RADARSEMARANG.COM – Teater Lima, nama kesenian teater di SMK Negeri (SMKN) 5 Kota Semarang. Bahkan sudah menjadi rumah para siswa yang tak sekedar melestarikan, namun telah cinta terhadap kesenian yang ada sejak zaman leluhur itu.
Banyak yang beranggapan seni teater telah digulung zaman. Terkesan kuno. Namun pernyataan itu tak berlaku bagi anak-anak Teater Lima. Justru, seni teater sekarang menjadi instrumen unjuk kreativitas dan keluhuran budaya yang kekinian.
Wadah para pecinta seni teater SMAN 5 Semarang itu sampai kini masih eksis. Meskipun telah menginjak usia lebih dari tiga dekade sejak berdiri tahun 1990. Ekstrakurikuler tersebut masih banyak diminati oleh siswa. Latihan pun rutin dilaksanakan. Meskipun pandemi Covid-19, tak menghentikan untuk terus menyiapkan pementasan dan mengukir prestasi.
Pembina Teater Lima Alfiyanto mengatakan, untuk sekelas pelajar, pementasan teater berorientasi untuk mendukung pembelajaran di sekolah. Seringkali mengangkat naskah bertema sosial yang mudah dipahami oleh siswa. “Misalnya kenakalan remaja, kemiskinan, dan perselisihan hubungan anak dengan orang tuanya,” katanya kepada Jawa Pos Radar Remarang Kamis (24/3).
Metode pelatihan yang dilakukan, tidak begitu ketat dan membosankan. Dikombinasikan dengan metode bermain riang gembira. Salah satunya dengan mencoba menyatukan latihan teater dengan materi outbond. Menurutnya, hal tersebut sarat dengan nilai kebersamaan, kepemimpinan, tanggung jawab, dan percaya diri. “Kalau dengan cara seperti itu kan anak tidak merasa terbebani,” tuturnya.
Melalui cara itulah, Alfi dengan mudah menyisipkan unsur-unsur dasar mengenai keaktoran kepada siswa. Sehingga para siswa benar-benar mendalami dan menikmati karya seni yang diciptakan melalui teater. “Di antaranya konsentrasi, ingatan, emosi, pembangunan watak, laku dramatik, observasi, dan irama,” imbuhnya.
Selain itu, ia juga berupaya menanamkan jiwa atau esensi dari teater itu sendiri yaitu “Satu tubuh satu rasa. Senang dan duka dipikul bersama.”
Teater kontemporer dipilih Alfi untuk pementasan di kalangan pelajar. Sebab, naskah yang bisa dipentaskan mempunyai durasi cukup pendek. Properti yang digunakan pun tidak terlalu real. Bisa juga memakai properti yang multifungsi. “Kursi bisa kami ganti dengan kotak atau level. Kain sebagai pengganti dinding atau penggambaran suatu tempat,” ucapnya.
Menanggapi seni teater yang dianggap kuno, dirinya tidak ambil pusing. Tidak peduli dengan penilaian negatif dari publik. Baginya seni teater adalah arena menciptakan kreativitas. Kalangan pelajar perlu diberi wadah untuk bisa menikmati permainan peran dan bisa menyampaikan pesan. “Boleh saja menyukai budaya baru atau pendatang, tapi jangan melupakan budaya yang ada di sekitar kita,” pungkasnya. (cr3/ida)