RADARSEMARANG.COM – Raden Ajeng Kartini adalah penembus batas-batas luar biasa. Dari tempat terpencil Jepara yang jauh dari hiruk pikuk perdaban, Kartini menjadi sumber pencerah bagi perempuan tanah air. RA Kartini berhasil menembus batas-batas peradaban, melenyapkan sekat budaya yang menganggap perempuan sebagai konco wingking. Membuka dan melebarkan akses perempuan, menjelma menjadi insan terdidik.
Sosok RA Kartini bukan seperti perempuan pada umumnya. Ia punya kelebihan dalam mengenal ilmu pengetahuan. Membaca, memahami, dan merenungkan sebagai kerangka berpikir. Bahkan merefleksikan dan mewujudkan dalam aksi atau tindakan. Meski kenyataan pahit di masa itu, perempuan dilarang sekolah. Dengan tekad kuat, RA Kartini melalui semangat emansipasinya mendobrak batasan itu.
“Itulah yang terbesit dalam pikiran saya terhadap sosok emansipator RA Kartini. Rasa kagum menyelimuti ketika membaca karyanya,” kata Kepala Ombudsman RI Perwakilan Jateng Siti Farida di kantor Ombudsman Jateng, Jalan Siwalan, Wonodri, Kota Semarang, Rabu (19/4).
Spirit itulah yang kemudian digenggam erat Farida –sapaan akrabnya. Perempuan dan laki-laki setara, mempunyai hak yang sama. Khususnya dalam konteks kemanusiaan. Keteladanan terhadap sosok RA Kartini membuatnya terus melangkah maju. Meraih pendidikan setinggi-tingginya, hingga mengantarkannya menjadi kepala Ombudsman RI Perwakilan Provinsi Jateng. “Karya fenomenal Habis Gelap Terbitlah Terang itu menjadi tonggak kesadaran perempuan. Yang memicu lahirnya emansipasi perempuan. Intinya bangkit, sadar, dan bergerak,” ucapnya.
Tak peduli asal muasal seseorang. Selama punya kesadaran dan keinginan untuk bangkit, kesuksesan bisa diraih. Kesadaran ilmu dan pendidikan bisa didapatkan oleh siapapun. Terlepas dari latar belakang sosial, ekonomi, bahkan gender. “Asalkan ada kemauan belajar. Tidak harus bangsawan atau privilege,” tuturnya. Saking besarnya kemauan RA Kartini memberdayakan perempuan, suaranya bahkan terdengar sampai Eropa.
Menurut Farida, peringatan Hari Kartini akan terus relevan. Spirit pemberdayaan perempuan oleh RA Kartini selalu dibutuhkan. Peringatan Hari Kartini selayaknya dilakukan tidak sebatas simbolis atau atribut fisik. Yang perlu dicatat adalah membangun kesadaran perempuan tentang kesetaraan gender. Selain itu, mendidik perempuan bagaiamana seharusnya berkarya. “Hal yang mendasar adalah semangat Kartini, kebebasan emansipasi, mencari ilmu, berkarya, dan bergerak,” tandasnya.
Gerakan perempuan, lanjutnya, harus terintegrasi dengan gerakan-gerakan lain. Jika dahulu ada gerakan kemerdekaan, maka ide emansipasi perempuan harus selaras dengan gerakan kebangsaan. Selain itu, gerakan perempuan juga harus menyatu dengan masalah konkrit di sekitarnya. Keprihatinan terhadap kaum perempuan saat ini masih berkutat pada persoalan kemiskinan dan kebodohan. “Bicara perempuan itu identik dengan kemiskinan. Ini karena, angka kemiskinan perempuan lebih banyak dibandingkan laki-laki,” terangnya.
Dari kondisi itulah, Siti Farida sadar betul kesadaran perempuan harus terus digaungkan. Terutama untuk meraih kesadaran otentik. Bagaimana menghapus stereotip masyarakat terhadap perempuan. Memandangnya sebagai kelas dua atau konco wingking. Diperlakukan secara tak sama. Ada dikotomi antara laki-laki dan perempuan. Yang memandang perempuan lebih rendah daripada laki-laki. “Mungkin kalau tidak ada RA Kartini, kita masih berpikir bahwa perempuan adalah kelas dua. Hal itu dibenarkan oleh budaya, tafsir agama, bahkan lembaga pemerintah,” tuturnya.
Siti Farida menambahkan, sebagai perempuan harus mendapatkan akses pendidikan yang lebih baik. Sehingga mendapatkan pekerjaan yang layak. Bisa mencerahkan, menyadarkan, dan memberdayakan diri sendiri hingga orang lain. Kemampuan berjejaring dengan berbagai pihak juga harus dimiliki. “Harus ada gerakan perempuan untuk keadilan perempuan,” imbuhnya.
Menurutnya, Kartini masa kini adalah mereka yang bisa keluar dari lingkaran kemiskinan. Emansipasi akan tampak nyata jika perempuan berdaya. Jangan sampai menjadi lemah dan terjerumus ke lubang kemiskinan. “Kalau kita lemah dan miskin mau bagaimana?” pungkasnya. (cr3/ida)