27 C
Semarang
Friday, 20 June 2025

Motoran Keliling Gua Maria bersama Umat

Kisah-Kisah Para Pelayan Tuhan

Artikel Lain

RADARSEMARANG.COM – Menjadi pastor dalam lingkungan gereja Katolik bukanlah perjalanan mudah. Pendidikan bertahun-tahun harus ditempuh. Dalam agama Katolik, menjadi pastor berarti harus hidup dalam kesederhanaan, ketaatan dalam Tuhan, dan selibat, yaitu menyerahkan seluruh hidupnya untuk melayani Tuhan. Berbagai pengalaman didapat dalam perjalanan menjadi pelayan Tuhan.

Penyerahan diri ini bukanlah suatu tindakan mudah. Bukan hanya dibutuhkan keputusan bulat, iman pun harus kuat. Bahkan dalam menjalani pendidikan sampai menjadi pastor, pastinya ada banyak tantangan yang harus dihadapi. Tantangan bisa datang dari mana saja. Dukungan keluarga pun tak kalah pentingnya. Tak ayal, banyak juga yang berhenti di tengah jalan.

Romo Juned Triatmo Pr., salah satu pastor yang ditugaskan di Gereja Kristus Raja Ungaran. Mulus. “Namanya melayani tentu tidak mudah. Apalagi zaman juga terus berkembang. Ini tidak boleh ditolak,” ungkapnya saat ditemui di Gereja Katolik St Yakobus Zebedeus Pudak Payung, Kota Semarang.

Lika-liku perjalanan sebagai pelayan Tuhan sudah ditempuhnya masuk ke tahun 23. Pedalaman Kalimantan pernah menjadi tempat tugasnya. Umat Katolik di sana tidak seminggu sekali ke gereja untuk mengikuti misa. Butuh waktu 60 hari untuk mendapat jatah misa. Berbeda dengan daerah kota, misa bisa dilaksanakan seminggu sekali. Bukan karena tidak ada umat, karena memang lokasi gereja yang tidak mudah dilalui. “Dulu kalau di pedalaman saya ketemunya babi. Sampai hafal kapan dia berangkat dan pulang ketika mencari makan. Tentu berbeda dengan kota. Umat di kota pergi ke gereja untuk penghiburan karena selama enam hari bekerja, tetapi orang pedesaan pergi ke gereja karena kerinduan. Apalagi ketika Paskah suasana berbeda,” ceritanya.

Siapa sangka pastor kebanggaan umat Kristus Raja Ungaran ini ketika memutuskan panggilan jiwa menjadi pastor, tidak direstui keluarga. Anak ketiga dari empat bersaudara ini sejak kecil memang sudah mendambakan perjalanan menjadi pastor. Karena kegigihan dan keinginan mulianya untuk menjadi gembala, Romo Juned melakukan berbagai cara untuk mendapat restu dari keluarganya.

Adanya pandemi tentunya membuat Paskah sedikit berbeda. Namun menurut Romo Juned, Paskah kali kedua di pandemi tidak menjadi penghalang. Hal tersebut karena kecanggihan teknologi. Dari jarak jauh pun tetap bisa mengikuti kegiatan Tri Hari Suci.

Ia juga mengatakan, umat sudah terbiasa dengan peraturan yang diberikan oleh pemerintah. Pastor asal Solo tersebut pun menceritakan, adanya pandemi membuatnya dan kaum muda di paroki Kristus Raja Ungaran menjadi lebih produktif. “Kami justru bikin konten, podcast, saya juga membuka kelas. Memang saat itu ketika gereja harus tutup karena wabah corona. Tetapi ada buah kasih dari Tuhan dari kejadian pandemi,” jelasnya.

Pastor kelahiran 1970 memiliki gaya nyentrik dengan motor Tiger di usianya tentunya tidak muda. Ternyata motor kesayangan tersebut selalu digunakan untuk touring. Meski setiap harinya harus melayani umat, hobi touring motor tetap jalan. Tak jarang touring dilakukan bersama dengan umat Kristus Raja Ungaran. Baru-baru ini Romo Juned bersama umat Kristus Raja Ungaran mengelilingi Gua Maria yang ada di Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta. “Besok Senin (18/4) kita gas ke Bali motoran. Tujuh hari, Sabtu baru dari sana. Ada 14 motor,” celetuknya dengan senyum.

 

Kesepian Jiwa Memicu Perbuatan Tercela

Bersyukur adalah kesan pertama kali usai Herman Yoseph Singgih Sutoro ditahbiskan sebagai romo pada 2007. Kala itu ia berusia 27 tahun. Dengan segala keterbatasan, Romo Herman diperkenankan dan dipanggil menjadi imam pelayan Tuhan dan umat.

Dengan segala kerendahan hati, Romo Herman merasa tak punya kelebihan yang istimewa. Menganggap pribadi yang umum, rata-rata, dan tidak ada yang bisa ditonjolkan. Namun semangat pengabdian dan keikhlasan, mengantarkannya menjadi Romo pelayan Tuhan. “Kondisi semacam ini, perasaan syukur yang lebih kuat,” katanya kepada Jawa Pos Radar Semarang di Gereja Katedral Santa Perawan Maria Ratu Rosario Suci Semarang Rabu (13/4).

Keinginan menjadi seorang romo muncul sejak kecil. Dalam perjalanannya, sempat terjadi pergulatan batin. Keraguan menghampiri untuk memutuskan menjadi imam Katolik. Namun, karena sudah terjun dan terlibat aktif dalam kegiatan gereja, keteguhan hati muncul melenyapkan keraguan.

Motivasi itulah, menumbuhkan keinginan untuk mengabdikan seluruh hidupnya dalam pelayanan umat. “Waktu itu saat Kamis Putih saya menjadi peraga rasul saat pembasuhan pagi. Di hadapan sakramen maha kudus dalam doa itu. Saat itulah semakin terpanggil,” ucapnya.

Dorongan semakin kuat, lantas Romo Herman membulatkan tekad untuk berproses masuk pendidikan seminari. Setelah selesai SMA, lalu masuk pendidikan Seminari Menengah di Mertoyudan, Magelang. Cukup hanya satu tahun, lalu melanjutkan ke Seminari Tinggi Yogyakarta. Di sana, ia menghabiskan waktu selama tujuh tahun.

Setelah melewati masa pembaptisan sebagai romo, sempat ditugaskan di beberapa gereja-gereja. Hal di luar dugaan pernah dialami Romo Herman semasa tugas. Salah satunya tatkala ditunjuk sebagai pastor paroki di Bantul, Yogyakarta. Padahal masih menjadi pastor muda. Belum genap lima tahun pascapembaptisan. Ia juga pernah mengenyam pendidikan Orientasi Rohani Sanjaya, Jambe, Semarang. Saat ini menjadi Pastor Paroki Katedral Santa Perawan Maria Ratu Rosario Suci Semarang.

Baginya, terlalu muda untuk menjadi pemimpin atas sebuah paroki. Dibanding dengan pastor lainnya, Romo Herman paling muda. Padahal seusia pastor muda masih minim pengalaman. Biasanya pastor muda diberikan mandat menjadi wakil pastor paroki. “Di usia itu saya sudah ditunjuk menjadi pastor paroki di Ganjuran dengan segala kompleksitasnya,” tuturnya.

Menurutnya tantangan di Gereja Katolik Hati Kudus Tuhan Yesus, Ganjuran tergolong besar. Melayani paroki yang sangat besar. Ada tempat ziarah yang dikenal oleh banyak umat. Selain itu agenda-agenda besar juga sering dilaksanakan.

Selama menjadi Romo, ia merasakan berbagai tantangan. Baik dari internal maupun eksternal. Menurutnya tantangan yang muncul dari pribadi adalah perasaan kesepian. Kesepian yang dimaksud bukan karena sendiri ataupun dalam kondisi sunyi. Namun perasaan yang diliputi oleh kekosongan dan kegersangan hati. “Kesepian menantang orang tergoda untuk melakukan hal tercela. Kita harus mengalahkan rasa itu supaya tidak larut dalam keburukan dan menjauh dari tugas dan tanggung jawab,” terangnya.

Menurut Romo Herman, kondisi hampa atau kosong teerkadang menggoda manusia untuk jauh dari tugas dan tanggung jawab. Keadaan tersebut membuat manusia jauh dari tuhan. Hal itu wajar dialami dalam kehidupan rohani yang biasa disebut dengan disolas atau kesepian. Berbeda dengan perasaan yang diliputi ketenangan. Hal itu termasuk rahmat. Sebab, membawa manusia lebih dekat dengan tuhan. “Bisa saja di tengah keramaian justru seseorang mengalami kesepian,” jelasnya.

Ia melanjutkan, tantangan eksternal yang sering dijumpai justru berbentuk hal-hal yang menyenangkan. Dalam melayani umat, akan dihadapkan kepada golongan mampu dan tidak mampu. Apakah lebih senang memberikan pelayanan kepada orang yang mampu saja. Lantas mengabaikan yang tidak mampu. “Sebagai pelayan tuhan dan umat, tidak boleh membeda-bedakan status sosial. Siapapun berhak mendapatkan pelayanan yang sama,” tandasnya.

Romo Herman paham betul akan tugas menjadi imam Katolik. Setidaknya ada tiga. Sebagai imam, nabi, dan raja. Tugas sebagai imam adalah mengambil peran pengkudusan dan pelayanan rohani. Memimpin ibadah dan doa. Kemudian sebagai nabi yang bertugas mengajar dan memberi kesaksian tentang Allah, kebenaran, kebaikan moral, dan iman. Sedangkan tugas sebagai raja merupakan kepemimpinan. Menjadi pemersatu umat dari berbagai kalangan. (ria/cr3/ton)


Artikel Terkait

Sementara Itu ..

Terbaru

Populer

Menarik

Lainnya