RADARSEMARANG.COM – Masadi adalah salah satu legenda atlet dayung yang melegenda dari Jateng. Kini menikmati masa pensiun dari pegawai Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Pemerintah Kota (Pemkot) Semarang dengan berjualan kecil-kecilan.
Prestasi besar Masadi kala itu, meraih 10 medali emas, dua perak di berbagai ajang berbeda hingga tingkat Internasional. Belum lagi prestasi ajang nasional yang sudah tidak diragukan lagi.
Sebagai mantan atlet puluhan tahun silam, ia berharap atlet Jateng bisa benar-benar maksimal dalam ajang PON Papua 2021. Kerja keras demi meraih prestasi yang membanggakan. “Bawalah prestasi dan nama baik Jateng di dunia olahraga,” katanya memberikan semangat.
Atlet kelahiran Semarang 31 Desember 1961 ini mengaku jika perahu dayung menjadi bagian hidupnya. Berkat olahraga itu, ia bisa berkeliling sejumlah negara dan bisa mengabdi untuk bangsa. Meski begitu, di tengah masa tuanya sekarang, ia hidup dengan keterbatasan. Perhatian pemerintah terhadap atlet pensiunan minim, meskipun sebelumnya memiliki segudang prestasi.
Saat ini ia menikmati masa tua di rumah bersama keluarga. Sudah tidak menjadi atlet dan pensiun sebagai pegawai di Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Pemerintah Kota (Pemkot) Semarang. Semua dia jalani dengan sederhana karena kondisinya yang memaksa. Lembaran kertas dan prestasi yang diraihnya tetap disimpan rapi sebagai bukti perjuangan dan pengabdiannya untuk bangsa-negara.
“Sudah pensiun ya di rumah sambil jualan kecil-kecilan, karena tidak punya modal. Mantan atlet memang tidak mendapatkan perhatian,” kata Masadi saat ditemui di rumahnya di Jalan Kenconowungu Selatan III/15 Semarang Barat.
Ditemani sang istri, Nur Mayanti, ia menceritakan perjuangan panjangnya menjadi atlet perahu dayung. Sebagai anak putra pesisir, Masadi menghabiskan waktu kecil di tambak dengan bermain perahu. Dari situlah, ia diajak rekan-rekannya untuk ikut kompetisi perahu dayung. “Sejak kelas 3 SD sudah ikut kompetisi perahu dayung di Kota Semarang. Dulu dapat hadiah kaos saja sudah senang,” ujarnya.
Dari situ potensi Masadi dilirik oleh sejumlah pelatih hingga akhirnya ia menjadi atlet dayung. Berbagai prestasi baik tingkat nasional maupun internasional pun dia sabet. Tercatat ia berhasil mendapatkan 10 emas dan dua perak di berbagai ajang internasional selama menapaki karir atlet.
Yakni Canoe Asia tahun 1985 (dua emas, dua perak); Singapura Internasional Dragon Boat Races 1988 (satu emas); SEA Games XV Kuala Lumpur 1989 (satu emas 800 m, satu emas 1500 m); Thailand International Swan Boat Races 1989 (satu emas); Dragon Boat Festival Internasional Hongkong 1989 dan 1990 (dua emas); Pesta Sukun Merdeka Brunei Darussalam 1990 (satu emas), serta Singapore International Dragon Boat Races Singapura 1996 (satu emas).
“Ya medali emas banyak itu sebagai pembuktian anak tambak seperti saya untuk bangsa dan negara. Kalau yang nasional sudah lupa dapat apa saja,” ucapnya.
Masadi mengaku menjadi atlet sebenarnya bukan pilihan. Tetapi ia pun menikmatinya hingga sudah berkeliling di sejumlah negara membela Indonesia. Berbagai pengalaman dialaminya saat membela merah putih.
Tetapi diakuinya, secara kesejahteraan dan perhatian pemerintah masih cukup minim. Misalnya saat bertanding di Singapura, ia tidak diberitahu jika anak pertamanya masuk rumah sakit. “Tahu-tahu pulang anak habis dari rumah sakit, dan pemerintah tidak membantu sama sekali biaya pengobatan. Istri terpaksa cari pinjaman,” kenangnya.
Kecintaan Masadi terhadap perahu dayung juga diturunkan. Dua anaknya ikut menjadi atlet perahu dayung. Bahkan ikut berlaga di ajang PON dan SEA Games. Tetapi karir dua anaknya tidak diteruskan dan memilih untuk mencari pekerjaan lain. Perhatian pemerintah yang masih kurang bagus menjadi salah satu alasan. “Dua anak saya dulu sudah ikut jadi atlet, tetapi sekarang sudah tidak lagi. Itu pilihan mereka dan saya tidak mempersoalkan,” akunya.
Apalagi dari berbagai prestasi bapaknya selama menjadi atlet, bonus yang didapatkan tidak seberapa. Hanya saat SEA Games ia mendapatkan bonus Rp 500 ribu dan untuk membeli sepeda motor saat itu masih kurang. “Paling uang saku bonusnya. Memang dulu perhatian untuk atlet minim,” tambahnya.
Di masa tuanya, Masadi hanya bisa mengenang masa jayanya sebagai atlet yang mengabdi untuk bangsa negara. Berderet medali dan kertas lembar prestasi masih disimpan rapi. Tetapi ia berharap ada perhatian lebih dari pemerintah untuk mantan atlet agar bisa bertahan hidup. Sebab, perhatian pemerintah sangat minim. Berbeda dengan atlet berprestasi sekarang yang begitu mendapatkan emas langsung dapat bonus banyak.
“Ini saja buka warung seadanya, sudah kesulitan modal. Harusnya mantan atlet ya diberi tali asihlah untuk bertahan. Agar masa tuanya bisa sedikit tenang,” tambah sang istri, Nur Mayanti. (fth/ida)