RADARSEMARANG.COM – Ki Nartosabdo merupakan seorang maestro di bidang seni budaya Jawa beberapa dekade lalu. Untuk mengenang jasa besarnya, Pemkot Semarang memasang patung Ki Nartosabdo di ujung Jalan Pemuda. Kemudian mengubah sebagian Jalan Haji Agus Salim menjadi Jalan Ki Nartosabdo pada akhir Juni kemarin.
Meski namanya cukup familiar di telinga warga Semarang, tak banyak yang mengetahui perjalanannya menjadikan Kota Semarang sebagai pusat pertunjukkan seni sekitar 1950-1970. Terlebih generasi muda yang bahkan tak menjumpainya semasa hidupnya.
Dalam buku “Narto Sabdo:Kehadirannya dalam Dunia Pedalangan” yang ditulis Sumanto (2002) disebutkan bahwa Nartosabdo lahir dengan nama kecil Soenarto pada 25 Agutus 1925. Ia berasal dari Dukuh Krangkungan, Desa Pandes, Kecamatan Wedi, Kabupaten Klaten.
Koran ini berhasil menemui Dhanang Respati Puguh, pakar sejarah yang juga dosen FIB Undip. Selain pernah melakukan banyak riset soal Ki Nartosabdo, Dhanang juga memiliki pengalaman hidup bersama seniman legendaris itu semasa kecilnya. “Saya dan kakak saya sudah tinggal bersama beliau seperti anaknya sendiri,” ungkapnya kepada RADARSEMARANG.COM.
Soenarto adalah anak bungsu dari keluarga Partotiyono dengan tujuh saudara. Sejak umur tiga tahun, ia sudah menunjukkan ketertarikannya pada seni. Bersama kakaknya yang bernama Mardanus, Soenarto selalu ikut ayahnya ikut tim klenengan atau mengiringi pentas dalang Ki Kondhodisono dari Pedan atau Ki Gondowarsono dari Ceper. Aktivitas ini membuatnya, pada sekitar 1936, mampu memainkan semua ricikan gamelan.
Di usia yang tergolong muda, Narto telah menguasai berbagai instrumen depan yang dianggap sulit oleh para seniman. Ia juga bergabung dalam banyak kelompok atau paguyuban seni secara bergantian. Sempat bergabung dalam Orkes Keroncong Sinar Purnama, Wayang Wong Sri Cahyamulya, pemain gendang dalang Ki Pudjosumarto, dan Ketoprak Budi Langen Wanodya, lalu berkeliling dari kota ke kota.
Lantaran kemampuan karawitannya yang sangat menonjol, khususnya pada kendang, pada 1945 ia direkrut ke dalam kelompok Ngesti Pandowo. Bersama paguyuban seni asal Madiun yang dipimpin Ki Sastrosabdo, Narto mulai menjelajahi Jawa Tengah untuk melakukan pertunjukkan seni.
Melihat perkembangan Narto, lambat laun ia diangkat menjadi Ketua Karawitan. Pertunjukkan Seni Ngesti Pandowo semakin diminati di Semarang. Pada 1952, ia pertama kalinya menggubah lagu berjudul ‘Swara Suling’ yang menjadi salah satu titik menuju ketenarannya. Lagu ‘Swara Suling’ kemudian lebih dikenal dengan judul ‘Gambang Suling’. Sekitar 1955, ia telah dikenal sebagai pemain kendang yang mampu menggunakan sembilan kendang dan tiga tambur sekaligus. Nartosabdo juga menyusun beberapa tari besarta lagu iringannya, seperti tari Blandong, Lumbung Desa, Bayangan, Kombang, Sampur Ijo, dan Panca Tunggal. Semua karyanya telah dipentaskan dalam panggung Ngesti Pandawa.
Pada 1954 Wali Kota Semarang kala itu Hadi Subeno memfasilitasi Gedung Rakyat Indonesia untuk Pertunjukan Seni Ngesti Pandowo. “Karena beliau juga penikmat seni, Ngesti Pandawa diminta membuat base di Semarang dan diberi gedung yang sekarang jadi Paragon,” jelasnya.
Dengan berbagai gebrakan baru dari Narto, Ngesti Pandowo mencapai puncak kejayaan sekitar dua dekade sampai 1970. Kala itu pertunjukan seni tersebut sempat jadi ikon budaya Kota Semarang dan diakui sekelas Sriwedari.
Bahkan Presiden Pertama Indonesia Soekarno menyukai penampilan wayang orang Ngesti Pandowo. Bung karno juga terpukau oleh kemampuan Narto dalam memainkan karawitan. Tak jarang ia diminta tampil dalam lawatan budaya ke berbagai negara.
Berkat seniman kreator, para penari yang mumpuni dan menjadi idola penonton, gaya kepemimpinan yang sesuai dengan karakteristik kelompok ini sebagai paguyuban, dan dukungan pemerintah daerah, kelompok ini mampu mencapai puncak kejayaan budaya seni Jawa.
“Oleh Bung Karno, Pak Narto diminta tampil sebagai dalang ke Gedung Pemuda Jakarta tahun 1958 dan disiarkan oleh RRI kala itu. Momen itu ia akui sebagai debut sebagai dalang. Atas jasanya sebagai pembaharu seni, sejak itu ia diberi nama Sabdo dari pendiri Ngesti Pandowo,” jelasnya.
Kiprah Ki Nartosabdo membuat gendhing, tari, ketoprak, dan terus melakukan gebrakan baru yang melampaui batas-batas tradisional. Bahkan berhasil membuat semua orang jatuh cinta pada budaya seni Jawa kala itu.
Disebutkan ia banyak membuat perubahan di dunia karawitan. Ki Narto menjadi pelopor birama ¾ dalam karawitan. Kemudian suara menjadi beberapa bagian saat pementasan.
Ia juga menghasilkan pakeliran, semacam cerita biografi dari tokoh-tokoh wayang. Banyak karyanya yang masih populer di kalangan seniman budaya dan pemain keroncong hingga hari ini.
“Saat itu beliau jadi kilat para dhalang sekaligus pembaharu di seni karawitan dan belum ada yang menandingi. Gendhing klasik digali lagi lalu disajikan dengan irama sigrak yang bisa diterima masyarakat pada zamannya,” ungkap Dhanang.
Pada 1980-an saat masyarakat mulai menggandrungi musik dangdut, Ki Narto bahkan mampu mengadopsi musik dangdut dalam karawitan. Hal itu sempat menebarkan kontroversi. Namun Dhanang percaya bila upaya tersebut diambil Ki Narto untuk mempertahankan minat masyarakat pada musik karawitan.
“Agar generasi muda tetap suka gamelan Jawa dengan seni karawitan, makanya perlu diciptakan gendhing lelagon dangdut yang sesuai dengan jiwa anak muda,” imbuh Dhanang.
Menurut doktor di bidang sejarah yang fokus pada budaya Jawa itu, ada banyak hal yang dapat diteladani dari sosok Ki Nartosabdo. Yakni kedisiplinan, konsistensi, komitmen, spirit, tekad, hingga tirakat. Disebutkan dari segi spiritual sosoknya juga rajin berpuasa dan melakukan kungkum. “Pesan nilai-nilai itu semua ada dalam lagunya atau disampaikan langsung, seperti ‘jroning lair angudi kardi. Jroning batin angesti gusti’. Perlu aksi nyata berupa usaha dan juga diimbangi mendekatkan diri kepada Tuhan,” pungkas Dhanang.
Pada 1983, Ki Nartosabdo mulai sakit-sakitan. Ia menderita sakit ginjal, diabetes, dan darah tinggi. Meski begitu, ia sempat diangkat menjadi pimpinan Ngesti Pandawa. Ia diharapkan mampu mengangkat kembali kejayaan Ngesti Pandawa yang mulai merosot sejak 1970-an.
Selain memimpin grup wayang wong, Nartosabdo masih menerima tanggapan untuk ndalang wayang kulit. Pada Agustus 1985, saat kesehatannya sudah menurun, ia masih mampu menyelesaikan pentas wayang kulit di lima tempat, Surabaya, Malang, Tuban, Lumajang, dan Kediri. Sebulan kemudian, ia masih pentas di kantor Gubernur Jateng pada 16 September dan Jalan Pemuda pada 21 September 1985.
Pada 7 Oktober 1985, Senin pukul 07.35, Ki Nartosabdo meninggal di usia 60 tahun. Keesokan harinya, seniman besar ini dimakamkan di Taman Pemakaman Umum Bergota Semarang. Ribuan warga mengantarkan kepergiannya mulai dari rumah duka di Jalan Anggrek X nomor 7 Semarang. Pengangkatan peti jenazah ke atas mobil diiringi gendhing ‘Identitas Jawa Tengah’, yang oleh Gubernur Jateng H Ismail dianggap sebagai jimat warisan dari almarhum.
Dosen FIB Undip yang juga anak angkat Ki Narto itu mengungkapkan saat ini terdapat penyebarluasan seni pertunjukan Jawa di mancanegara. Banyak pengrawit dan sinden luar Indonesia yang mengembangkan seni budaya Jawa ini di negaranya.
Apresiasi Ki Nartosabdo Lewat Patung dan Nama Jalan
Jalan Ki Nartisabdo meliputi dua kelurahan, yakni Kelurahan Kauman dan Kelurahan Purwodinatan. Warga setempat di sepanjang jalan tersebut, sudsah harus mulai memperbaiki data administrasinya di kantor Dispendukcapil Kota Semarang.
Belum semua warga mengetahui perubahan jalan sepanjang 800 meter Jalan KH Agus Salim menjadi Jalan Ki Nartosabdo. Lis, salah satu pedagang jersey bola sudah 17 tahun berjualan di dekat traffic light Pekojan. Dirinya tahu pergantian nama jalan dari media. Kini masih berusaha membiasakan diri dengan nama jalan yang baru tersebut. “Kan baru diganti ya, mas,” ujarnya.
Demikian juga dengan salah satu karyawan Toko Kencono Ungu, Ike, yang terdampak pada perubahan alamat nota dan administrasi toko lainnya. Pihaknya baru saja mencetak 2 rem nota dengan alamat lama. “Pelanggan luar kota dan pengantar paket masih bilangnya Jalan Agus Salim. Tahunya kami dari sosial media, belum mengikuti sosialisasi dari pemerintah,” ujar karyawan toko sejak 10 tahun yang lalu.
Sedangkan General Manager Metro Park View Hotel Kota Lama Semarang Pratikno mengaku sedang memproses pembaharuan alamat hotel di Google dan beberapa dokumen penting lainnya. Ia berharap tidak hanya berganti nama, tetapi perhatian pemerintah untuk peningkatan Area Kota Lama yang menjadi salah satu tujuan wisata paling populer di Semarang menyaingi Lawang Sewu dan Klenteng Sam Poo Kong. “Tempat ini terkenal karena nuansa Eropa yang terasa dari bangunan-bangunan yang ada,” katanya.
Lurah Kauman, Imam Sutopo, menjelaskan Jalan Ki Nartosabdo dari perempatan Hotel Metro hingga jembatan merupakan wilayah Kauman, setelah jembatan hingga traffic light Pekojan merupakan wilayah Kelurahan Purwodinatan. “Kalau di Kauman itu ya Hotel Metro, Pasar Johar, Aloon-aloon, SCJ Matahari. Kalau yang Purwodinatan itu banyak pertokoan,” ujarnya.
Lurah Purwodinatan, Sri Hartini, mengaku warganya di RW 5 dan RW 2 Purwodinatan mulai mengubah alamat administrasi di KTP. Termasuk 30 pertokoan. “Sementara ini masih pakai alamat Jalan KH Agus Salim. Nanti pelan-pelan ya. Sampai saat ini belum ada permasalahan,” ujarnya.
Sementara itu, Kabid Pelayanan Pendaftaran Penduduk Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Agustanto Iskandar menambahkan, perubahan nama jalan harusnya ada pengajuan dari pemangku wilayah. “Istilahnya perubahan alamat,” ujarnya.
Nantinya Dispenduk akan mengubah alamat administrasi kependudukan, seperti KTP, KK, KIA, akta kematian, dan pencatatan nikah non muslim. Dengan berubahnya nama jalan akan disesuaikan. “Kami hanya mengurus administrasi kependudukannya, kalau pedagang hanya menumpang ketika jualan saja, izin usaha itu bukan ranah kami,” ujarnya.
Sedangkan Wali Kota Semarang Hendrar Prihadi yang meresmikan nama Jalan Ki Nartosabdo menjelaskan, penamaan dan pembuatan patung Ki Nartosabdo merupakan bentuk penghargaan bagi tokoh nasional atau pahlawan yang memiliki jasa besar bagi bangsa ataupun Kota Semarang. Khusus Ki Nartosabdo, memiliki jasa besar dalam bidang seni budaya dalam pedalangan. “Beliau punya karya luar biasa di bidang seni budaya terutama gendhing beliau dan pakem beliau saat mendalang yang banyak ditiru oleh junior-juniornya,” kata Hendrar Prihadi.
Pemkot juga berupaya mengurus hak kekayaan intelektual (HAKI) terhadap karya-karya Ki Narto Sabdo berupa Gendhing Jawa. Pembangunan dan pemugaran gedung Taman Budaya Raden Saleh (TBRS) yang dinamai Gedung Ki Nartosabdo. “Gedung ini dibuat sebagai gedung kesenian bertaraf internasional,” jelas pria yang akrab disapa Hendi ini.
Belum lama ini, Kepala Dinas Penataan Ruang (Distaru) Kota Semarang, M Irwansyah mengatakan, jika saat ini pembangunan Gedung Ki Nartosabdo sedang tahap finishing dengan penganggaran yang dilakukan multi years atau dua tahap.
“Total anggarannya Rp 20 miliar. Tahap kedua ini finishing yakni lebih pada audio visual untuk mendukung pertunjukan kesenian. Awal tahun 2023, targetnya sudah bisa digunakan,” kata Irwansyah.
Terkait dengan desain, gedung kesenian ini mengusung desain yang representatif layaknya pertunjukkan bertaraf internasional. Bahkan menurut rencana, TBRS akan menjadi pusat budaya di Kota Semarang.
Sementara itu, Boyamin Saiman dari Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) yang selama ini memperjuangkan pendafataran HAKI Ki Nartosabdo. Termasuk mendorong Wali Kota Semarang memberikan penghargaan nama jalan untuk seniman legendaris tersebut. “Inisiasi ini kami lakukan agar lagu-lagu legendaris Ki Nartosabdo tidak hilang,” tandasnya.
Boyamin mengungkapkan, ada sekitar 300 lagu yang diciptakan tokoh Jawa ini. Tapi kini hanya 10-an lagu saja yang bisa didaftarakan HAKI. Kendati begitu, jika terjadi pelanggaran dalam penggunaan lagu karya Ki Nartosabdo, pihaknya tidak akan melakukan upaya hukum.
“Saya melakukan perjanjian dengan ahli waris, tidak akan melakukan atau memperkarakan pelanggar hak cipta. Apalagi jika digunakan dalam acara campur sari ataupun nikahan, atau yang menghasilkan ekonomi sekalipun. Tidak akan kami kejar secara hukum. Hanya imbauan. Jadi tetap diperbolehkan menggunakan karyanya untuk berkreasi,” ungkapnya. (taf/ton/fgr/den/ida)