31 C
Semarang
Wednesday, 16 April 2025

Kisah Mahasiswi PTN di Semarang yang Jadi Pacar Sewaan saat Wisuda, Dibayar Rp 200 Ribu

Artikel Lain

RADARSEMARANG.COM – Wisuda adalah momen yang penting dan bersejarah bagi setiap mahasiswa. Pada hari itu, mereka membawa orang-orang spesial untuk merayakannya. Selain orang tua, saudara dan sahabat, yang tak pernah ketinggalan adalah teman dekat alias pacar.

Biasanya sang pacar menjadi pendamping foto usai wisuda. Saat itu, juga menjadi momen mengenalkan ke orang tua. Nah, bagaimana yang tidak punya pacar saat wisuda?

“Mana pendamping wisudanya?”

“Wisuda cuma ditemenin orang tua? Itu wisuda apa bagi rapor?”

Kata-kata tersebut kerap terlontar saat acara wisuda. Khususnya wisuda yang digelar dengan tatap muka di luar pandemi. Mungkin bagi mahasiswa yang terbiasa tidak punya pasangan, hal itu tak jadi masalah.

Tapi, bagi mereka yang baru putus atau sedang menjalani long distance relationship (LDR) atau bahkan baru saja ditinggal pasangan menikah, tentu bisa membuat resah, bahkan kurang percaya diri.

Rupanya kondisi tersebut menjadi peluang bisnis bagi para mahasiswi untuk menjadi pacar sewaan. Mereka siap menjadi pendamping pria yang menyewanya selama wisuda.

Mahasiswi sebuah Perguruan Tinggi Negeri (PTN) di Semarang berinisial SA, 22, mengaku beberapa kali menjadi pacar sewaan. Awalnya, ia iseng menemani kakak kelasnya yang diwisuda. Saat itu, ia diperlakukan layaknya sebagai pacar. Diajak foto bersama dengan keluarga temannya itu. Juga diajak makan gratis, foto selfie, dan memberikan kalungan bunga.

“Dari situ aku jadi penasaran. Dan, kebetulan ada kenalan kating (kakak tingkat) menawari jadi pacar sewaan. Pikir saya, sepertinya asyik dicoba. Akhirnya saya ambil aja,” cerita SA kepada RADARSEMARANG.COM.

Setiap menjadi pacar sewaan, SA mendapat bayaran Rp 200 ribu. Jumlah yang lumayan untuk ukuran mahasiswa dan anak kos. Tentu saja, sebelum menerima job itu, ia lebih dulu memberikan rambu-rambunya.

Misalnya, si penyewa hanya boleh menggandeng tangannya, tidak boleh memeluk, apalagi mencium. Sebaliknya, SA juga dituntut untuk acting meyakinkan layaknya sebagai pacar sungguhan. Termasuk harus percaya diri jika dikenalkan kepada orang tua penyewanya sebagai calon istri.

“Kalau dikenalin ya makdeg-makser ya, tapi lama-lama aku ya biasa. Kalau aku diminta cari muka di depan orang tua, ya bisa banget. Bermuka dua gitu ya, tapi kan ini pekerjaan saya. Ya, itu sudah jadi risiko sebagai pacar sewaan,” jelas SA percaya diri.

SRM, 21, teman SA sesama mahasiswi sebuah PTN di Semarang juga memiliki pengalaman  menjadi pacar sewaan. Tarifnya rata-rata sama, Rp 200 ribu sekali menemani acara wisuda selama sehari. Tugasnya hanya duduk-duduk, berfoto bersama wisudawan, dan yang pasti dikenalkan ke keluarga wisudawan layaknya memperkenalkan calon istri. “Pokoknya harus pintar acting seperti pacar sungguhan,” katanya.

Meski sehari menjadi pacar, dia termasuk tidak gampang cinlok alias cinta lokasi. Memang ada beberapa pacar sewaan yang cinlok hingga jadi pacar beneran. “Saya bukan tipe wanita yang mudah cinlok,” ujar SRM.

Menurut dia, justru tidak jarang wisudawan yang menyewanya yang kelewat baper.  Si penyewa merasa nyaman selama didampingi pacar sewaan, padahal semua itu hanya sandiwara. “Ada yang sampai saat ini masih menghubungi saya. Tapi, saya nggak tertarik. Jadi, hanya teman saja, nggak sampai cinta-cinta gitu,” jelasnya.

SA menambahkan, selain dikenalkan ke keluarga, ada juga wisudawan yang sengaja menyewa pacar digunakan sebagai bentuk pembuktian kepada mantan pacar. Si penyewa ingin membuktikan bahwa dirinya sudah bisa bahagia dengan orang lain. “Jatuhnya sekalian kompor ya buat manas-manasin mantan,” ujar SA sambil tersenyum.

Dara asli Demak ini mengaku menjadi pacar sewaan bagi wisudawan ini tak diketahui keluarganya. Ia juga selalu mewanti-wanti kepada penyewanya untuk tidak koar-koar ke orang lain. Sebab, jika sampai orang tuanya tahu, bisa jadi masalah. “Kalau keluarga jelas nggak tahu, mereka cuma tahu saya kuliah,” ungkapnya.

Termasuk kedok sebagai pacar sewaan juga dirahasiakan kepada teman-temannya kuliah.  SA tak menampik terkadang takut dan khawatir, apalagi jika ada teman kelas atau satu daerah mengetahui dan bahkan melihatnya tiba-tiba menngandeng wisudawan.

“Kalau teman-teman saya sih soal pekerjaan ini nggak tahu. Jika pas perayaan wisuda kebetulan ketemu, saya cuma bilang ini pacar saya,” ujar DFK, 20, mahasiswi yang jadi pacar sewaan.

Pengalaman ketiganya saat menjadi pendamping sewaan pun macam-macam. SRM misalnya. Ia mengaku pernah mendapatkan wisudawan yang nakal atau jahil. Bahkan, wisudawan tersebut hendak menciumnya. Padahal dalam perjanjian sebelumnya mereka sepakat tidak ada ciuman.

“Pas itu aku sudah bilang kontak fisik cuma gandengan aja. Tapi dia malah nyosor gitu, akhirnya aku bilangin dia, jangan kayak gitu,” ungkap SRM.

Kini, selama pandemi Covid, wisuda dijalankan secara daring. Praktis, pekerjaan sebagai pacar sewaan berhenti. Baik SA dan DFK kini juga sudah memiliki pacar beneran. Sedangkan SRM masih betah menjomblo.

SA dan DFK mengakui, pacarnya sekarang tidak tahu kalau dulu keduanya pernah bekerja sampingan sebagai pacar sewaan. “Iya nggak tahu. Mudah-mudahan nggak ada yang membocorkan,” kata SA.

Ada Pembohongan, Tidak Sehat

Setiap orang tua biasanya menginginkan anaknya menjadi sarjana lengkap dengan calon pendampingnya. Apalagi anak tunggal. Hal ini yang membuat para mahasiswa yang akan wisuda berburu pasangan untuk ditunjukkan ke orang tuanya. Termasuk yang belum punya, mereka ada yang sampai mencari pacar sewaan.

“Sebenarnya persewaan itu kalau jujur sama orang tua tidak apa-apa. Tapi ini kan nggak jujur. Berarti ada pembohongan di sana, dan tidak sehat,” kata psikolog Probowatie Tjondronegoro kepada RADARSEMARANG.COM.

Dikatakan, ada sisi positif dan negatif praktik pacar sewaan ini. Positifnya bisa menaikkan prestise, harga diri, pride, dan lain-lain dari si wisudawan. Tapi, sisi negatifnya, ada kebohongan di sana.

“Tapi kalau memang ada kejujuran, dan mahasiswi yang disewa itu memang membutuhkan uang misalnya. Jadi, sama-sama saling menolong. Si mahasiswi menolong yang wisuda. Yang wisuda menolong si mahasiswi yang disewa. Jadi, saling take and give, bagus itu. Tapi kalau itu buat membohongi, ya niat awal sudah nggak bener,” tegasnya.

Menurutnya, sesuatu yang diawali dari kebohongan, maka berikutnya akan diikuti kebohongan lainnya. “Dari sisi psikologis, adanya pacar sewaan itu bisa untuk kebanggaan. Prestise. Tapi, kalau itu bentuk kebohongan, maka kebohongan pertama akan diikuti kebohongan selanjutnya,” katanya.

Idealnya, lanjut dia, anak zaman sekarang harus jujur. Kalau memang wisuda pengin punya pendamping ya harus mencari pacar yang jelas. “Tapi ingat, punya pacar belum tentu akan menikah. Masa pacaran adalah masa penyesuaian,” ujarnya. (mg3/aro)


Artikel Terkait

Sementara Itu ..

Terbaru

Populer

Menarik

Lainnya