RADARSEMARANG.COM – Banyak yang tak menyangka, dari hobi justru menjadi profesi yang menghasilkan cuan. Tapi hobi yang menjadi profesi, justru menghasilkan karya luar biasa dan profesionalitas tanpa batas. Sebagaimana para penghobi fotografi, yang akhirnya menjadikannya profesi utama.
Bagi Thoyib, hobi bukanlah sebatas hiburan di waktu luang. Selain melakukan kegiatan yang ia sukai, ternyata hobi bisa dikonversi menjadi uang. Fotografi mendesak sebagian besar waktu kesehariannya, sehingga dengan senang hati ia tinggalkan pekerjaan pabrik.
“Awalnya nggak nyangka saja menjadi fotografer. Dari sekedar hobi, malah menjadi profesi,” katanya kepada RADARSEMARANG.COM saat nge-job di Stadion Citarum, Bugangan, Semarang.
Bapak dua anak itu dulunya adalah pekerja pabrik. Saat punya waktu luang, ia gunakan untuk bermain sepak bola bersama rekan satu tim. Kemudian muncul ketertarikan memotret, saat timnya bermain. Akhirnya menjadi hobi. “Saya kan mengelola Instagram tim. Ternyata karya saya diapresiasi dan dilirik,” ujarnya.
Awal memotret, Thoyib mengaku sama sekali tak punya kamera. Ia memanfaatkan kamera temannya dan belajar secara otodidak. Selain itu juga mencuri ilmu dari rekan yang sudah berpengalaman di bidang fotografi. Keinginan memiliki peralatan sendiri pun semakin menguat untuk totalitas terjun ke dunia fotografi. “Sungkan kalau pinjam terus. Meskipun pada saat itu belum menghasilkan cuan,” tuturnya.
Terhitung, Thoyib memulai karirnya sebagai fotografer di tahun 2018. Kala itu jumlah fotografer belum sebanyak sekarang. Pengalaman job pertamanya di Lapangan Akpol Semarang. Saat itu lawan timnya dari Persetama Mranggen. Ia sempat ragu. Antara berani atau tidak. Sebab, ia merasa belum mumpuni dan berpengalaman menjadi fotografer.
“Saya nggak berani mematok harga. Kalau bagus silahkan mau dibayar berapa, kalau hasilnya jelek cukup untuk latihan saja,” akunya.
Kenyataan berbanding terbalik dengan ekspektasinya. Kliennya justru merasa puas dengan hasilnya. Sejak saat itu, ia selalu diajak dan dipercaya mengabadikan momen pertandingan sepak bola.
Modal peralatan menjadi fotografer tidaklah murah. Sampai saat ini Thoyib mengaku sudah ganti kamera sampai lima kali. Sebab harus upgrade peralatan untuk memenuhi tuntutan dan kebutuhan pekerjaan.
Ia paham betul, jika skill fotografer tidak diimbangi dengan alat yang memadai, hasilnya juga kurang maksimal. “Saya pakai kamera full frame. Second saja Rp 15,5 juta. Kalau baru Rp 25 juta. Lensanya Sigma Rp 16 juta,” terangnya.
Menurutnya, prospek profesi fotografer di Semarang bagus. Sebab, perkembangan sepak bola dari masa ke masa meningkat drastis. Bahkan, pandemi Covid-19 yang sempat melumpuhkan perekonomian, justru membawa berkah bagi fotografer bola. “Sejak pandemi job malah semakin meningkat,” jelasnya.
Bagi Thoyib, pendapatan menjadi fotografer terbilang cukup untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Sekali nge-job biasanya dua jam. Tarifnya Rp 300 ribu per dua fotografer. Jika hanya satu fotografer, tarifnya lebih yaitu Rp 400 ribu. Jika dikalkulasi, rata-rata satu bulan setidaknya ada 25 tawaran job. “Biasanya weekend itu ramai. Rekor saya pernah nge-job 16 jam sehari,” imbuhnya.
Ia juga sering menerima job dari luar kota. Mulai dari Malang, Bogor, Pati, dan kota lainnya. Paling jauh dirinya pernah nge-job di Jakarta menemani event komunitas Jersey Semarang. “Jumlah foto berkisar antara 800-1.000 foto. Tergantung permainannya, kalau penguasaan bolanya sedikit paling hanya 400 foto,” jelasnya.
Diakuinya, hal tersulit menjadi fotografer adalah saat cuaca ekstrem. Terutama saat hujan lebat dan panas terik. Apalagi kondisi lapangan separuh panas dan separuh teduh. Ia kesulitan untuk mengatur settingan kamera. “Mau di-setting panas yang adem gak kelihatan. Kemudian proses editing–nya juga lumayan lama, prosesnya bertahap,” bebernya.
Baginya, menjadi fotografer bola adalah karunia. Tak hanya rezeki berupa uang. Relasi teman dan saudara semakin bertambah. “Intinya humble saja sih. Enak diajak bercanda,” pungkasnya. (cr3/ida)