RADARSEMARANG.COM – Di balik keindahan corak dan warnanya, memelihara ikan koi bukan perkara mudah. Dibutuhkan kesabaran, ketelitian, waktu, dan treatment khusus untuk merawatnya. Bahkan harus paham caranya ikan yang baru dibeli dan ikan yang sedang sakit.
Ikan koi menjadi salah satu ikan hias air tawar yang diminati masyarakat untuk dipelihara. Apalagi aneka warna dan coraknya yang beragam. Seperti hitam, putih, merah, kuning di bagian punggung membuat ikan koi lebih indah dinikmati dari atas atau dipelihara di dalam kolam.
Sebut saja warna merah putih atau Kohaku, Showa yang memiliki warna putih, hitam, dan merah. Hariwake yang punya warna putih kuning. Shiro Utsuri yang memiliki warna hitam putih. Hi Utsuti dengan merah hitamnya, dan masih banyak lagi. Konon, ikan yang dikenal asalnya dari Jepang dan Tiongkok ini bisa membawa hoki bagi pemiliknya.
Ngayadi salah satu pencinta ikan koi dua tahun terakhir mulai mempelajari dan memelihara ikan hias ini. Tidak mudah memang, kualitas air di kolam tempat ikan hidup harus bersih dengan kadar ph tertentu. Sistem filtrasi pun wajib ada agar air selalu jernih dan bebas dari kadar amoniak yang membahayakan bagi ikan.
“Memelihara ikan koi bisa dibilang memelihara air atau kualitas air. Jika tidak bersih airnya, ikan akan mudah terserang penyakit, lalu mati,” katanya kepada RADARSEMARANG.COM belum lama ini.
Baca Juga: Ikan Koi yang Sakit Wajib Dikarantina
Ya sistem filtrasi, serta oksigen wajib ada untuk ikan koi. Ribet memang. Bayangkan saja, untuk membuat kolam sepanjang satu meter dengan lebar dan dalam satu meter, harus dibagi 1/3 dari luasan kolam. Dibuatkan beberapa sekat untuk Chamber sebagai filter biologis dan mekanis.
Isinya macam-macam, mulai dari jaring nelayan atau dakron untuk chamber pertama yang masuk ke kolam, karang jahe dan bioball untuk chamber kedua, jet mat untuk chamber ketiga, serta mesin pompa kolam plus sinar uv untuk chamber keempat.
Atau minimal menggunakan filter portabel yang isinya hampir sama dengan chamber yang ada di kolam tadi. Jika terlanjur tidak membuat sistem filtrasi berupa chamber.
“Sistem ini fungsinya masing-masing ada yang mengurai kotoran, menyaring amoniak dan lainnya sehingga kualitas air jadi bagus dan cocok untuk ikan. Istilahnya membuat satu ekosistem di dalam kolam,” tambahnya.
Jika kualitas air dan sistem filtrasi tidak berjalan sebagaimana mestinya, dipastikan ikan akan gampang sakit dan mati. Ngayadi pun pernah merasakan hal yang sama ketika ia kali pertama memelihara koi. Tanpa pengetahuan yang cukup, ia membeli aneka koi dengan harga ratusan ribu sampai jutaan. Akhirnya mati karena sistem filtrasi yang kurang maksimal.
“Iya dulu banyak yang mati karena belum tahu caranya, saking senengnya punya ikan koi kasih makannya nggak ukuran. Koi malah keracunan amoniak dan mati. Juga nggak dilakukan karantina ikan yang baru beli, jadi koi sakit dan akhirnya mati. Dulu belum mengerti juga kalau nggak boleh pakai air pam, harus air sumur,” kenangnya lantas tertawa.
Dari pengalaman dan sharing dengan sesama pecinta koi, akhirnya ia mulai mengerti seluk beluk tentang koi serta cara merawat koi dengan benar. Bahkan di kediamannya daerah Gunungpati, kini ada dua kolam berukuran besar dengan belasan ikan koi berbagai jenis, seperti Ochiba, Shusui, Karashi, Platinum, serta yang umum tentu Kohaku, Shiro, Showa, Sanke dan Hi Utsuri. Mulai dari yang lokal kualitas wahid sampai yang impor dari Jepang langsung.
“Mirip merawat bayi, kalau tempatnya nggak bersih pasti rewel. Bahkan nangis kalau koi sakit atau stres. Intinya ekosistemnya harus seimbang. Kalau kolam ada lumut hijaunya, ini bagus untuk pakan alami,” tuturnya.
Disinggung perbedaan koi lokal dan koi impor, kata Ngayadi, pada dasarnya sama saja. Asalkan anakan koi lahir dari indukan yang punya bodi, corak, warna, serta kualitas bagus pula. Menurutnya koi lokal sebenarnya tidak kalah dari koi Jepang. Misalnya dari segi warna, koi lokal asal Blitar bisa lebih bagus.
“Beda kalau dari segi bodi. Ibarat orang Asia sama bule, pasti lebih besar dan tinggi bule. Koi juga sama kalau yang dari Jepang pasti lebih bulky atau mirip torpedo dan ukurannya besar-besar. Ini karena gennya memang seperti itu. Kalau dari warna lokal nggak kalah lah,” tambahan.
Merawat koi lokal dan impor pun berbeda. Kata Ngayadi, koi impor lebih ribet dan sensitif terhadap suhu. Maklum saja di negera asalnya Jepang, ada empat musim. Sedangkan di Indonesia hanya dua musim sehingga butuh suhu air sekitar 27-29 derajat. “Suhu ini kita sesuaikan dengan treatment khusus. Misalnya nggak boleh kebanyakan mineral dan kalsium dari pakannya. Kebersihan dan ph air juga harus dijaga, tidak boleh memberi pakan berlebihan,” katanya lagi.
Ikan koi jenis Hi Utsuri miliknya diimpor dari Shinoda Koi Farm Jepang. Ada juga jenis Kujaku yang didatangkan dari Marusei Koi Farm, Kohaku dari Saito Koi Farm, dan Showa dari Isa Koi Farm Jepang. Harganya harus merogoh kocek tebal, mulai dari belasan sampai puluhan juta. Namun kembali lagi, memelihara koi merupakan kebanggaan dan hobi yang tidak bisa diukur dengan rupiah.
“Alhamdulillah semua sehat. Setelah menyesuaikan dengan air dan suhu di Indonesia, bisa hidup lama dan berkembang biak. Saat ini ada beberapa yang coba saya pijahkan. Bedanya memang dari ukuran bodi yang lebih besar ketimbang lokal,” ucap pria yang kerap ikut kontes ikan koi ini.
Sementara untuk grade atau kualitas ikan, dibedakan menjadi grade SQ (show quality) F1 atau A, B, dan C. Grade SQ adalah ikan dengan warna yang strong, bodi yang presisi, sisik ikan yang tertata rapi, corak yang bagus dan dibilang ikan yang punya nilai 100 atau sempurna. “SQ ini misal dari seribu anak koi yang lahir dari indukan, jumlahnya hanya ada 10. Nah di bawahnya ada grade A yang sudah bagus untuk dipelihara di kolam,” tambahnya.
Bagi yang ingin mencoba dan belajar memelihara ikan koi, Ngayadi menyarankan untuk memastikan kualitas dan filtrasi berjalan sebagaimana mestinya. Baru membeli ikan yang grade B atau C yang harganya puluhan ribu dulu. Sebelum membeli kualitas bagus dengan harga ratusan sampai jutaan. (den/ida)