RADARSEMARANG.COM – Car Free Day (CFD) dan Pasar Tiban setiap Minggu pagi mulai bergeliat. Tak hanya di Kota Semarang, tapi juga di Batang, Kota Magelang, dan daerah lainnya. Kebijakan pelonggaran tempat-tempat keramaian mampu membangkitkan roda ekonomi masyarakat.
Di Kota Semarang, pasar tiban muncul di banyak lokasi. Di antaranya, di Jalan Ki Mangunsarkoro, Jalan WR Supratman, Jalan Pamularsih depan Kelenteng Sam Poo Kong, Taman Setiabudi Banyumanik, Jalan Gajah Raya depan Masjid Agung Jawa Tengah (MAJT), dan lainnya. Minggu (5/6) pagi kemarin, tempat-tempat tersebut dipenuhi pedagang dan pengunjung.
Di Jalan WR Supratman, di kanan-kiri jalan penuh pedagang. Mulai pertigaan Jalan Pamularsih hingga sepanjang kurang lebih 500 meter. Mulai pedagang makanan, minuman, pakaian, asesoris, peralatan rumah tangga, hingga permainan anak-anak.
“Alhamdulillah, pasar tiban di sini sudah boleh buka lagi. Kami bisa jualan lagi. Tentunya tetap menerapkan protokol kesehatan. Minimal pakai masker,” kata Ahmad, pedagang pakaian dalam.
Ahmad mengaku sehari-hari berjualan di Pasar Johar MAJT. Namun setiap minggu pagi, ia lebih memilih jualan di pasar tiban karena lebih ramai. “Di Johar sepi, banyak yang jualan serupa. Kalau minggu mremo di pasar tiban, lebih ramai. Jam 05.30 saya sudah berangkat dari rumah. Jualan di sini ya sampai jam 10.00,” ujarnya.
Sriyati, pengunjung asal Puspogiwang, Semarang Barat mengaku sudah lama tidak datang ke pasar tiban. Ia hendak membeli baju untuk anaknya. “Beli di sini bisa lebih murah asal bisa nawar. Ya, sekalian jalan-jalan. Ajak anak naik dokar,” akunya.
Pasar tiban juga terlihat di Taman Setiabudi, Banyumanik. Sejak subuh, pedagang sudah menggelar lapak di kanan-kiri jalan. Pasar tiban ini hanya ada setiap minggu pagi. Selama pandemi, sempat vakum.
Sementara itu, Car Free Day (CFD) di Kota Semarang belum dilaksanakan penuh. Jalan Pahlawan, Simpang Lima, dan Jalan Pemuda yang sebelum pandemi Covid-19 selalu digelar CFD, Minggu (5/6) kemarin, masih dibiarkan kendaraan berlalu lalang tanpa penutupan.
CFD hanya diberlakukan di Jalan Imam Bardjo. Mulai patung Diponegoro hingga gerbang masuk Undip dipenuhi ratusan stan makanan ringan hingga menu sarapan pagi berjajar di kedua jalur. Selama CFD berlangsung, akses kendaraan di jalan tersebut ditutup sementara
Untuk stan UMKM yang menjual pakaian dan aksesori cenderung terpusat di kawasan Taman Indonesia Kaya Jalan Menteri Supeno. Namun di kawasan ini, kendaraan bermotor masih dibiarkan melintas.
“Bagus kalau CFD seperti ini, potensi ekonomi terangkat, tapi akses ke Simpang Lima tetap kondusif,” ujar Theresia Tarigan, pengamat tranportasi sekaligus pendiri Koalisi Pejalan Kaki Semarang (KPKS).
Sutan Pasaribu kemarin datang ke Simpang Lima bersama ayahnya, lansia mantan jaksa di Semarang. Ia mengaku mencari hiburan pada CFD. Lalu mendapati komunitas milik umat Kristiani bernyanyi lagu-lagu sukacita.
“Ayah saya dengar nyanyian ini, langsung minta mendekat, merasa mendapat ketenangan katanya,” ungkap Sutan.
Komunitas tanpa nama itu berbagi jajanan kepada semua pengunjung yang melintas di Lapangan Simpang Lima. Menurutnya itu, sebagai wujud syukur lantaran masyarakat dapat beraktivitas kembali seperti sebelum pandemi.
Tharesia mengusulkan ke depan CFD digelar di setiap kecamatan. Sehingga banyak warga yang bisa berjualan. Selain itu, bisa mengurangi kemacetan di tempat-tempat yang selama ini digelar CFD.
“Semarang kan sudah jadi kota wisata, jadi bagaimana kita bisa optimalkan ini. Misalnya, Undip ikut membuka kampus Pleburan untuk membantu masyarakat. Lalu akses transportasi ke CFD Simpang Lima dan pengadaan bus khusus tour ke lokasi utama wisata di Semarang. Jadi, bisa lebih menarik wisatawan luar kota,” katanya.
Di Kota Magelang, meski CFD setiap Minggu di kompleks Rindam IV/Diponegoro sudah ditutup sejak awal pandemi lalu, namun tidak untuk para pedagang tiban, yang selama ini menjadikan kawasan CFD sebagai tempat berjualan.
Agung Tri, salah satu pedagang mengatakan, adanya lapak ini bukan dalam rangka CFD, namun sudah memiliki nama baru, yakni Pasar Baru yang memiliki sistem berbeda dari CFD atau Sunmor.
“Kita sudah mulai buka awal Februari lalu dengan nama Pasar Baru. Kalau CFD masih diliburkan sejak 13 Maret 2020 lalu karena pandemi Covid-19,” katanya saat ditemui di lapaknya, Minggu (5/6).
Agung menambahkan, Pasar Baru ini berbeda dari Sunmor atau CFD. Kalau istilah CFD/Sunmor tidak diperbolehkan selama pandemi, tetapi tidak ada larangan bagi para pedagang di pasar.
“Waktu buka kita lebih lama dari jam 06.00 sampai 11.30, sedangkan saat CFD hanya sampai jam 10.00. Dari petugas juga beda, kalau CFD ada dari Satpol PP, Polisi, dan Dishub. Sementara Pasar Baru petugasnya hanya dari pihak Rindam saja,” jelasnya.
Agung menyebutkan, lokasi jualan saat Pasar Baru dibatasi hanya di sepanjang sungai saja. Hal ini bertujuan agar tidak terjadi kerumunan dan mensterilkan lapangan dari pengunjung. Selain itu, untuk lalu lintas masih berjalan normal atau tidak ada penutupan jalan.
“Jumlah pedagang juga terbatas. Pedagang yang absen tiga kali berturut-turut akan dikosongkan dan diganti lapak yang baru. Ukuran lapak 2 meter, tapi yang untuk jualan hanya 1,5 meter, sedangkan sisanya untuk jaga jarak dengan lapak lainnya,” jelasnya.
Tanti, pedagang di Pasar Baru mengaku dirinya sudah bisa berjualan di kawasan Rindam IV/Magelang setiap Minggu pagi. Jumlah pedagang terbatas dan wajib menerapkan protokol kesehatan dengan tetap memakai masker selama berjualan.
Ihsan, salah satu pengunjung mengatakan, lokasi Pasar Baru ini dinilai lebih strategis dari CFD. Karena memanjang hanya di sepanjang sungai saja. Menurutnya, itu tidak terlalu berkerumun. Ia mengaku cuma tidak enaknya karena ada kendaraan bermotor yang lalu-lalang, sehingga tidak bebas saat melihat apa yang dijual di sini. “Soal berkerumun mungkin tidak terlalu, tapi ada rasa khawatir juga kalau pengunjungnya terlalu padat,” ungkapnya.
Kliwonan Pertama sejak Pandemi
Kliwonan alias Car Free Night di Alun-alun Batang kembali dibuka setelah dua tahun vakum akibat pandemi. Pelonggaran kegiatan di Alun-alun Batang dilakukan sejak 17 Mei 2022. Saat Presiden Joko Widodo mengeluarkan kebijakan pelonggaran.
Setelah itu, gelaran Kliwonan kali pertama digelar Kamis (2/6) lalu bertepatan pada malam Jumat Kliwon dalam kalender Jawa. Seperti namanya, tradisi Kliwonan itu digelar setiap malam Jumat Kliwon. Car Free Night ala Batang itu selalu ramai dikunjungi warga dan para pedagang. Pada malam itu digelar pasar malam. Warga dari berbagai kecamatan bahkan dari luar Batang banyak yang datang untuk mengunjunginya.
“Saya mempersilakan masyarakat Kabupaten Batang jika memang akan menggelar kembali Tradisi Kliwonan yang sudah terhenti dua tahun ini. Pelonggaran ini dimulai sejak 17 Mei 2022, namun tetap ada pembatasan,” ujar Kepala Dinas Perindustrian, Perdagangan, Koperasi dan UKM (Disperindagkop UKM) Kabupaten Batang Subiyanto kepada RADARSEMARANG.COM di kantornya.
Ia menegaskan, pemkab Batang tidak punya kewenangan membuka Kliwonan secara resmi. Hal itu karena Kliwonan bagian dari tradisi. Meski demikian, sejak pandemi Covid-19 melanda, pihaknya tidak memperbolehkan tradisi itu digelar. Pertimbangannya adalah kerumunan yang ditimbulkan.
Wartawan koran ini memantau berlangsungnya Kliwonan kali pertama pasca pandemi. Beberapa pedagang sudah mempersiapkan lapaknya sejak pagi. Sekitar pukul 16.00, warga sudah mulai memadati alun-alun. Beberapa komunitas penghobi olahraga juga menjadikannya sebagai ajang pamer skill. Seperti skateboard dan sepatu roda.
Alun-alun pun penuh dengan pedagang dan penjual jasa. Seperti mewarnai gambar, permainan, mobil mainan untuk anak, skuter listrik, sampai kereta kencana. Saat Kliwonan, seluruh warga yang datang ngalap berkah. Banyak pedagang baik yang berasal dari Batang maupun dari luar kota percaya berjualan di pasar malam Kliwonan akan mendatangkan berkah dan rezeki tersendiri.
“Di Tradisi Kliwonan ini dibatasi 75 persen pedagang yang boleh berjualan. Sedangkan jam bukanya sampai jam 22.00 sudah harus selesai. Peraturan ini mengacu pada PPKM Kabupaten Batang yang masih Level 2,” jelas Subiyanto.
Ia juga menginginkan agar masyarakat tetap mematuhi protokol kesehatan. Memakai masker meskipun di luar ruangan karena adanya kerumunan. Namun di lokasi, warga yang datang ada yang patuh menggunakan masker. Juga ada yang tidak menggunakan sama sekali.
“Salah satu alasan mengapa dilaksanakannya tradisi Kliwonan karena pada hari tersebut Bahurekso bertapa untuk mendapakan kekuatan, sehingga para keturunannya mempercayai bahwa hari tersebut merupakan hari yang keramat,” katanya. (taf/rfk/yan/aro)
