RADARSEMARANG.COM, Semarang – Pondok pesantren (ponpes) yang membekali santrinya skill berbisnis belum banyak. Padahal saat ini sudah menjadi tuntutan seorang santri memiliki jiwa berwirausaha alias santripreneur.
Salah satu ponpes yang mencetak santripreneur adalah Ponpes Entrepreneur Ar Ridwan di Dusun Binangun, Kelurahan Selomerto, Kabupaten Wonosobo.
Ponpes Entrepreneur Ar Ridwan didirikan pada 2015 lalu oleh KH Abdulloh Maksum Al Khafidz. Sejak berdiri, ponpes ini telah mendeklarasikan diri sebagai pondok pesantren yang multitalent.
Artinya, ponpes ini tak hanya menjalankan pendidikan agama bagi para santrinya. Tapi, juga mengajarkan skill yang lain. Salah satunya skill berwirausaha atau entrepreneur.
“Karena saya ingin menghilangkan mindset bahwa saat santri mondok itu harus mengeluarkan biaya mahal,” ujar KH Abdulloh Maksum Al Khafidz saat ditemui RADARSEMARANG.COM di kediamannya di Jalan Raya Banyumas – Wonosobo.
Karena alasan tersebut, ia pun memiliki ide untuk mencetak para santri yang paham masalah keagamaan sekaligus paham masalah sosial ekonomi masyarakat.
“Kita memberi opsi pada mereka untuk menentukan. Karena setiap anak itu memiliki kemampuan yang berbeda. Maka saat akan mendaftar pasti kita tanyakan, apakah anak ini hanya ingin mengaji saja atau juga mau ikut berwirausaha,” ujarnya.
Jika para santri telah menentukan pilihannya, kata dia, langkah selanjutnya yang dilakukan oleh pihak ponpes adalah melakukan pendampingan pada santri. Yang model pendampingannya bakal disesuaikan dengan minat dan bakat santri.
“Ada tiga skill entrepreneur yang kita kembangkan di pondok ini. Pertama, ada di bidang promosi dan selling, kemudian bidang pertanian dan peternakan. Ini kita lakukan agar mereka bisa lebih mandiri,” katanya.
Dalam praktik entrepreneur yang dilakukan, Kiai Maksum membaginya dalam dua hal. Yakni, santri yang menggarap sektor produksi maupun promosi dan salling.
“Namun dalam beberapa tahun ke belakang, model pembagian ini ternyata cukup menyulitkan santri dalam mengikuti pembelajaran. Utamanya saat mengurus sektor produksi. Karena mereka harus membagi waktu untuk sekolah, mengaji, dan membuat produk. Itu sangat menyita banyak waktu,” ungkapnya.
Oleh karena itu, pihaknya dalam dua tahun terakhir mulai memfokuskan anak untuk belajar promosi dan penjualan saja. Hal ini dikarenakan lebih mudah dilakukan para santri saat menjalankan aktivitas hariannya.
“Agar lebih mudah, kita pahamkan mereka soal digital marketing. Sehingga promosi banyak dilakukan melalui ponsel dengan memanfaatkan akses wifi yang telah kita sediakan,” ujarnya.
Di sektor produksi, lanjutnya, mereka memanfaatkan para santri yang sudah tidak melanjutkan pendidikan formal. Sehingga para santri bisa lebih fokus dengan apa yang tengah dikerjakannya.
Sesuai motto Pesantren Mandiri, ia berharap para santrinya akan mandiri, sehingga ke depan bakal mencetak santri yang lebih tangguh. Sebab, bekal kemandirian sudah ditanamkan sejak mereka aktif menjadi santri di pondok tersebut.
“Karena kebanyakan para santri disini berangkat dari kalangan yang mau berkembang. Artinya, mereka sadar hukan dari kalangan yang mampu, tapi mau untuk terus berusaha,” katanya.
Bahkan dari 160 santri yang ada di pondok tersebut, saat ini sudah ada sekitar 45 persen santri yang bergerak di sektor wirausaha. Kebanyakan menjadi reseller dari produk tertentu.
“Pondok ini terbangun belum ada bantuan dari pemerintah. Murni hasil dari apa yang kita usahakan secara mandiri selama ini,” ucap salah satu imam Masjid Jami’ Wonosobo ini.
Tak seperti di ponpes lainnya, di pondok ini para santri akan diperbolehkan untuk membawa gadget. Handphone ini sebatas untuk melakukan komunikasi pada dunia luar dengan positif. Terlebih, lewat ponsel itu telah banyak digunakan santri untuk mempromosikan hasil usaha yang dibuatnya.
“Jika ada yang menggunkan ponsel di luar kegunaannya, maka akan kita sita sesuai di perjanjian awal,” tegasnya.
Pria yang saat ini juga menjadi dosen di Universitas Sains Al Quran (Unsiq) Wonosobo ini menilai, jika praktik semacam ini akan lebih membuat santri berdaya guna. Sebab, selain belajar masalah agama, minimal masalah ekonomi untuk tanggungan hidup pribadinya sudah tidak menggantungkan pada orang lain.
“Ada dua produksi kita yang masih fokus kita jalankan. Pertama, pembuatan roti dan kopi yang kita beri nama Kopi Santri. Alhamdulillah penghasilan dari sana sudah lumayan. Justru peminat besarnya dari luar itu,” katanya.
Dikatakan, jika pondoknya belum memiliki banyak alumni. Namun alumni yang sudah keluar, terbukti bisa bersaing dengan masyarakat lain. “Kita punya dua anak (santri) yang sudah menerapka ilmu ini. Dan Alhamdulillah hasilnya bisa terlihat,” ujarnya bangga.
Pertama adalah Ahmad Mirzadin. Ia adalah alumni pada tahun lalu yang saat ini telah menjadi manager di salah satu perusahaan online. Kedua, Fitri Maulina Nidaus Saadah yang saat ini telah berhasil membangun yayasan pendidikan dan pondok pesantren di Kabupaten Malang, Jawa Timur.
Bahkan untuk menyelesaikan mimpinya itu, tahun depan bakal membuat konsep Pariwisata Pesantren (Wisata Tren). Tujuannya untuk menampung wisatawan agamis dari luar kota saat datang ke Wonosobo.
“Sekarang sedang kita tata, ke depan harapannya akan semakin banyak santri di sini. Seluruh komponen harus siap berlari menuju pondok agamis yang profesional,” katanya. (git/aro)