RADARSEMARANG.COM – Merasakan Ramadan di negeri orang, tentu menjadi pengalaman menarik bagi mahasiswa asing. Meski rasa rindu keluarga yang jauh di seberang sana mendera. Namun masakan khas negaranya kerap menjadi obat.
Adalah Ayse Guner, salah satu mahasiswa asal Turki yang mengenyam pendidikan di Universitas Islam Negeri (UIN) Walisongo Semarang. Sudah tujuh tahun ia melewati bulan ramadan di Indonesia.
Awalnya ada berbagai kendala yang dirasakan, terutama bahasa, budaya, dan kondisi geografis. Untuk mengatasi kendala bahasa, ia kursus selama enam bulan dan banyak berkomunikasi dengan teman-temannya.
“Di sini cuacanya sangat panas. Saya tidak bisa lepas dari air conditioner (AC). Bahkan setahun awal di sini, saya tidak berani bermain keluar kecuali berkuliah,” jelasnya saat dihubungi RADARSEMARANG.COM.
Kendati begitu, Ayse – sapaan akrabnya- mengaku suka dengan suasana bulan Ramadan di Indonesia. Selain waktu puasa lebih singkat, makanan untuk berbuka puasa juga mudah ditemui. Hal yang paling ditunggu-tunggu oleh Ayse adalah buka dengan es kelapa muda.
“Di Turki puasanya 17 jam, saya sampai lapar banget. Kalau disini banyak ditemukan kelapa muda. Saya pasti buka dengan itu. Selain segar juga sehat,” katanya.
Saat ini, Ayse sedang menjalani kuliah S2, mengambil jurusan Manajemen Pendidikan Islam. Ia juga menyukai masakan Indonesia. Namun ia tidak menyukai makanan yang pedas.
Kegiatan selama Ramadan ia isi dengan pengajian bersama teman-temannya. Pandemi mengharuskan kegiatan dilakukan secara daring. Pengajian pun dilakukan melalui aplikasi zoom meeting.
“Ada salah satu teman yang membaca Alquran, lalu kami mengikuti dia. Ia juga membacakan tafsirnya, satu hari satu juz dan selesai dalam waktu 2 jam,” ceritanya.
Setelah itu, Ayse masak untuk iftar atau berbuka puasa. Tak jarang ia mengundang teman-temannya untuk buka bersama di rumahnya. Ia selalu menyajikan masakan Turki untuk iftar. Seperti Turkmen Pilavi, Salad, Biskuvili Pasta, Turkish Dumpling, dan Pogaca.
Wanita berusia 25 tahun ini mempunyai kebiasaan baru saat berbuka puasa di Indonesia. Ia tidak langsung makan besar. Ini berbeda dengan di Turki.
“Saat iftar di Indonesia orang-orang akan berbuka dengan minum air putih dan kurma. Lalu salat Maghrib. Setelah itu baru makan. Saat di Turki ketika berbuka, orang-orang akan langsung makan besar, setelah itu baru salat,” jelasnya.
Menurutnya, kebiasaan di Indonesia ini lebih baik. Selain bisa menikmati makanan dengan santai, kondisi perut juga tidak begah saat menunaikan salat. Kemudian kegiatannya yang lain adalah salat tarawih dan tadarus Alquran.
Setelah lulus S1 Ayse menikah dan tinggal bersama dengan suami. Kebiasaan lama di Turki yang tidak ditinggalkan adalah saat sahur ia tidak pernah makan nasi.
“Kami tidak makan nasi saat sahur. Tapi makan roti dengan minyak zaitun, keju, dan lainnya. Saat di Turki kami sudah terbiasa makan seperti itu,” akunya.
Teman-teman dan keluarganya selalu mendukung Ayse terhadap hal-hal baru yang baru ia ketahui. Namun ada rasa rindu terhadap keluarganya di Turki yang ia pendam dalam hati.
“Terakhir pulang ke Turki tahun 2018. Sebenarnya rindu untuk pulang dan berpuasa disana bersama dengan orangtua,” jelasnya. (cr4/ida)