanggapan atau pentas hingga enam kali.

Kondisi tersebut sangat berbeda dengan saat ini. Jangankan bisa pentas tiap bulan, dalam setahun paling hanya satu atau dua kali pentas. Kelompok kesenian yang bermarkas di kampung Jurang Blimbing, Kelurahan Tembalang, Kecamatan Tembalang, Kota Semarang ini ibarat hidup segan, mati tak mau.

“Ketoprak Sri Mulyo ini diakui dari Dinas Pariwisata dulu sejak tahun 1974. Sebelumnya paguyuban ini sudah ada sejak tahun 1955,” jelas ketua Sri Mulyo ini.

Di masa kejayaannya, lanjut Gimin, jumlah anggota ketoprak lebih dari 50 orang. Itu hanya yang resmi terdaftar secara administrasi. Ada juga pemain yang kadang ikut pentas ketika ia ada waktu. Kini tersisa sekitar 40 orang, dengan segala jenis pekerjaan aslinya.

Saat ditemui di rumahnya, Jalan Jurang Blimbing RW IV Gimin tampil sederhana. Ia mengenakan baju berwarna hitam mirip dengan kostum ketoprak yang dipakai saat tampil. Pasang surut dunia kesenian sudah banyak dialami. Mulai dari mendapatkan honor Rp 10 ribu hingga Rp 100 ribu pernah dirasakan.

Menurutnya, Ketoprak Sri Mulyo selalu mengiringi kegiatan hari besar di berbagai tempat. Namun saat ini terkendala biaya. Yakni biaya operasional untuk kostum, alat, dan sebagainya. “Hari Kemerdekaan tanggal 17 Agustus itu kita pasti tampil. Tapi sering kali kita terkendala biaya, karena masih swadaya dari para anggota,” tambahnya.

Pria paro baya ini menceritakan, awal pandemi Covid-19 membuat paguyubannya makin terpuruk. Hingga akhirnya Ketoprak Sri Mulyo bisa tampil selama setahun dua kali. Itupun karena adanya Kuliah Kerja Nyata (KKN) Tematik dari Universitas Diponegoro (Undip) Semarang. Biaya operasional ditanggung oleh mahasiswa KKN dan pihaknya bisa tampil. Gelaran yang dilaksanakan untuk acara hajatan sampai saat ini masih belum berjalan.

“Mau gimana lagi sekarang orang mau nanggap ketoprak juga mikir-mikir. Kalau kita anggotanya banyak, mending kan nyari kesenian lain yang biaya operasionalnya lebih murah. Alhamdulillahnya selama pandemi ini ada KKN dari Undip jadi kita bisa tampil untuk dibantu biayanya,” katanya. Pihaknya juga pernah mendapat bantuan gayol atau gantungan gong dari dosen Undip.

Ia menambahkan ketoprak sempat mengalami pasang surut. Pada 1986, sebagian besar lahan Kampung Jurang Blimbing tergusur untuk relokasi kampus Undip. Para seniman terpaksa harus pindah tempat tinggal.

Mereka tersebar di berbagai wilayah. Namun sebagian warga memilih untuk pindah di pinggir kampus dan menetap di situ. Ketoprak Sri Mulyo pun sempat vakum. Tidak ada kegiatan sama sekali. Meskipun di hari besar. Akhirnya pada tahun 2000-an mulai bangkit kembali.

Kesenian sudah mendarah daging di hidup Gimin. Keinginan para pemuda untuk belajar ketoprak atau kesenian tradisional lain, menurutnya, sangat rendah. Sebab ketoprak dianggap sudah kuno. Beberapa kali ia berupaya untuk menarik muda mudi untuk melestarikan dan menumbuhkembangkan kesenian tradisional. Namun tidak banyak yang ikut.

“Sebisa mungkin saya akan mempertahankan ketoprak ini. Karena ini warisan dari leluhur. Harapannya anak-anak muda bisa ikut melestarikan kesenian budaya agar tidak punah,” jelasnya.

Ketoprak Lumaras Budoyo sering menggabungkan pola cerita tradisional dengan kisah ala sinetron untuk menarik perhatian penonton. (Istimewa)

Bertahan dengan Cerita Romansa dan Humor

Melestarikan eksistensi ketoprak sebagai kesenian asli nusantara memang tidak mudah. Di tengah-tengah masyarakat, para seniman ketoprak harus berjuang keras. Yakni memperjuangkan supaya ketoprak mendapat ruang di hati masyarakat sebagai warisan kesenian lokal yang luhur.

Seperti yang dialami grup ketoprak di Desa Petung, Kecamatan Pakis, Kabupaten Magelang. Namanya Lumaras Budoyo. Grup ini menjadi wadah bagi pemuda dan orang tua yang mencintai kesenian dan melestarikannya. Mencoba mempopulerkan kembali ketoprak kepada masyarakat.

Pembina Grup Ketoprak Lumaras Budoyo Agus Priyono mengatakan, keberadaan ketoprak di Desa Petung sudah menjadi turun-temurun. Warisan generasi ke generasi yang telah ada sejak 1996. Sehingga patut dilestarikan. Bahkan, telah terbentuk sanggar seni. Selain ketoprak juga terdapat tari-tarian, gedruk, dan kesenian lain. “Di wilayah Pakis, adaptasi ketoprak itu bagus. Tiap desa ada, bahkan hingga ke dusun,” katanya kepada RADARSEMARANG.COM.

Agus menerangkan, ketoprak tetap akan bertahan jika terus melakukan inovasi dan kreativitas. Yaitu menyesuaikan dengan kondisi sosial kemasyarakatan saat ini. Mencoba menyajikan lakon atau alur cerita yang menarik sesuai apa yang diminati masyarakat. “Kita ingin bagaimana anak muda terpaut dengan ketoprak.

Supaya ketoprak relevan dengan masa kini, Agus sengaja menggabungkan cerita ketoprak tradisional disatukan dengan tren drama dan sinetron. Meski begitu tidak mengubah lakon ketoprak itu sendiri. “Kan ada beberapa macam di antaranya carangan, legenda, maupun babad,” ujarnya.

Hingga saat ini, Grup Ketoprak Lumaras Budoyo masih eksis. Rutin menyelenggarakan latihan sekali dalam seminggu. Regenerasi anggota pun juga banyak diisi oleh kalangan kawula muda. Bahkan tiap dusun bisa dipastikan terdapat grup ketoprak.

Menurut Agus, salah satu cara melestarikan ketoprak ialah dengan menggelar kembali pertunjukan. Para anggota dipersilakan untuk menggilir pertunjukan ketoprak di masing-masing dusun. Dengan upaya itu diharapkan dapat membumikan kesenian ketoprak dan menambah gairah dari para apresiator. “Mulai dari pelaku, penikmat, pengamat untuk ikut andil dalam melestarikan seni ketoprak,” imbuhnya.

Ketua Grup Ketoprak Lumaras Budoyo Timbul mengungkapkan, ketoprak masa kini lebih banyak mengangkat lakon tentang politik, sosial, sejarah, dan percintaan. Selain itu pertunjukkan ketoprak juga dibumbui dengan pertengkaran, mabuk, cinta, dan nuansa humor. “Intinya kalau ketoprak masa kini itu penonton merasa puas dan senang. Kalau diceritakan tentang kesejarahan malah nanti cepat bosan,” ucapnya.

Menurutnya, ketoprak akan bagus jika didukung dengan sarana dan prasarana yang memadai. Mulai dari kostum, tata rias, lighting, dan piranti pendukung lainnya. Hal itu menjadi penting dalam menghidupkan peran masing-masing. “Harus detail dan sesuai bagaimana karakter raja, orang biasa, dan karakter lainnya harus persis sehingga dapat menjiwai perannya,” paparnya.

Kondisi saat ini ketorak harus dipaksa memenuhi kebutuhan dan tuntutan masyarakat. Masyarakat sekarang lebih menyukai cerita lucu, romansa, dan asyik bukan alur yang pakem dan disiplin. “Itu yang menjadi daya tarik masyarakat saat ini. Kalau nggak ada selingan nggak laku,” jelasnya.

Para pemain Sayung Mulyo merias penampilan sebelum mementaskan lakon yang direkam video dan diunggah ke Youtube. (Istimewa)

Main Ketoprak untuk Mendamaikan Warga

Paguyuban ketoprak Sayung Mulyo, Dukuh Ngablaksari, Desa Sayung, Kecamatan Sayung, Kabupaten Demak hingga kini tetap eksis di tengah dominasi digital. Ketoprak yang dipimpin Zaimul Umam ini berdiri sejak tiga tahun lalu. Tepatnya, Agustus 2019.

Paguyuban ketoprak yang bercorak seni tradisional ini didirikan saat momen Agustusan. Tercatat, ada 73 anggota. Termasuk di dalamnya para pemeran ketoprak, penabuh gamelan, perias, penata suara dan lainnya. Mereka yang tergabung dalam ketoprak ini mayoritas warga sekitar, utamanya para pemuda.

Keberadaan Sayung Mulyo tidak lepas dari peran penting Kepala Desa (Kades) Sayung Munawir serta tokoh kesenian Desa Sayung Maryoko. Para pembina ini menjadi ujung tombak eksistensi seni budaya ketoprak tersebut. Mereka juga ikut bermain ketoprak.

“Awal adanya ketoprak ini memang untuk meramaikan perayaan Agustusan. Kita iuran bersama. Sebab, kalau Agustusan kadang kita kesulitan untuk mencari ketoprak yang bisa menghibur masyarakat. Karena itu, tidak ada pentas. Kita lantas membuat sendiri dengan dukungan pak kades,” kata Zaimul Umam yang juga menjabat sebagai ketua RT 2 RW 8 ini.

Selain itu, kata Umam, inisiatif pendirian ketoprak juga dalam rangka mendamaikan hubungan yang tadinya kurang harmonis antara RT 2 dan RT 3. “Saat itu, saya rembukan dengan temen-temen. Mereka antusias mendukung. Setelah sepakat, kita kemudian lakukan latihan ketoprak bersama dan mengadakan pentas di kampung,”katanya.

Umam sendiri selain penggagas dan ketua paguyuban ketoprak juga berperan sebagai salah satu pemain. “Biasanya saya berperan sebagai Sunan Kalijaga. Kalau pak kades Munawir berperan sebagai Sultan Trenggono, pak Sugiono berperan sebagai patih kasultanan 1, dan pak Sukiyo berperan sebagai patih 2. Adapun, yang lain berperan sebagai prajurit dan lainnya,” katanya.

Adapun, alur cerita yang dibangun dalam ketoprak ini kebanyakan cerita sejarah Kasultanan Demak Bintoro. “Meski demikian, peran kita berganti-ganti sesuai tema yang ada,” kata dia.

Untuk menambah pengalaman, ketoprak Sayung Mulyo juga kerap diberi kesempatan untuk ikut tampil dalam berbagai even yang djgelar pemerintah. Termasuk jika ada festival seni. Selain itu, juga biasa tampil dalam berbagai macam hajatan di masyarakat.

Para anggota paguyuban ini tidak hanya bermain dalam pentas di panggung saja. Namun, mereka juga mengembangkan diri agar bisa mempraktikkan seni peran lainnya. Seperti, campur sari, pranotocoro berbahasa Jawa, dan cucuk lampah (berupa aksi jogetan yang di dalamnya ada peran tokoh gareng, petruk, gatotkoco dan lainnya).  “Untuk bermain ketoprak, sekali main bisa 3 hingga 4 jam untuk satu lakon. Misalnya, saat menjalani lakon Karebet cari pasangan atau mencari jodoh,” katanya.

Umam menambahkan, berperan dalam ketoprak juga tak lepas dari upaya untuk melestarikan budaya Jawa. “Nguri-uri budaya,” katanya. Meski seni tradisional, namun apa yang dimainkan juga didukung seperangkat alat digitalisasi secara modern.  “Kita videokan. Masukkan atau kita upload di youtube,”ujarmya.

Untuk pentas yang pernah dijalankan tidak hanya di Demak saja. Namun, juga pernah tampil di Semarang. Untuk mendukung mobilitas pentas, maka anggota paguyuban ketoprak Sayung Mulyo rajin berlatih. Yakni, minimal seminggu sekali bertempat di kediaman pegiat seni sekaligus sutradara ketoprak, Maryoko, di RT 2 RW 8.

Yang menjadi kendala atau tantangan kelompok ini untuk berkesenian adalah mengorganisir anggota. Sebab, dengan beragam pekerjaan yang dijalani, kadang sulit untuk menentukan waktu latihan atau pentas.  Para anggota grup ada yang bekerja di pabrik, mahasiswa dan lainnya. “Yang jelas, keberadaan ketoprak Sayung Mulyo ini juga sudah didukung dengan peralatan yang komplit. Ada kendaraan pikap untuk angkut peralatan pentas. Asesoris pakaian juga lengkap, gamelan dan lainnya juga ada,” katanya. (kap/mia/hib/ton)


Artikel Terkait

Sementara Itu ..

Terbaru

Populer

Menarik

Lainnya