RADARSEMARANG.COM – Aksi pembunuhan semakin marak dilakukan kaum remaja akhir-akhir ini. Padahal, masa remaja merupakan masa pencarian jatidiri untuk masa depannya. Namun sudah terjerumus ke dalam aksi kriminalitas. Sungguh miris.
Masih terekam jelas potret buram hubungan percintaan antara dua insan manusia. Dewi Astutik, 19, warga Desa Wonorejo, Kecamatan Karanganyar, terpaksa meregang nyawa setelah dihabisi oleh pacarnya sendiri, Huda Rohman, 20, warga Desa Sari, Kecamatan Gajah belum lama ini.
Kegagalan cinta yang berakhir dengan upaya pembunuhan terhadap pasangannya tersebut diawali rasa cemburu. Hanya karena menduga pasangannya menjalin hubungan dengan orang lain. Pembunuhan berlangsung sadis. Sang pacar tak segan menjerat leher korban dengan tali jumper jaket. Padahal korban sedang tidur nyenyak dalam posisi telungkup. Kedua kaki korban diinjak lalu tali jumper yang ditarik selama 20 menit.
Kapolres Demak AKBP Budi Adhy Buono mengatakan, kasus pembunuhan bermotif cemburu ini dipicu oleh remaja yang sakit hati. “Itu terjadi lantaran pacar tersangka atau korban dianggap masih pergi atau kencan bersama pria lain,” katanya.
Tak hanya di Demak, aksi pembunuhan baru-baru ini juga dilakukan remaja berinisial, GDMA, 17, di kos-kosan eksklusif Dparagon, Semarang Selatan. Kali ini, motifnya ekonomi. Pelaku berupaya mencari sesuatu untuk memenuhi kebutuhannya dengan cara jalan pintas. “Pelaku mencari sasaran melalui media sosial (medsos) untuk menguasai harta korban,” kata pendamping hukum pelaku dari LBH Ratu Adil, Suseno kepada RADARSEMARANG.COM.
Pelaku kali ini adalah warga Temanggung, kelahiran 1 Agustus 2004. Sebelum melakukan pembunuhan di DParagon, pernah melakukan aksi yang sama di dalam kamar hotel di wilayah Wonosobo, Kamis (1/8/2021). Bersyukur, korbannya masih selamat. “Itu untuk mengambil barang korban juga. Korbannya dibius. Jadi dua kali melakukan perbuatan yang sama, di Wonosobo dan Semarang,” katanya.
Pelaku berhasil ditangkap tanpa perlawanan oleh anggota Reskrim Polsek Wonosobo di wilayah Kabupaten Temanggung, Rabu malam (4/8/2021). Suseno membeberkan, pelaku sejak kecil telah ditinggal ibunya sebagai tenaga kerja wanita (TKW). Namun tidak kembali dan diduga telah menikah dengan laki-laki lain.
Informasinya seperti itu. Dia kehilangan sosok perempuan. Itu mempengaruhi psikologisnya sehingga menjadi pendendam dengan wanita lain, lantaran ditinggal dan diabaikan oleh ibunya. “Kebetulan dia kerjanya di tempat pemotongan ayam,” sambungnya.
Sedangkan kasus terbaru adalah pembunuhan di rumah, DJKost di Semarang Barat, Jumat (20/8/2021). Pelaku bernama Agung Dwi Saputro, warga Surakarta. Pelaku masih berusia 18, atau baru tamatan sekolah lanjutan tingkat atas.
“Motifnya tidak menguras harta. Itu kan awalnya pacaran, kemudian hamil, dan tidak disetujui. Terus ada upaya untuk menghilangkan dengan cara diinjak-injak perutnya,” katanya.
Pelaku menghabisi nyawa korban dengan cara dianaiya, diinjak-injak perutnya bahkan kepalanya juga dibentur-benturkan, dan lehernya dicekik. Pelaku juga mengakui, hubungan asmara dengan korban tidak direstui orang tuanya.
“Orang tuanya mengakui tidak setuju. Itu kan terpaut jauh usianya. Itu yang membiayai adalah si ceweknya malahan. Kalau yang cowoknya baru lulus sekolah,” bebernya.
Kuasa pendampingan hukum pelaku juga dari LBH Ratu Adil. Saat ini, masih dalam pemberkasan di kepolisian. “Ini masih dalam penanganan, pemberkasan dulu yang kasus pembunuhan yang melibatkan GDMA di Polres Wonosobo. Setelah itu di Semarang. Kasus di DJKost juga sama, ini masih pemberkasan,” pungkasnya.
“Perlu kecerdasan intelektual dan emosional serta dukungan agama agar dapat memfilter teknologi informasi yang bermanfaat dan sesuai kebutuhannya.”
Remaja Berbuat Kriminal karena Butuh Pengakuan
Maraknya remaja terlibat tindak kriminalitas harus menjadi perhatian bersama. Orang tua, pemerintah, pemuka agama, dan lingkungan harus bisa membentengi agar remaja bisa terarah pada perilaku positif. Kondisi saat ini sudah sangat tragis dan miris, banyak anak muda semakin nekat dan tidak takut berbuat kriminal.
Psikolog RS Elizabeth Semarang Probowati Tjondronegoro menyatakan, anak muda masih dalam masa pencarian jatidiri sehingga membutuhkan perhatian lebih. Apalagi di tengah kondisi pandemi Covid-19, banyak anak muda yang stres. Tidak jarang melampiaskan ke hal-hal negatif yang berujung tindak kriminalitas. “Saya cukup miris. Di Semarang banyak anak kecil sudah berani melakukan begal motor, mencuri dan lainnya,” kata Probowati.
Pengaruh lingkungan salah satu faktor yang membentuk karakternya. Ketika mereka tidak mendapatkan kenyamanan di rumah dan salah pergaualan, akhirnya melakukan perlampiasan di luar. Mulai dari trek-trekan motor, ujung-ujungnya mengarah ke aksi kriminal. “Mereka itu, awalnya coba-coba, karena ingin mendapatkan perhatian,” tuturnya.
Para orang tua harus memahami, usia muda menjadi penentu yang menentukan jatidiri masing-masing. Tidak jarang yang kemudian nekat melakukan aksi kriminal dan balapan liar, awalnya hanya karena ingin disegani dan mendapatkan perhatian dari kelompoknya. Harusnya keluarga menjadi faktor penting bagaimana bisa terus mengontrol dan mengawasai anaknya agar terarah.
“Misalnya di rumah tidak kerasan, stres, kemudian saat di jalan melihat ada orang main handphone iseng-iseng dirampas. Jika dibiarkan akan terus berlanjut,” ujarnya.
Probowati tidak sepenuhnya menyalahkan anak-anak. Dalam kondisi sekarang, orang tualah yang harus bisa menjadi teman, kakak, dan sahabat bagi anak. Selalu dampingi, dengarkan apapun keluhan atau cerita anak. Sehingga anak akan merasa nyaman di rumah, sehingga tidak terjebak dalam hal negatif. “Kalau anak tidak merasa bahagia di rumah mereka mencarinya di luar. Itu yang seringkali tidak terkontrol dan sering salah pergaulan,” tambahnya.
Sedangkan Dosen Hukum Pidana UIN Walisongo Semarang, Briliyan Ernawati SH M.Hum menyatakan aksi tindak kriminal remaja dipengaruhi perkembangan era digitalisasi yang tidak diimbangai kesiapan mental dan agama.
Menurutnya mekanisme psikologis remaja terdiri atas dua faktor. Faktor internal meliputi kepribadian, kemampuan berpikir, dan kondisi emosional. Sedangkan faktor eksternal meliputi lingkungan pergaulan, tingkat pendidikan dan stimulus dari korban sendiri, termasuk pemahaman terhadap agama. Terlebih dalam masa pandemi sekarang ini, ada pembatasan ruang gerak. Seseorang sulit mengakses kegiatan dan menyalurkan aspirasinya kecuali secara online. “Hal itu juga menjadi salah satu pemicu terjadinya kriminalitas di lingkungan remaja,” tuturnya.
Perkembangan teknologi memang bisa menjadi salah satu faktor kejahatan, manakala teknologi tersebut tidak digunakan secara positif. Apalagi saat ini, informasi apapun ada dalam genggaman manusia. “Perlu kecerdasan intelektual dan emosional serta dukungan agama agar dapat memfilter teknologi informasi yang bermanfaat dan sesuai kebutuhannya,” ujarnya.
Untuk mengatasinya, kata dosen hukum pidana ini, perlu sinergitas antara guru, murid, dan peran orang tua. Karena orang tua adalah pendidik pertama dalam kehidupan manusia sejak lahir. “Al-ummu madrasah al-ula (ibu adalah sekolah pertama bagi anak-anaknya). Bukan hanya “madrasah pertama” atau “sekolah pertama”. Ibu sejatinya adalah “madrasah utama” atau “sekolah utama” bagi putra-putrinya,” tuturnya.
Selain itu, peran pemerintah tidak kalah penting sebagai penentu kebijakan bagi dunia pendidikan dan masa depan anak bangsa khususnya. Memang banyak platform menyediakan ceramah dari para pemuka agama. Namun penentuan perilaku selanjutnya sangat tergantung pada perilaku seseorang dalam memahami, menginterpretasikan, dan mengimplementasikan substansi dari ceramah tersebut. “Semua itu tergantung dengan penerimaan orang tersebut,” ujarnya.
Kondisi semacam ini terjadi karena keimanan seseorang itu ibarat roller coaster naik turun tidak stabil. Untuk itu perlu terus menerus diberikan siraman rohani. “Ibarat tumbuhan yang harus disiram agar tumbuh dengan baik,” tutupnya. (hib/mha/fth/cr5/ida)