RADARSEMARANG.COM – Sekarang ini penerjemah bahasa isyarat atau juru bahasa isyarat banyak digunakan oleh instansi. Salah satunya adalah Stevanus Ming, kemampuannya menguasai bahasa isyarat untuk membantu para kaum difabel dalam mendapatkan informasi.
Paling sering, jasa Stevanus Ming digunakan di Kepolisian baik Polda Jateng maupun Polrestabes Semarang dalam berbagai kegiatan. Termasuk saat menyampaikan press release. Laki-laki yang selalu tampil rapi dengan kemeja dan celana warna hitam ini, langsung memperagakan gerak bibir dengan kedua tangannya, menerjemahkan kata-kata dari para narasumber.
“Iya, saya sering diundang di Polda Jateng dan Polrestabes Semarang sebagai juru bahasa isyarat atau penerjemah mulai tahun 2021 ini. Tak hanya itu, Dinas Sosial (Dinsos), Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham), ya instansi pemerintahan baik Jateng maupun tingkat Kota Semarang,” tutur laki-laki yang disapa Koh Aming kepada RADARSEMARANG.COM Sabtu (27/11) kemarin.
Bahkan Koh Aming mengaku kerap diperbantukan sebagai penerjemah hingga ke berbagai kota. Mulai Tegal, Brebes, Pemalang, Yogyakarta, Kendal, Pekalongan, Pati, dan Jepara. “Ya hampir sebagian di wilayah Jawa Tengah. Penerjemah bahasa isyarat ini tujuannya untuk menyampaikan informasi kepada teman-teman disabilitas tuli,” katanya.
Pria kelahiran Surabaya, 27 Agustus 1980 ini mengaku awalnya tak terbersit dalam benaknya untuk menjadi penerjemah. Justru keahliannya ini bermula saat menjalin hubungan rumah tangga dengan istrinya, yang akrab dipanggil Bebe, warga Sidoarjo.
“Awalnya, bukan terinspirasi. Karena memang istri saya tuli sejak lahir, jadi saya wajib belajar sejak tahun 2013. Jadi tahun 2013 itu masih mengenal (belajar) dulu, latihan di depan cermin itu sekitaran satu jam setiap hari,” bebernya.
Belajar yang dilakukan juga terhadap sesama anggota komunitas tuna rungu yang tergabung di Gerakan Kesejahteraan Tuna Rungu Indonesia (Gerkatin) Kota Semarang. Lokasi sekretariatnya berada di Jalan Tentara Pelajar, Semarang. “Dibilang susah tidak ya. Asal mau terus berlatih, di depan cermin. Kalau kesulitan belajar, mungkin masalah waktu,” katanya.
Bahasa isyarat hanya mengandalkan gerakan, tangan, bibir, dan ekspresi wajah dijadikan satu. Ada huruf A sampai Z. Kalau sudah ada kata-kata yang terbentuk dalam kosa katanya dalam bentuk kata isyarat, tinggal mengikuti kosa kata yang sudah ada.
Menurutnya, mulai lancar dan aktif dalam memahami bahasa isyarat sekitaran tahun 2017. Keberhasilan ini, juga berkat dukungan istrinya, yang aktif berkomunikasi setiap hari. Komunikasi ini juga bertujuan saling menjaga kepercayaan dalam berumah tangga.
“Baru bisa lancar ya tergantung jam terbang. Kendala di lapangan, ya kalau ketemu dengan pembicara ngomongnya cepat, biasanya masalahnya disitu. Ini saya pun masih terus proses belajar,” ujarnya.
Aming menegaskan, keahliannya yang dipergunakan oleh berbagai instansi bukanlah job. Melainkan hanya sebatas jasa, untuk membantu para kaum disabilitas utamanya yang tuli. “Kategorinya relawan, masih belum profesi, hanya pelayanan. Ya paling seminggu tiga kali, tidak tentu. Kalau honor sukarelawan, tidak pernah memasang tarif,” katanya.
Suka duka dalam menjadi pelayanan bahasa isyarat, kata Koh Aming, terkadang dianggap memanfaatkan mereka yang menyandang disabilitas tuli. Keahliannya tersebut dianggap untuk mencari uang. “Kita sendiri kan sebenarnya tidak minta biaya. Tapi dari pengguna jasa memberikan biaya. Kalau dari saya pribadi, saya itungannya sama yang di atas,” katanya.
Menurutnya, untuk bisa menjadi pelayanan penerjemah bahasa isyarat juga tidak mudah. Sebab, harus menguasai juga bahasa internasional. Sedangkan Aming sendiri, paling tidak menguasai bahasa Inggris dan bahasa Mandarin. “Biasanya pakai bahasa Indonesia. Kalau pakai bahasa asing, harus diterjemahkan, dari saya sendiri. Jadi bahasa asing saya terjemahkan ke bahasa Indonesia. Jadi harus menguasai bahasa,” jelasnya.
Perbanyak Juru Bahasa Isyarat
Menanggapi masih adanya kaum disabilitas tuli yang belum memahami bahasa isyarat, berbanding lurus dengan pendidikan.
Tidak semua penyandang disabilitas tuli mengenyam pendidikan akademik di SLB atau sekolah sekolah umum. Banyak yang tidak mendapatkan materi bahasa isyarat.
Koh Aming mengaku pernah menemui kasus itu di Meteseh. Ada penyandang disabilitas hingga usia 23 tahun tidak mengerti bahasa Isyarat. “Saya mengatasinya, dengan menyampaikan kepada orangtuanya untuk sabar menghadapi anaknya. Terus harus dilatih, dipaksa menulis, dan mengenal abjad dulu. Setelah itu masuk bahasa isyarat dulu,” katanya.
Koh Aming mengaku sebatas memberikan konsultasi. “Seperti kasus kemarin di Grobogan, datang minta ketemu konsultasi ke saya, bagaimana cara mengatasi anaknya yang tuli,” sambungnya.
Aming juga menyampaikan, di Jawa Tengah belum banyak penerjemah bahasa isyarat dan masih minim. Menurutnya, berbeda dengan di Jakarta, dimana-mana sudah tersebar. Meski demikian, pihaknya menyebutkan informasi yang didapat dari teman-teman tuli di Jakarta baru kisaran sekitaran 30 orang.
“Kalau di Semarang yang sudah di Gerkatin 120-an orang. Kalau yang tidak tergabung seperti anak-anak SLB, masih remaja, ya kalau di total kisaran 500 orang. Inginnya ya diperbanyak jumlah JBI (Juru Bahasa Isyarat)-nya. Kalau sekarang ini ya masih minim, dua, tiga orang,” pungkasnya. (mha/ida)