RADARSEMARANG.COM – Jejak para pejuang dalam merebut maupun mempertahankan kemerdekaan diabadikan dalam sebuah monumen. Di Kota Semarang, banyak berdiri monumen-monumen perjuangan. Sayangnya, sebagian besar generasi milenial mulai melupakannya.
Jangan sekali-kali Meninggalkan Sejarah atau disingkat Jasmerah. Semboyan terkenal ini diucapkan oleh mantan Presiden Soekarno dalam pidatonya yang terakhir pada Hari Ulang Tahun (HUT) Republik Indonesia pada 17 Agustus 1966. Nah, sebagai generasi penerus bangsa, kita tak boleh melupakan sejarah. Termasuk sejarah di balik monumen-monumen perjuangan yang ada di kota masing-masing.
Di Kota Semarang, tepatnya di depan ADA Banyumanik, di sudut menuju jalan tol, terdapat monumen dua pejuang. Yang satu tengah mengepalkan tangan sambil menenteng senjata. Dan yang satu lagi tengah menggunakan teropong. Monumen ini diresmikan oleh HRM Soebroto dan Wali Kota Semarang Soetrisno Soeharto.
Data yang diperoleh koran ini, monumen ini menggambarkan perjuangan Laskar Hizbullah dari Jogjakarta saat konflik bersenjata melawan tentara Nederlands Indies Civil Administration (NICA) di wilayah Srondol, Semarang.
Diceritakan, pada saat itu para pejuang Semarang dibagi menjadi tiga bagian, yakni selatan, barat, dan tenggara. Tujuannya, untuk mengepung Belanda yang berkubu di Semarang. Di bagian selatan inilah laskar dari berbagai unsur bahu-membahu berjuang menegakkan kemerdekaan. Karena Belanda yang berpegang NICA berusaha berkumpul kembali di Indonesia.
Dalam konflik bersenjata itu, gugur dua kusuma bangsa. Salah satunya Laskar Hizbullah dari Jogjakarta yang berkubu di Srondol. Laskar Hizbullah ini dibentuk pada 14 September 1945 di Jogja dalam rangka membantu rakyat Indonesia menegakkan kemerdekaan yang diproklamasikan pada 17 Agustus 1945.
Mereka adalah Ahmad Dahlan, cucu KH Achmad Dahlan pendiri Muhammadiyah. Pemuda ini salah satu anggota Laskar Hizbullah. Satu lagi adalah Hajid bin Jalil. Keduanya gugur pada 4 Juli 1946. Jenazah keduanya dikebumikan di pemakaman Syuhada Jogjakarta. Untuk mengenang perjuangan Laskar Hizbullah ini, maka didirikan monumen di Srondol, Banyumanik.
Monumen lainnya berupa patung Ganesa berdiri gagah di persimpangan Jalan Tentara Pelajar dan Jalan Cinde Raya. Monumen ini adalah sebuah penghormatan untuk para anggota tentara pelajar yang pernah berjuang mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia di Kota Semarang. Dipindah dari tempat semula, gara-gara sering jadi korban kecelakaan.
Berdasarkan buku “Cukilan Sejarah Tentara Pelajar” terbitan 1988 yang disusun Panitia Peresmian Jalan Tentara Pelajar disebutkan, penamaan jalan berdasarkan usulan pelaku sejarah. Sekretariat Bersama Bekas Mahasiswa dan Pelajar Pejuang Jateng-DIJ pada 3 Oktober 1987 mengirimkan pada Walikotamadya Daerah Tingkat II Semarang. Surat yang ditandatangani Brigjen TNI Purn Soertiono ini mengusulkan adanya nama Jalan Tentara Pelajar di Semarang.
Para eks pejuang dari TNI Brigade XVII ini mengusulkan sejumlah ruas jalan yang mungkin bisa diganti namanya. Usulan utama, jalan yang diganti namanya menjadi Jalan Tentara Pelajar adalah Jalan Kalisari (kini Jalan Dr Soetomo) dan Jalan Siliwangi. Kedua ruas jalan ini berujung di Tugu Muda, salah satu kawasan perjuangan di Semarang.
Disebutkan juga, bila kedua jalan tersebut tidak bisa diubah menjadi Jalan Tentara Pelajar, maka diusulkan lima ruas jalan lain. Yakni, Jalan Atmodirono, Jalan Kobong dan Jalan Lampersari, yang merupakan tempat asrama tentara pelajar saat masuk Kota Semarang. Kemudian Jalan Citarum dan Jalan Mrican yang menjadi jalur masuknya kesatuan Tentara Pelajar ke Semarang saat perang kemerdekaan II.
Masuknya pasukan Tentara Pelajar ke Kota Semarang lewat Jalan Tentara Pelajar tak lepas dari rencana serangan umum terhadap pasukan Belanda di Semarang. Serangan umum ini direncanakan tepat pada 17 Agustus 1949, tepat peringatan empat tahun kemerdekaan RI. Para pelajar pejuang ini akan bahu-membahu menyerang kedudukan serdadu Belanda dengan pasukan TNI dari Brigade SS pimpinan Letkol S Soediarto.
Sejumlah anggota tentara pelajar Brigade XVII sudah sampai di daerah Rowosari, yang saat itu masuk wilayah Demak. Mereka tinggal menunggu komando menyerang Semarang lewat Jalan Mrican. Namun ternyata, pada 10 Agustus 1949 terjadi gencatan senjata antara Belanda dan pemerintah Republik Indonesia. Rencana serangan umum tersebut pun gagal dilaksanakan. Mereka akhirnya masuk Semarang lewat Mrican pada 26 Desember 1949 untuk menggantikan tugas tentara Belanda yang ditarik mundur usai pengakuan kedaulatan RI di Konferensi Meja Bundar.
Pada 14 Januari 1988, DPRD Kota Semarang dan Walikotamadya menyetujui perubahan nama Jalan Mrican menjadi Jalan Tentara Pelajar. Walikotamadya Daerah Tingkat II Semarang Imam Soeparto Tjakrajoeda dan Ketua DPRD Hendradi juga menyepakati adanya pemasangan patung Ganesa di ujung Jalan Tentara Pelajar. Tepatnya di taman simpang tiga pertemuan Jalan Mataram (kini Jalan MT Haryono), Jalan Dr Wahidin, dan Jalan Tentara Pelajar. Secara resmi, Jalan Mrican diubah menjadi Jalan Tentara Pelajar pada 24 Januari 1988.
Berada di pinggir jalan yang ramai, patung Ganesa sering menjadi korban kecelakaan. Berulangkali lambang Tentara Pelajar ini ditabrak kendaraan dari turunan Tanah Putih yang blong. Hingga akhirnya patung Ganesa dipindah di depan Jalan Cinde seperti saat ini.
Monumen Peluru Tegal Kangkung di Kedungmundu, Tembalang juga menjadi pengingat para pejuang kemerdekaan Indonesia di Semarang. Monumen itu terletak di perbukitan yang bernama Kampung Sentono.
“Setiap malam Selasa Kliwon, Jumat Kliwon, dan 1 Muharram, warga memperingati perjuangan para pahlawan, dan juga Mbah Nuriman sebagai danyang di Sentono,” kata Ketua RT 3 RW 2 Trismurawan kepada RADARSEMARANG.COM, Sabtu (14/8).
Dikatakan, monumen ini didirikan untuk mengenang para pejuang yang gugur di perbukitan ini. Mereka adalah para Tentara Pelajar asal Solo yang membantu pertempuran di Semarang. Para pejuang ini datang dari Sragen, dan terjadilah pertempuran Tegal Kangkung.
Monumen Peluru Tegal Kangkung berada di atas perbukitan dengan menaiki sekitar 73 anak tangga. Dikelilingi oleh pepohonan yang rindang, dan di belakang monumen ini terdapat makam Mbah Nuriman, tokoh masyarakat Kampung Sentono.
Di bagian dindingnya terdapat tiga prasasti, yakni di bagian kiri dinding ada tanda tangan peresmian oleh Wali Kota Soetrisno Soeharto. Di bagian tengah dinding ada lambang Tentara Pelajar, yakni sebuah senapan dan pedang. Sedangkan di bagian kanan terdapat prasasti bertuliskan Pertempuran Tegal Kangkung.
“Tanggal 13 April 1946 terjadi pertempuran terbuka, tentara Belanda menghujani meriam ke arah medan tenggara. Serangan bertubi-tubi, dentuman meriam membahara. Mas Broto dan Suwandi kena tembak. Mucharom gugur sebagai suhada,” jelas pengelola tempat itu, Atmo Raharjo, 55. “Maka jalan di depan monumen dinamakan Jalan Mucharom. Sedangkan monumen Peluru Tegal Kangkung ini dibangun tahun 1996, dan diresmikan oleh Wali Kota Semarang Soetrisno Soeharto,” jelasnya. (cr6/mg3/mg7/ton/aro)